Bagian 14
Tubuh yang dahulu kekar dan gagah kini terbaring lemah tak berdaya di dalam gua yang gelap. Di dalam sebuah kolam dengan air terjun kecil yang tidak berhenti mengalir. Hampir tiga purnama terlewati tetapi jiwanya seakan terombang ambing antara ingin kembali hidup atau menyusul kepergiaan orang-orang yang dicintainya.
Sang guru pun telah memasrahkan semuanya pada takdir. Bukan tidak pernah dia datang mengingatkan, tetapi sekali lagi semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Hingga kedua bola mata biru itu membesar ketika melihat pergerakan air yang telah merendam tubuh polos itu selama beberapa waktu.
Lelaki dengan rambut putih semua itu pergi ke luar gua. Ia melihat bulan purnama tengah berada di puncaknya. Bergegas ia kembali ke dalam, sang murid yang telah tertidur akhirnya bangun kembali. Lama lelaki yang rambutnya bertambah panjang selama masa tidurnya itu memindai keadaan di sekelilingnya.
Seseorang datang memasuki gua itu dan ter
Bagian 15“Nggak mau. Aku nggak bisa. Kamu udah berjasa antar aku pulang.”“Bukan jasa besar.”“Loh, gimana nggak. Kalau nggak ada kamu udah lama aku mati di tengah hutan.”“Terserah kau saja, aku bisa melakukannya sendiri, nanti.”Keduanya melanjutkan perjalan dengan penuh kebekuan, salah satunya bahkan enggan untuk mencairkan suasana yang dingin. Di ujung jalan sana sudah mulai terasa hangatnya sinar mentari. Artinya tidak lama lagi mereka akan berpisah.“Aku punya galeri lukisan sendiri. Aku suka menggambar, nanti aku tunjukin koleksi karyaku sama kamu. Kalau kamu nggak keberatan,” ujar Ana memulai pembicaraan.“Aku tidak tertarik.”“Aku paksa!”“Caranya?”“Sekarang masih pertengahan tahun. Akhir tahun nanti aku lewat sini lagi. Aku tunggu kamu di tempat kita berpisah, atau aku susul ke dalam huta
Bagian 16Di sebuah ruangan khusus terdapat banyak kanvas kosong yang masih bersih. Tangan wanita bermata cokelat itu, begitu cekatan memoleskan round brush di salah satu kanvas yang telah diberikan sketsa. Sesekali Ana menyeka wajahnya, hingga tertinggal beberapa noda cat minyak yang menempel di kulitnya.Menjelang pembukaan pameran galeri lukisannya, ia semakin giat menggambar lukisan yang benar-benar nampak hidup di tangan dinginnya. Kali ke dua Ana membuka pameran sendiri, dan harus dibantu beberapa asisten agar semuanya tampak sempurna. Tema lukisan yang ia angkat, berasal dari legenda-legenda yang sampai di telinganya.“Hai. Aku masuk, ya.”Ketukan pintu dari seseorang membuatnya mencoret garis yang tidak perlu pada kanvas karena terkejut.“Ya masuk aja, sejak kapan juga minta izin
Bagian 17Boneka KirimanAna membuka pintu rumahnya ketika sedang menyiapkan sarapan untuk suami dan anak tirinya. Tidak ada orang di depan pintu, melainkan hanya sebuah kotak berwarna cokelat. Tidak ada nama pengirim, hanya tertulis ‘Untuk Amy’. Bergegas wanita berambut panjang itu membawanya ke ruang makan.“Untuk siapa?” tanya Raka sembari merapikan dasinya.“Nggak ada nama pengirimnya,” jawab Ana ketika mulai merobek kotak paket itu dengan hati-hati.“Paling juga orang iseng.”“Oh. Boneka, ya ampun cantik banget. Ini untuk Amy, sih, tertulis di kotaknya.” Ana menyodorkan benda itu pada suaminya.Raka mengambil sebilah pisau, kemudian mengarahkannya pada kepala boneka itu, segera saja Ana
