Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00, tetapi Raka masih enggan kembali ke rumah, bahkan ia lebih memilih menghabiskan makan malam bersama sekretaris yang telah dikencaninya selama sebulan, tentu saja kencan yang berakhir di sebuah kamar hotel.
Kebusukan yang berhasil ia tutupi dari Ana. Wanita yang telah menjadi sahabatnya dari dahulu sepertinya telah percaya padanya. Wajah sekretaris pribadinya itu tampak pucat, bahkan tidak berselera makan ketika Raka mengajaknya kencan pribadi di sebuah hotel.
“Kamu kenapa? Sakit?” Raka menyentuh kening wanita yang mengenakan blus lengan panjang itu.
“Bu-bukan, Pak. Ta-tapi.” Bibirnya bergetar, ingin mengutarakan sesuatu hal, tetapi rasa takut lebih mendominasinya.
“Kenapa? Ada yang ingin kamu sampaikan, atau bonus untukmu ka
Bagian 19Dinding putih yang masih bersih itu, Ana bersihkan kembali agar bebas dari debu, minyak dan kotoran lain. Setelahnya ia sapukan cat dasar atau primer, lalu mulai melukis hal yang ia impikan semalam. Naluri menuntunnya, wanita itu melengkapi mural dengan teknik pengecatan yang memberikan tekstur seperti sponging agar hasil lukisan lebih berdimensi. Setelahnya langkah terakhir ia berikan vernis sebagai penyempurna mahakaryanya.“Lukisan bagus gini, sayang kalau di dinding aja. Nggak bisa dijual, mending buat di atas kertas atau kaca satu lagi.” Mita membantu merapikan lukisan Ana sehingga terlihat lebih indah.“Memang aku nggak niat jual. Seperti apa, ya. Ada keterikatan antara aku sama lukisan ini. Apa jangan-jangan aku pernah pergi ke sini, juga.” Tunjuk Ana pada lukisan di dinding itu.“Seharian ngerjain
Bagian 20Pintu rumah kontrakan mantan sekretaris Raka ada yang mengetuk. Segera saja wanita yang baru seminggu berhenti dari pekerjaannya membukanya tanpa ada rasa curiga sama sekali. Akan tetapi, kedatangan orang yang sangat dibencinya membuatnya menyesal, mengapa tidak pindah rumah secepatnya. Sekuat tenaga ia mencoba menutup rapat pintu itu. Namun, kedua lengan itu berhasil menghalau dan membuat wanita itu mundur beberapa langkah.“Mau apa ke sini? Aku nggak ada urusan lagi sama kamu!” tegas wanita itu.“Aku ke sini untuk minta maaf,” ucap Raka, “juga untuk mempertanggungjawabkan semuanya, aku menyesal, Sayang.” Tangan Raka berusaha untuk membelai rambut mantan sekretarisnya, tetapi cepat wanita itu menghindar.“Drama apalagi ini. Apa jangan-jangan ini permintaan istrimu?”Ra
Bagian 21Raka memutar selotip berwarna hitam pada tubuh kaku sekretaris yang tewas di tangannya, kemarin. Ia masih berada di rumah masa kecilnya. Sudah dua hari lelaki maniak itu tidak kembali ke kediamannya bersama Ana dan Amy, alasan ke luar kota kerap ia ucapkan pada mereka. Namun, kini ia benar-benar harus ke luar kota untuk menyembunyikan jejak pembunuhannya.Rumah masa kecilnya yang tidak memiliki tetangga di kiri dan kanan memudahnya pergerakannya, ditambah listrik yang sengaja ia padamkan. Tidak ada yang akan mencurigai pergerakannya, kecuali sosok Asih yang hanya memperhatikan dirinya dari sudut kamar mandi.Raka membawa tubuh yang kini tertutup selotip hitam itu ke dalam bagasi mobil. Setelah ia memastikan bagasi tertutup rapat, kemudian lelaki psikopat itu duduk pada kursi kemudi, di sebelahnya Asih masih setia mengikuti, memandangnya dengan tatapan kosong. Sebelum be
Bagian 22“Psikopat!” umpat Ana, “tega kamu bunuh anak sendiri!”“A-aku, nggak sengaja. Sumpah.”“Bohong.” Air mata mengalir deras di pipinya, “Tunggu aja, kamu harus bertanggungjawab. Manusia bejat kayak kamu, membusuklah di penjara.”“Ma-mafkan, aku, An, kita tutupi aja masalah ini. Jangan diperpanjang, please.”Ana tidak menghiraukan perkataan lelaki yang baru saja ia campakkan dari hidupnya. Ia berlari secepatnya menuruni anak tangga. Melihat wanita itu tidak bisa diajak kompromi, Raka pun mengambil vas bunga berukuran sedang yang terletak di atas meja. Menghantamkan ke kepala Ana kuat-kuat, hingga wanita itu terjatuh.Wanita itu masih separuh sadar ketika tangannya diikat dengan tali, walau demikian i
Bagian 23Ana memandang dari dekat wajah lelaki yang terbaring di sofa apartemen miliknya. Terdapat garis-garis halus bekas cakaran di wajahnya. Cambang di wajahnya juga terlihat lebih lebat dari terakhir kali mereka bertemu. Jemari lentiknya terulur hendak mengelus wajah sang pejantan, tetapi hal itu ia urungkan karena sang pemilik telah membuka matanya terlebih dahulu dan bola mata kuningnya menatap wanita itu lekat-lekat.Merasa tatapan mata kuning terlalu mengintimasi dirinya, Ana memutar dan berlalu begitu saja dari hadapan Bagus yang juga tengah mengalihkan pandangan. Pakaian yang digunakan Ana pendek jauh di atas lutut dan menempel ketat pada tubuhnya.“Ini baju untukmu. Tadi aku pesan sama layanan apartement. Semoga pas.”Ana yang mengenakan kimono mandi menyerahkan setumpuk pakaian lengkap dengan dalaman pada lelaki ya
Bagian 24“Astaga, ya ampun!” jerit Ana tertahan, melihat seekor binatang buas berbaring di sebelahnya.Ia menggelengkan kepala sangat kuat, ingin menjerit, tetapi dalam waktu dekat wanita itu juga menyadari kejadian beberapa jam lalu. Sprei dan bantal yang telah tidak berwujud menjadi bukti kebrutalan manusia harimau di sebelahnya.Wanita itu mengambil handuk kimononya yang berserakan bersama baju lelaki itu di lantai, membereskan dan meletakkannya ke dalam mesin cuci.“Huh. Unbelieveble. Aku bener-bener kehilangan akal sehat.” Ana berbicara seorang diri sambil memegang sebagian tubuhnya yang terasa remuk.Air hangat mengalir membasuh sekujur tubuhnya. Terasa perih ketika mengenai kulit yang memerah, bekas cakaran halus sangat jelas walau pejantan itu berusaha mengendalika
Bagian 25Tubuh lelaki berambut sebahu itu terbaring sendirian di dalam gubugnya. Ia bukannya tidak mendengar panggilan Ana, melainkan rasa sakit dan perih belum juga hilang walau sudah berhari-hari ditinggalkan seorang diri. Benar kata sang guru, daging dan tulangnya perlahan-lahan mulai kehilangan kekuatan.Mendengar tangis Ana ia pun tidak sampai hati jika tak kembali. Namun, pesan dari harimau putih itu juga tidak main-main. Ia harus menghabisi Ana dengan tangannya sendiri jika masih ingin diterima hidup di hutan itu, atau gurunya sendiri yang turun tangan menghilangkan nyawa wanita yang memberinya sebuah rasa baru di dalam hati.Lelaki itu memejamkan matanya, ia berkonsentrasi pada apartemen di mana Ana masih menangis bahkan mengancam akan berjalan seorang diri ke dalam hutan. Tubuhnya berhasil keluar dari hutan, tetapi bukan di kediaman Ana. Ia tak bisa lagi berpindah
Bagian 26Rumah Lama“Aku tidak bisa tinggal di sini terus menerus.”“Terus mau kemana, kembali ke hutan lagi. Aku ikut kalau gitu.” Ana mengemas perlengkapan melukisnya, ia menggambar dengan menggunakan Bagus sebagai objeknya.“Tidak bisa juga. Bisa dibilang aku telah terusir dari sana.”“Hah, kenapa?” Wanita itu melebarkan kedua mata cokelatnya.“Bukankah sudah kukatakan. Hubungan kita melanggar aturan.”“Apa seserius itu? Maaf, apa nggak ada yang bisa dinegosiasi lagi?” Bagus hanya menggeleng saja.“Terus, kamu mau kemana. Di sini aja kenapa?”“Aku mau ke rumah lama.”