Home / Fantasi / Series Hutan Larangan / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Series Hutan Larangan : Chapter 11 - Chapter 20

191 Chapters

Makhluk Tanpa Wajah

BAGIAN 11 “Gus, sungai sebesar itu kita mau nyebrang pakai apa? Nggak ada perahu atau jembatan, gitu?” Langkah keduanya terhenti ketika sampai di depan sungai yang terlihat tenang.“Ini terusan sungai waktu kau hanyut dulu. Tampak tenang tapi menghanyutkan.”“Terus, kita putar arah, cari jalan lain?” sahut Ana.“Jauh. Aku tak tahu akan memakan waktu berapa lama. Kecuali kalau kau memang ingin berlama-lama denganku, di sini.”“Ya, cari cara, donk.”“Iya sedang kupikirkan.”“Cepet, jangan lama-lama. Entar lagi malam.”Sejenak Bagus berpikir untuk menggunakan akar pohon besar yang bergantungan agar bisa melompat jauh. Akan tetapi, wanita itu pasti tidak bisa melakukannya. Jarak lompatan dari daratan tempatnya berpijak dengan daratan seberang cukup luas. Jika dipaksa melompat khawatir terjatuh dan entah mahluk apa lagi yan
Read more

Masa Lalu 1

Bagian 12 Semilir angin membuat Bagus tersadar dari tidurnya sepanjang malam. Ia menoleh ke sebelahnya. Wanita itu tidur tidak kalah lelap darinya. Jika dirinya tidak terluka parah semalam, bisa jadi hal-hal yang tak seharusnya terjadi akhirnya terjadi. Lelaki itu memperhatikan sekujur tubuhnya, bekas cakaran dan gigitan mahluk menyeramkan kemaren sudah hilang semuanya.Ia berdiri mencari pakaian yang dibuka Ana semalam, sayangnya tidak bisa lagi digunakan karena sudah robek di sana sini. Cepat Bagus mengeluarkan ujung kuku telunjuknya yang tajam. Menyayat kulit pohon tempatnya bersandar. Sayatan itu ia raut sedemikian rupa oleh jemari runcingnya, hingga akhirnya menjadi sebuah baju yang layak pakai. Pakaian yang kerap digunakannya dahulu ketika zaman belum maju seperti sekarang.Ana menggeliat bangun, dan memperhatikan gerakan lelaki di hadapannya. Wanita itu merasa takjub dengan penampilan lelaki yang baru saja ia dekati semalam. Wajahnya bersemu
Read more

Masa Lalu 2

Bagian 13 “Mereka semakin menunjukkan ketamakannya. Apa di tanah mereka sana tidak ada hasil bumi sampai harus menjarah milik kita?” Bagus membaringkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang sembari memijit kepalanya.“Kau pasti paham, kan? Manusia itu semakin lama semakin tidak puas dengan apa yang dimiliki, selalu merasa kekurangan,” jawab Rayau, istrinya yang ikut berbaring di sebelahnya.“Kau tahu, tadi ada seorang gadis—”“Kau ingin menikahinya?”“Aku belum selesai bicara.” Bagus menahan tubuh istrinya yang hendak meninggalkan peraduan, “Gadis itu hancur, menjadi santapan serdadu keparat itu.”“Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”“Sudah diobati. Nyai tabib mengatakan lukanya sudah sangat parah, bisa diselamatkan atau tidak, bukan lagi kuasanya.”“Kau harus segera bertindak, jika tidak mereka akan semakin
Read more

Kesepakatan

Bagian 14 Tubuh yang dahulu kekar dan gagah kini terbaring lemah tak berdaya di dalam gua yang gelap. Di dalam sebuah kolam dengan air terjun kecil yang tidak berhenti mengalir. Hampir tiga purnama terlewati tetapi jiwanya seakan terombang ambing antara ingin kembali hidup atau menyusul kepergiaan orang-orang yang dicintainya.Sang guru pun telah memasrahkan semuanya pada takdir. Bukan tidak pernah dia datang mengingatkan, tetapi sekali lagi semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Hingga kedua bola mata biru itu membesar ketika melihat pergerakan air yang telah merendam tubuh polos itu selama beberapa waktu.Lelaki dengan rambut putih semua itu pergi ke luar gua. Ia melihat bulan purnama tengah berada di puncaknya. Bergegas ia kembali ke dalam, sang murid yang telah tertidur akhirnya bangun kembali. Lama lelaki yang rambutnya bertambah panjang selama masa tidurnya itu memindai keadaan di sekelilingnya.Seseorang datang memasuki gua itu dan ter
Read more

Perpisahan

Bagian 15 “Nggak mau. Aku nggak bisa. Kamu udah berjasa antar aku pulang.”“Bukan jasa besar.”“Loh, gimana nggak. Kalau nggak ada kamu udah lama aku mati di tengah hutan.”“Terserah kau saja, aku bisa melakukannya sendiri, nanti.”Keduanya melanjutkan perjalan dengan penuh kebekuan, salah satunya bahkan enggan untuk mencairkan suasana yang dingin. Di ujung jalan sana sudah mulai terasa hangatnya sinar mentari. Artinya tidak lama lagi mereka akan berpisah.“Aku punya galeri lukisan sendiri. Aku suka menggambar, nanti aku tunjukin koleksi karyaku sama kamu. Kalau kamu nggak keberatan,” ujar Ana memulai pembicaraan.“Aku tidak tertarik.”“Aku paksa!”“Caranya?”“Sekarang masih pertengahan tahun. Akhir tahun nanti aku lewat sini lagi. Aku tunggu kamu di tempat kita berpisah, atau aku susul ke dalam huta
Read more