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00, tetapi Raka masih enggan kembali ke rumah, bahkan ia lebih memilih menghabiskan makan malam bersama sekretaris yang telah dikencaninya selama sebulan, tentu saja kencan yang berakhir di sebuah kamar hotel.Kebusukan yang berhasil ia tutupi dari Ana. Wanita yang telah menjadi sahabatnya dari dahulu sepertinya telah percaya padanya. Wajah sekretaris pribadinya itu tampak pucat, bahkan tidak berselera makan ketika Raka mengajaknya kencan pribadi di sebuah hotel.“Kamu kenapa? Sakit?” Raka menyentuh kening wanita yang mengenakan blus lengan panjang itu.“Bu-bukan, Pak. Ta-tapi.” Bibirnya bergetar, ingin mengutarakan sesuatu hal, tetapi rasa takut lebih mendominasinya.“Kenapa? Ada yang ingin kamu sampaikan, atau bonus untukmu ka
Bagian 19Dinding putih yang masih bersih itu, Ana bersihkan kembali agar bebas dari debu, minyak dan kotoran lain. Setelahnya ia sapukan cat dasar atau primer, lalu mulai melukis hal yang ia impikan semalam. Naluri menuntunnya, wanita itu melengkapi mural dengan teknik pengecatan yang memberikan tekstur seperti sponging agar hasil lukisan lebih berdimensi. Setelahnya langkah terakhir ia berikan vernis sebagai penyempurna mahakaryanya.“Lukisan bagus gini, sayang kalau di dinding aja. Nggak bisa dijual, mending buat di atas kertas atau kaca satu lagi.” Mita membantu merapikan lukisan Ana sehingga terlihat lebih indah.“Memang aku nggak niat jual. Seperti apa, ya. Ada keterikatan antara aku sama lukisan ini. Apa jangan-jangan aku pernah pergi ke sini, juga.” Tunjuk Ana pada lukisan di dinding itu.“Seharian ngerjain
Bagian 20Pintu rumah kontrakan mantan sekretaris Raka ada yang mengetuk. Segera saja wanita yang baru seminggu berhenti dari pekerjaannya membukanya tanpa ada rasa curiga sama sekali. Akan tetapi, kedatangan orang yang sangat dibencinya membuatnya menyesal, mengapa tidak pindah rumah secepatnya. Sekuat tenaga ia mencoba menutup rapat pintu itu. Namun, kedua lengan itu berhasil menghalau dan membuat wanita itu mundur beberapa langkah.“Mau apa ke sini? Aku nggak ada urusan lagi sama kamu!” tegas wanita itu.“Aku ke sini untuk minta maaf,” ucap Raka, “juga untuk mempertanggungjawabkan semuanya, aku menyesal, Sayang.” Tangan Raka berusaha untuk membelai rambut mantan sekretarisnya, tetapi cepat wanita itu menghindar.“Drama apalagi ini. Apa jangan-jangan ini permintaan istrimu?”Ra
Bagian 21Raka memutar selotip berwarna hitam pada tubuh kaku sekretaris yang tewas di tangannya, kemarin. Ia masih berada di rumah masa kecilnya. Sudah dua hari lelaki maniak itu tidak kembali ke kediamannya bersama Ana dan Amy, alasan ke luar kota kerap ia ucapkan pada mereka. Namun, kini ia benar-benar harus ke luar kota untuk menyembunyikan jejak pembunuhannya.Rumah masa kecilnya yang tidak memiliki tetangga di kiri dan kanan memudahnya pergerakannya, ditambah listrik yang sengaja ia padamkan. Tidak ada yang akan mencurigai pergerakannya, kecuali sosok Asih yang hanya memperhatikan dirinya dari sudut kamar mandi.Raka membawa tubuh yang kini tertutup selotip hitam itu ke dalam bagasi mobil. Setelah ia memastikan bagasi tertutup rapat, kemudian lelaki psikopat itu duduk pada kursi kemudi, di sebelahnya Asih masih setia mengikuti, memandangnya dengan tatapan kosong. Sebelum be
Bagian 22“Psikopat!” umpat Ana, “tega kamu bunuh anak sendiri!”“A-aku, nggak sengaja. Sumpah.”“Bohong.” Air mata mengalir deras di pipinya, “Tunggu aja, kamu harus bertanggungjawab. Manusia bejat kayak kamu, membusuklah di penjara.”“Ma-mafkan, aku, An, kita tutupi aja masalah ini. Jangan diperpanjang, please.”Ana tidak menghiraukan perkataan lelaki yang baru saja ia campakkan dari hidupnya. Ia berlari secepatnya menuruni anak tangga. Melihat wanita itu tidak bisa diajak kompromi, Raka pun mengambil vas bunga berukuran sedang yang terletak di atas meja. Menghantamkan ke kepala Ana kuat-kuat, hingga wanita itu terjatuh.Wanita itu masih separuh sadar ketika tangannya diikat dengan tali, walau demikian i
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi