Bagian 21
Raka memutar selotip berwarna hitam pada tubuh kaku sekretaris yang tewas di tangannya, kemarin. Ia masih berada di rumah masa kecilnya. Sudah dua hari lelaki maniak itu tidak kembali ke kediamannya bersama Ana dan Amy, alasan ke luar kota kerap ia ucapkan pada mereka. Namun, kini ia benar-benar harus ke luar kota untuk menyembunyikan jejak pembunuhannya.
Rumah masa kecilnya yang tidak memiliki tetangga di kiri dan kanan memudahnya pergerakannya, ditambah listrik yang sengaja ia padamkan. Tidak ada yang akan mencurigai pergerakannya, kecuali sosok Asih yang hanya memperhatikan dirinya dari sudut kamar mandi.
Raka membawa tubuh yang kini tertutup selotip hitam itu ke dalam bagasi mobil. Setelah ia memastikan bagasi tertutup rapat, kemudian lelaki psikopat itu duduk pada kursi kemudi, di sebelahnya Asih masih setia mengikuti, memandangnya dengan tatapan kosong. Sebelum be
Bagian 22“Psikopat!” umpat Ana, “tega kamu bunuh anak sendiri!”“A-aku, nggak sengaja. Sumpah.”“Bohong.” Air mata mengalir deras di pipinya, “Tunggu aja, kamu harus bertanggungjawab. Manusia bejat kayak kamu, membusuklah di penjara.”“Ma-mafkan, aku, An, kita tutupi aja masalah ini. Jangan diperpanjang, please.”Ana tidak menghiraukan perkataan lelaki yang baru saja ia campakkan dari hidupnya. Ia berlari secepatnya menuruni anak tangga. Melihat wanita itu tidak bisa diajak kompromi, Raka pun mengambil vas bunga berukuran sedang yang terletak di atas meja. Menghantamkan ke kepala Ana kuat-kuat, hingga wanita itu terjatuh.Wanita itu masih separuh sadar ketika tangannya diikat dengan tali, walau demikian i
Bagian 23Ana memandang dari dekat wajah lelaki yang terbaring di sofa apartemen miliknya. Terdapat garis-garis halus bekas cakaran di wajahnya. Cambang di wajahnya juga terlihat lebih lebat dari terakhir kali mereka bertemu. Jemari lentiknya terulur hendak mengelus wajah sang pejantan, tetapi hal itu ia urungkan karena sang pemilik telah membuka matanya terlebih dahulu dan bola mata kuningnya menatap wanita itu lekat-lekat.Merasa tatapan mata kuning terlalu mengintimasi dirinya, Ana memutar dan berlalu begitu saja dari hadapan Bagus yang juga tengah mengalihkan pandangan. Pakaian yang digunakan Ana pendek jauh di atas lutut dan menempel ketat pada tubuhnya.“Ini baju untukmu. Tadi aku pesan sama layanan apartement. Semoga pas.”Ana yang mengenakan kimono mandi menyerahkan setumpuk pakaian lengkap dengan dalaman pada lelaki ya
Bagian 24“Astaga, ya ampun!” jerit Ana tertahan, melihat seekor binatang buas berbaring di sebelahnya.Ia menggelengkan kepala sangat kuat, ingin menjerit, tetapi dalam waktu dekat wanita itu juga menyadari kejadian beberapa jam lalu. Sprei dan bantal yang telah tidak berwujud menjadi bukti kebrutalan manusia harimau di sebelahnya.Wanita itu mengambil handuk kimononya yang berserakan bersama baju lelaki itu di lantai, membereskan dan meletakkannya ke dalam mesin cuci.“Huh. Unbelieveble. Aku bener-bener kehilangan akal sehat.” Ana berbicara seorang diri sambil memegang sebagian tubuhnya yang terasa remuk.Air hangat mengalir membasuh sekujur tubuhnya. Terasa perih ketika mengenai kulit yang memerah, bekas cakaran halus sangat jelas walau pejantan itu berusaha mengendalika
