41. Menemukanmu
***
"Ava," panggil Kafka pelan. Pandangan Kafka menelisik seluruh tubuh perempuan yang masih menangis menenggelamkan wajah pada lutut. Tatapan elang itu jatuh pada sepasang kaki di mana penuh luka. Ia mendesis lirih karena seperti bisa merasakan sakitnya.
"Ava," panggilnya lagi. Wajah di hadapannya mendongak, menampakkan mimik ketakutan.
Namun, hal tidak terduga terjadi. Ava mendorong tubuhnya. Sepertinya, perempuan itu mengeluarkan seluruh tenaga saat melakukannya hingga dirinya sampai terjerembab ke belakang dengan satu tangan yang menopang.
Kafka menatap bingun
43. Keputusan *** Revan menatap perempuan dengan kemeja putih di mana rambut beraroma vanila itu terurai. Ia menatap Tasya yang baru saja menawari dirinya. Pria itu cukup bingung dengan kehadiran Tasya di sini. "Mau pakai apa?" Pertanyaan Tasya membuat Revan tersadar. Ia mengerjapkan mata lalu menggelengkan kepala beberapa kali. "Apa saja," jawabnya kemudian. Bola matanya masih memerhatikan tangan lembut itu mengambilkan laut pada makanannya. "Saking cintanya sampai bengong gitu." Ratna—mama Revan yang sedari memerhatikan keduanya terkikik geli ketika melihat putranya yang seperti terpesona pada sosok gadis yang menjadi tunangannya. Memang, keduanya sangat cocok. "Kamu juga duduk, Sayang. Ayo makan," tawarnya ketika Tasya sudah menyelesaikan kegiatannya. Perempuan itu mengangguk dengan senyum. Duduk tepat di samping Revan dan mulai mengambil makanan untuk dirinya sen
44. Menyerah? *** Mimik lelah begitu kentara dari raut wajah Kafka. Siapa pun yang melihat pasti bisa membacanya. Namun, karena suatu hal membuat pria itu mengenyahkan rasa lelahnya. Tidak memedulikan kaki yang mulai terasa kaku, tetap berusaha menapaki bumi di setiap langkah-perlangkah. Menyusuri setapak Tanah dengan taburan dedaunan kering, sesekali meringis kala tidak sengaja menginjak batu atau pun kayu. Tangannya masih setia akan sosok yang ia dekap dalam gendongan. Berusaha melindungi tubuh terlelap itu dalam dekapan hangatnya. Buliran-buliran peluh tidak ia hiraukan saat mulai meleleh menyelusuri lekukan wajah hingga rahang kokoh. Sesekali ia membenarkan posisi wanita yang ada dalam gendongannya. Menarik napas dalam hanya untuk sekedar menambah kekuatan. "Di mana ini?" tanyanya pada diri sendiri. Pandangan selalu awas, menelisik setiap tempat. Rasa kram pada p
45. Galau *** Ia hanya mampu berdiam diri. Duduk dengan tangan menyanggah dagu sembari memandang kosong ke arah luar kaca ruangan kerjanya. Di balik benak sana masih diingat jelas kejadian yang ia alami satu bulan lalu. Kejadian yang menurutnya adalah hal menyakitkan dan menyenangkan yang telah dilalui secara bersamaan. Kejadian yang bersangkutan dengan seseorang. Seseorang yang berarti dalam hidupnya. Masihkan bisa ia tetap menomor satukan Dia? Maka jawabannya adalah iya. "Hah." Lagi-lagi ia mengembuskan napas kasar. Seperti masih bisa ia rasa saat tubuh kekarnya memeluk erat tubuh mungil yang kedinginan. Seperti masih bisa ia rasa kakinya yang lelah namun berusaha ditampik karena ada seseorang yang berharga dalam gendongannya. Seperti masih bisa ia rasa tetesan-tetesan peluh yang mengalir di sudut keningnya kala
46. Acuh *** Ava baru saja selesai menjenguk Resti dan bayinya di rumah sakit. "Kamu mau aku antar pulang, Va?" tanya Clara yang sudah menaiki mobil sang kekasih. "Tidak. Aku akan naik taksi saja," jawab Ava dengan menggelengkan kepala. "Kamu yakin?" "Iya." Ia tersenyum manis. "Baiklah. Aku duluan kalau begitu." Mobil itu melaju, membuat ia mengangkat tangan untuk melambaikannya pada Clara. Ia harus berpisah dengan Clara saat kekasih perempuan itu menjemputnya tadi. Sejujurnya, ia merasa heran dengan sahabatnya yang satu itu. Bukankah beberapa waktu lalu Clara datang dan mengeluhkan sikap sang kekasih pada dirinya? Akan tetapi, kenapa sekarang sepertinya bauk-baik saja? Ava menghela napas dalam. Ah, yang namanya suatu hubungan tidak ada yang mulus bukan? Mungkin beberapa waktu lalu mereka memang
47. Mabuk *** Bohong jika Kafka tidak merindukan Ava. Bohong jika Kafka benar-benar melupakan Ava. Keputusannya untuk menjauhi Ava adalah sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan. Nyatanya, Rasa cintanya yang teramat besar membuatnya tidak mampu melupakan Ava begitu saja. Ok. Dia memang memutuskan untuk menyerah dalam memperjuangkan cintanya terhadap Ava. Tapi tidak untuk menjauhinya. Ia benar-benar tidak sanggup akan hal itu. Alhasil, Kafka memutuskan untuk Memandang wajah cantik wanita yang ia cintai dari jauh. Mengikuti wanita itu jika ia memiliki waktu luang. Atau, membayar seseorang untuk selalu mengikuti Ava dan memintanya untuk senantiasa memberikan informasi apa pun mengenai Ava saat ia mempunyai urusan lain. Dan Siang tadi adalah puncaknya. Di mana ia mengikuti Ava sendiri tanpa orang bayarannya. Kafka melajukan mobil pada salah satu rumah sakit kala orang suruhannya memberi tah
48. Menginap *** "Kok dadakan, sih?" tanya Ava dengan suara tinggi ia terkejut dengan rencana yang baru saja dikatakan sang suami. Ia memanyunkan bibir beberapa Senti, menandakan bahwa perempuan itu tengah merajuk. Raut wajah cemberut yang tercetak di wajah Ava malah terlihat lucu bagi Rasya. Membuat or situ merasa gemas dan akhirnya mencium pipi Ava berulang kali."Mau bagaimana lagi. Ada masalah sama cabang di luar kota, Sayang," ucap Rasya penuh sesal. "Jangan ngambek dong." Pria itu memeluk pinggang sang istri, menempatkannya untuk saling berhadapan. "Ini sudah tugas aku, Sayang." Ava pun mengangguk lemah. "Ya sudah deh." Jari-jari Ava bermain di kancing kemeja sang suami. Sesaat kemudian ia mengingat suatu hal. Ava menoleh, melihat seseorang yang masih berada duduk nyaman di sofa rumahnya. Perempuan bermata hazzle itu menepuk keningnya pelan. "
49. Selingkuhan *** Rasya memandang keadaan rumahnya dengan wajah datar. Meretas ingatan akan seorang wanita yang telah dengan berani memasuki kediamannya dan sang istri. Rasya tahu, saat ini Ava tidak berada di rumah. Melainkan tengah berada di apartemen sang adik untuk merawat Kafka yang katanya baru saja dipukuli antek-antek klub malam. Dari mana ia tahu? Tentu saja. Sosok Ava yang merupakan istri patuh memberitahukan keberadaan pada dirinya. Ah, kalau mengingat adiknya itu Rasya berdecak menanggapi kelakuan Kafka yang selalu bertingkah sok jagoan. Lagi-lagi ia harus menggelengkan kepala. Tunggu! Untuk apa ia memikirkan sang adik? Saat ini, ada yang harus ia selesaikan. Rasya segera turun dari mobil dan memasuki rumah. Menampilkan wajah datar ia berjalan tergesa ke arah sebuah pintu. Sebuah ruangan di mana menyembunyikan seorang
50. Sentuhan *** "Saya ingin mandi." Panggilan 'saya' yang diucapkan Kafka benar-benar membuat Ava merasa sakit. Sudah sangat sejauh ini kah, jarak di antara mereka saat ini? "Biar aku bantu." Ava baru saja berniat membantu, ingin memegang lengan dan merangkul pundak Kafka, tetapi sayang, ucapan Kafka kemudian membuatnya terpaku. "Saya bisa sendiri. Anda tidak perlu repot-repot membantu saya. Nanti Anda susah." Satu titik air mata berhasil meluncur di pipi Ava. Menatap nanar tubuh Kafka yang terlihat tertatih agar sampai ke kamar mandinya. Setelah tubuh pria itu hilang dari balik pintu, aliran air mata Ava semakin deras. Merasakan sesak akan sikap Kafka terhadapnya. Namun, Ava segera menghapusnya. Tidak. Kafka saat ini sedang sendiri. Bagaimanapun pasti membutuhkan bantuannya. Itulah yang jadi pedomannya saat ini. Menghiraukan hal itu, Ava segera pergi ke dapur untuk membuatkan Kafka
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.