Topeng

Bagian 16  Di sebuah ruangan khusus terdapat banyak kanvas kosong yang masih bersih. Tangan wanita bermata cokelat itu, begitu cekatan memoleskan round brush di salah satu kanvas yang telah diberikan sketsa. Sesekali Ana menyeka wajahnya, hingga tertinggal beberapa noda cat minyak yang menempel di kulitnya.  Menjelang pembukaan pameran galeri lukisannya, ia semakin giat menggambar lukisan yang benar-benar nampak hidup di tangan dinginnya. Kali ke dua Ana membuka pameran sendiri, dan harus dibantu beberapa asisten agar semuanya tampak sempurna. Tema lukisan yang ia angkat, berasal dari legenda-legenda yang sampai di telinganya.  “Hai. Aku masuk, ya.”   Ketukan pintu dari seseorang membuatnya mencoret garis yang tidak perlu pada kanvas karena terkejut.  “Ya masuk aja, sejak kapan juga minta izin
Read more

Boneka Kiriman

Bagian 17 Boneka Kiriman   Ana membuka pintu rumahnya ketika sedang menyiapkan sarapan untuk suami dan anak tirinya. Tidak ada orang di depan pintu, melainkan hanya sebuah kotak berwarna cokelat. Tidak ada nama pengirim, hanya tertulis ‘Untuk Amy’. Bergegas wanita berambut panjang itu membawanya ke ruang makan.  “Untuk siapa?” tanya Raka sembari merapikan dasinya.  “Nggak ada nama pengirimnya,” jawab Ana ketika mulai merobek kotak paket itu dengan hati-hati.  “Paling juga orang iseng.”  “Oh. Boneka, ya ampun cantik banget. Ini untuk Amy, sih, tertulis di kotaknya.” Ana menyodorkan benda itu pada suaminya.  Raka mengambil sebilah pisau, kemudian mengarahkannya pada kepala boneka itu, segera saja Ana
Read more

Petunjuk

    Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00, tetapi Raka masih enggan kembali ke rumah, bahkan ia lebih memilih menghabiskan makan malam bersama sekretaris yang telah dikencaninya selama sebulan, tentu saja kencan yang berakhir di sebuah kamar hotel.  Kebusukan yang berhasil ia tutupi dari Ana. Wanita yang telah menjadi sahabatnya dari dahulu sepertinya telah percaya padanya. Wajah sekretaris pribadinya itu tampak pucat, bahkan tidak berselera makan ketika Raka mengajaknya kencan pribadi di sebuah hotel.  “Kamu kenapa? Sakit?” Raka menyentuh kening wanita yang mengenakan blus lengan panjang itu.  “Bu-bukan, Pak. Ta-tapi.” Bibirnya bergetar, ingin mengutarakan sesuatu hal, tetapi rasa takut lebih mendominasinya.  “Kenapa? Ada yang ingin kamu sampaikan, atau bonus untukmu ka
Read more

Kilasan Mimpi

Bagian 19  Dinding putih yang masih bersih itu, Ana bersihkan kembali agar bebas dari debu, minyak dan kotoran lain. Setelahnya ia sapukan cat dasar atau primer, lalu mulai melukis hal yang ia impikan semalam. Naluri menuntunnya, wanita itu melengkapi mural dengan teknik pengecatan yang memberikan tekstur seperti sponging agar hasil lukisan lebih berdimensi. Setelahnya langkah terakhir ia berikan vernis sebagai penyempurna mahakaryanya.  “Lukisan bagus gini, sayang kalau di dinding aja. Nggak bisa dijual, mending buat di atas kertas atau kaca satu lagi.” Mita membantu merapikan lukisan Ana sehingga terlihat lebih indah.  “Memang aku nggak niat jual. Seperti apa, ya. Ada keterikatan antara aku sama lukisan ini. Apa jangan-jangan aku pernah pergi ke sini, juga.” Tunjuk Ana pada lukisan di dinding itu.  “Seharian ngerjain
Read more

Ramalan

Bagian 20 Pintu rumah kontrakan mantan sekretaris Raka ada yang mengetuk. Segera saja wanita yang baru seminggu berhenti dari pekerjaannya membukanya tanpa ada rasa curiga sama sekali. Akan tetapi, kedatangan orang yang sangat dibencinya membuatnya menyesal, mengapa tidak pindah rumah secepatnya. Sekuat tenaga ia mencoba menutup rapat pintu itu. Namun, kedua lengan itu berhasil menghalau dan membuat wanita itu mundur beberapa langkah. “Mau apa  ke sini? Aku nggak ada urusan lagi sama kamu!” tegas wanita itu. “Aku ke sini untuk minta maaf,” ucap Raka, “juga untuk mempertanggungjawabkan semuanya, aku menyesal, Sayang.” Tangan Raka berusaha untuk membelai rambut mantan sekretarisnya, tetapi cepat wanita itu menghindar. “Drama apalagi ini. Apa jangan-jangan ini permintaan istrimu?”  Ra
Read more
PREV
123456
...
20
DMCA.com Protection Status