Bagian 25Tubuh lelaki berambut sebahu itu terbaring sendirian di dalam gubugnya. Ia bukannya tidak mendengar panggilan Ana, melainkan rasa sakit dan perih belum juga hilang walau sudah berhari-hari ditinggalkan seorang diri. Benar kata sang guru, daging dan tulangnya perlahan-lahan mulai kehilangan kekuatan.Mendengar tangis Ana ia pun tidak sampai hati jika tak kembali. Namun, pesan dari harimau putih itu juga tidak main-main. Ia harus menghabisi Ana dengan tangannya sendiri jika masih ingin diterima hidup di hutan itu, atau gurunya sendiri yang turun tangan menghilangkan nyawa wanita yang memberinya sebuah rasa baru di dalam hati.Lelaki itu memejamkan matanya, ia berkonsentrasi pada apartemen di mana Ana masih menangis bahkan mengancam akan berjalan seorang diri ke dalam hutan. Tubuhnya berhasil keluar dari hutan, tetapi bukan di kediaman Ana. Ia tak bisa lagi berpindah
Bagian 26Rumah Lama“Aku tidak bisa tinggal di sini terus menerus.”“Terus mau kemana, kembali ke hutan lagi. Aku ikut kalau gitu.” Ana mengemas perlengkapan melukisnya, ia menggambar dengan menggunakan Bagus sebagai objeknya.“Tidak bisa juga. Bisa dibilang aku telah terusir dari sana.”“Hah, kenapa?” Wanita itu melebarkan kedua mata cokelatnya.“Bukankah sudah kukatakan. Hubungan kita melanggar aturan.”“Apa seserius itu? Maaf, apa nggak ada yang bisa dinegosiasi lagi?” Bagus hanya menggeleng saja.“Terus, kamu mau kemana. Di sini aja kenapa?”“Aku mau ke rumah lama.”
Bagian 27AncamanRaka yang telah mengikuti pergerakan Ana selama berminggu-minggu mulai menggila. Ia tidak rela melihat wanita itu bahagia sementara dirinya kehilangan semua yang telah ada dalam genggaman, uang dan perempuan. Lelaki itu memegang dadanya yang masih terasa nyeri, tubuhnya terlempar beberapa meter dan menghantam benda keras saat mencoba menikam Ana. Dengan sisa-sisa kekuatan dan uang yang ada ia mengunjungi seorang teman lama di dunia hitam.“Sepertinya dia bukan manusia biasa. Mana ada orang yang bisa melempar manusia sampai menjauh beberapa meter, bola matanya juga aneh.” Raka menceritakan secara detail ciri-ciri fisik lelaki yang menggagalkan serangannya beberapa minggu lalu.“Ada fotonya, aku ingin lihat dia yang kamu bicarakan itu lebih jelas.”Raka mengeluarkan selemba
Bagian 28Positif“Dua garis merah,” ujar Ana pada dokter yang memintanya untuk melakukan tes kehamilan.“Selamat kalau gitu.” Dokter melanjutkan pemeriksaan pada perut Ana.“Usia kandungan Ibu sekitar tujuh minggu, masih berupa kantong janin, ya. Oh, iya pergi sendiri saja, suaminya tidak ikut?” tanya wanita berbaju putih.“Nggak, dia lagi nggak enak badan. Jadi istirahat di rumah.”“Oh. Istrinya yang hamil suaminya yang ngidam kalau begitu.” Dokter lalu menuliskan resep yang harus ditebus Ana.Sepanjang perjalanan Ana memikirkan pertanyaan semalam. Mahluk macam apa yang akan lahir. Namun, pemeriksaan dokter tadi tidak menemukan sesuatu yang aneh dalam kandungannya. Jika memang mahluk lain, tentu tertangkap oleh peralatan USG yang canggih.Ana dan Bagus masih belum bertegur sapa sejak tadi malam. Keduanya masih sib
Bagian 29“Kita pergi ke kediaman Bagus dan wanita yang berhasil menggodanya!” perintah sang guru pada Arya.“Kalau boleh tahu untuk apa, Guru? Bukankah mereka sudah hidup bahagia walaupun—”“Kau jangan ikut-ikutan bodoh, Arya. Murid kesayanganku itu telah lupa dengan dirinya sendiri. Batas waktu yang kuberikan telah habis dan dia masih saja terus mengulur waktu.”“Apa yang akan Guru lakukan pada mereka?” tanya Arya pada lelaki berambut putih.“Dia harus memilih, siapa yang hidup, dirinya atau wanita itu. Ini sebagai contoh, jika ada yang berani melanggar lagi, maka akan bernasib sama seperti dia,” tegas sang guru lagi.Arya-sahabat Bagus lagi-lagi tidak tega. Ia yang kerap kali ditolong olehnya dulu, harus meny
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi