Home / Romansa / Menjadikanmu Milikku / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Menjadikanmu Milikku: Chapter 41 - Chapter 50

96 Chapters

40. Tersesat

40. Tersesat *** Kakinya masih setia menapaki kasarnya tanah. Berlari tanpa tujuan dengan mata berembun. Menangis tergugu meratapi kisah cinta dan kehidupnya. Kenapa? Kenapa semua ini bisa terjadi padanya? Kenapa? Kenapa sahabat sejak kecilnya tega melakukan hal itu kepada dirinya. Salah apakah ia? Lagi-lagi alasan mengatasnamakan cinta ia dengar dari bibir yang memang ia akui terdengar manis. Namun, inikah cinta? Menyakiti seseorang yang ia cinta? Penjelasan yang dijabarkan Kafk sebelumnya telah menandakan bahwa dirinya bukan perempuan sempurna bagi suaminya saat ini. Tiba-tiba saja tbuhnya luruh bertumpu pada bumi kala kaki tidak lagi mampu Memijaki tanah. Meremas dedaunan kering yang ada pada bawah telapak tangan. Masih setia dengan tangis yang menyayat bagi siapa saja yang mendengarnya. Saat emosi telah berhasil dikuasai, ia me
Read more

42. Menemukanmu

41. Menemukanmu *** Kafka mencoba menelisik sosok yang ia lihat, kelegaan terpancar kala melihat rambut yang ia kenali adalah milik Ava.  Tidak menunggu waktu lagi, pria itu berjalan mendekat, berjongkok lalu mengulurkan tangan dan memegang pundak bergetar di hadapannya. "Ava," panggil Kafka pelan. Pandangan Kafka menelisik seluruh tubuh perempuan yang masih menangis menenggelamkan wajah pada lutut. Tatapan elang itu jatuh pada sepasang kaki di mana penuh luka. Ia mendesis lirih karena seperti bisa merasakan sakitnya. "Ava," panggilnya lagi. Wajah di hadapannya mendongak, menampakkan mimik ketakutan. Namun, hal tidak terduga terjadi. Ava mendorong tubuhnya. Sepertinya, perempuan itu mengeluarkan seluruh tenaga saat melakukannya hingga dirinya sampai terjerembab ke belakang dengan satu tangan yang menopang. Kafka menatap bingun
Read more

43. Keputusan

43. Keputusan *** Revan menatap perempuan dengan kemeja putih di mana rambut beraroma vanila itu terurai. Ia menatap Tasya yang baru saja menawari dirinya. Pria itu cukup bingung dengan kehadiran Tasya di sini. "Mau pakai apa?" Pertanyaan Tasya membuat Revan tersadar. Ia mengerjapkan mata lalu menggelengkan kepala beberapa kali. "Apa saja," jawabnya kemudian. Bola matanya masih memerhatikan tangan lembut itu mengambilkan laut pada makanannya. "Saking cintanya sampai bengong gitu." Ratna—mama Revan yang sedari memerhatikan keduanya terkikik geli ketika melihat putranya yang seperti terpesona pada sosok gadis yang menjadi tunangannya. Memang, keduanya sangat cocok. "Kamu juga duduk, Sayang. Ayo makan," tawarnya ketika Tasya sudah menyelesaikan kegiatannya. Perempuan itu mengangguk dengan senyum. Duduk tepat di samping Revan dan mulai mengambil makanan untuk dirinya sen
Read more

44. Menyerah?

44. Menyerah? *** Mimik lelah begitu kentara dari raut wajah Kafka. Siapa pun yang melihat pasti bisa membacanya. Namun, karena suatu hal membuat pria itu mengenyahkan rasa lelahnya. Tidak memedulikan kaki yang mulai terasa kaku, tetap berusaha menapaki bumi di setiap langkah-perlangkah. Menyusuri setapak Tanah dengan taburan dedaunan kering, sesekali meringis kala tidak sengaja menginjak batu atau pun kayu. Tangannya masih setia akan sosok yang ia dekap dalam gendongan. Berusaha melindungi tubuh terlelap itu dalam dekapan hangatnya. Buliran-buliran peluh tidak ia hiraukan saat mulai meleleh menyelusuri lekukan wajah hingga rahang kokoh. Sesekali ia membenarkan posisi wanita yang ada dalam gendongannya. Menarik napas dalam hanya untuk sekedar menambah kekuatan. "Di mana ini?" tanyanya pada diri sendiri. Pandangan selalu awas, menelisik setiap tempat. Rasa kram pada p
Read more

45. Galau

45. Galau *** Ia hanya mampu berdiam diri. Duduk dengan tangan menyanggah dagu sembari memandang kosong ke arah luar kaca ruangan kerjanya. Di balik benak sana masih diingat jelas kejadian yang ia alami satu bulan lalu. Kejadian yang menurutnya adalah hal menyakitkan dan menyenangkan yang telah dilalui secara bersamaan. Kejadian yang bersangkutan dengan seseorang. Seseorang yang berarti dalam hidupnya. Masihkan bisa ia tetap menomor satukan Dia? Maka jawabannya adalah iya. "Hah." Lagi-lagi ia mengembuskan napas kasar. Seperti masih bisa ia rasa saat tubuh kekarnya memeluk erat tubuh mungil yang kedinginan. Seperti masih bisa ia rasa kakinya yang lelah namun berusaha ditampik karena ada seseorang yang berharga dalam gendongannya. Seperti masih bisa ia rasa tetesan-tetesan peluh yang mengalir di sudut keningnya kala
Read more

46. Acuh

46. Acuh *** Ava baru saja selesai menjenguk Resti dan bayinya di rumah sakit. "Kamu mau aku antar pulang, Va?" tanya Clara yang sudah menaiki mobil sang kekasih. "Tidak. Aku akan naik taksi saja," jawab Ava dengan menggelengkan kepala. "Kamu yakin?" "Iya." Ia tersenyum manis. "Baiklah. Aku duluan kalau begitu." Mobil itu melaju, membuat ia mengangkat tangan untuk melambaikannya pada Clara. Ia harus berpisah dengan Clara saat kekasih perempuan itu menjemputnya tadi. Sejujurnya, ia merasa heran dengan sahabatnya yang satu itu. Bukankah beberapa waktu lalu Clara datang dan mengeluhkan sikap sang kekasih pada dirinya? Akan tetapi, kenapa sekarang sepertinya bauk-baik saja? Ava menghela napas dalam. Ah, yang namanya suatu hubungan tidak ada yang mulus bukan? Mungkin beberapa waktu lalu mereka memang
Read more

47. Mabuk

47. Mabuk *** Bohong jika Kafka tidak merindukan Ava. Bohong jika Kafka benar-benar melupakan Ava. Keputusannya untuk menjauhi Ava adalah sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan. Nyatanya, Rasa cintanya yang teramat besar membuatnya tidak mampu melupakan Ava begitu saja. Ok. Dia memang memutuskan untuk menyerah dalam memperjuangkan cintanya terhadap Ava. Tapi tidak untuk menjauhinya. Ia benar-benar tidak sanggup akan hal itu. Alhasil, Kafka memutuskan untuk Memandang wajah cantik wanita yang ia cintai dari jauh. Mengikuti wanita itu jika ia memiliki waktu luang. Atau, membayar seseorang untuk selalu mengikuti Ava dan memintanya untuk senantiasa memberikan informasi apa pun mengenai Ava saat ia mempunyai urusan lain. Dan Siang tadi adalah puncaknya. Di mana ia mengikuti Ava sendiri tanpa orang bayarannya. Kafka melajukan mobil pada salah satu rumah sakit kala orang suruhannya memberi tah
Read more

48. Menginap

48. Menginap *** "Kok dadakan, sih?" tanya Ava dengan suara tinggi  ia terkejut dengan rencana yang baru saja dikatakan sang suami. Ia memanyunkan bibir beberapa Senti, menandakan bahwa perempuan itu tengah merajuk. Raut wajah cemberut yang tercetak di wajah Ava malah terlihat lucu bagi Rasya. Membuat or situ merasa gemas dan akhirnya mencium pipi Ava berulang kali."Mau bagaimana lagi. Ada masalah sama cabang di luar kota, Sayang," ucap Rasya penuh sesal. "Jangan ngambek dong." Pria itu memeluk pinggang sang istri, menempatkannya untuk saling berhadapan. "Ini sudah tugas aku, Sayang." Ava pun mengangguk lemah. "Ya sudah deh." Jari-jari Ava bermain di kancing kemeja sang suami. Sesaat kemudian ia mengingat suatu hal. Ava menoleh, melihat seseorang yang masih berada duduk nyaman di sofa rumahnya. Perempuan bermata hazzle itu menepuk keningnya pelan. "
Read more

49. Selingkuhan

49. Selingkuhan *** Rasya memandang keadaan rumahnya dengan wajah datar. Meretas ingatan akan seorang wanita yang telah dengan berani memasuki kediamannya dan sang istri. Rasya tahu, saat ini Ava tidak berada di rumah. Melainkan tengah berada di apartemen sang adik untuk merawat Kafka yang katanya baru saja dipukuli antek-antek klub malam. Dari mana ia tahu? Tentu saja. Sosok Ava yang merupakan istri patuh memberitahukan keberadaan pada dirinya. Ah, kalau mengingat adiknya itu Rasya berdecak menanggapi kelakuan Kafka yang selalu bertingkah sok jagoan. Lagi-lagi ia harus menggelengkan kepala. Tunggu! Untuk apa ia memikirkan sang adik? Saat ini, ada yang harus ia selesaikan. Rasya segera turun dari mobil dan memasuki rumah. Menampilkan wajah datar ia berjalan tergesa ke arah sebuah pintu. Sebuah ruangan di mana menyembunyikan seorang
Read more

50. Sentuhan

50. Sentuhan *** "Saya ingin mandi." Panggilan 'saya' yang diucapkan Kafka benar-benar membuat Ava merasa sakit. Sudah sangat sejauh ini kah, jarak di antara mereka saat ini? "Biar aku bantu." Ava baru saja berniat membantu, ingin memegang lengan dan merangkul pundak Kafka, tetapi sayang, ucapan Kafka kemudian membuatnya terpaku. "Saya bisa sendiri. Anda tidak perlu repot-repot membantu saya. Nanti Anda susah." Satu titik air mata berhasil meluncur di pipi Ava. Menatap nanar tubuh Kafka yang terlihat tertatih agar sampai ke kamar mandinya. Setelah tubuh pria itu hilang dari balik pintu, aliran air mata Ava semakin deras. Merasakan sesak akan sikap Kafka terhadapnya. Namun, Ava segera menghapusnya. Tidak. Kafka saat ini sedang sendiri. Bagaimanapun pasti membutuhkan bantuannya. Itulah yang jadi pedomannya saat ini. Menghiraukan hal itu, Ava segera pergi ke dapur untuk membuatkan Kafka
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status