95. Menjadi Orang Tua
***96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
Should I Thank you? Prolog 🔥🔥🔥 "Saya terima nikah dan kawinnya Zavrilly Alka Louise bin Mario Louise almarhum dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Suara qobul dengan lantang baru saja didengar di seluruh penjuru gedung. Seorang laki-laki berkopyah menatap seluruh pasang mata yang hadir sembari bertanya, "Sah?" detik selanjutnya kata sah saling bersahutan. Sebuah balroom hotel yang sebelumnya adalah ruang kosong kini berubah seketika. Sentuhan tangan ajaib beberapa orang telah menjadikan tempat ini sebuah pesta nan megah. Karpet merah terbentang panjang dari pintu masuk, lurus ke arah di mana pusat perhatian malam ini berada. Meja bundar dengan lapisan kain berwarna putih, berhiaskan bunga dengan benang emas berkilau. Dikelilingi kursi dengan jumlah delapan buah, melingkari sebuah tatanan alat makan yang mewah.
5 tahun kemudian. Ava melangkah dengan senyum menghiasi bibir, mendorong pintu hingga menimbulkan denting lonceng pada bagian atas. Sebuah bangunan beraroma kue menyambut kala ia memasukinya lebih dalam. Ini adalah toko kue miliknya. Toko yang sudah dua tahun ini dikelola, hasil dari merayu sang suami tercinta. Semua pegawai tampak mengangguk sopan ketika melihat perempuan berbaju biru itu datang. Selain toko kue, Ava juga menjalankan toko bunga di mana tempatnya terletak tepat di samping bangunan ini. Sengaja dibangun bersebelahan untuk memudahkan dirinya dalam mengelola. Semua itu ide dari sang suami yang tidak ingin dirinya merasa kelelahan. Perempuan dengan mata hazle itu berhenti di depan salah satu pegawainya. “Rina. Saya ada janji temu dengan kedua teman saya seperti biasa. Saya ada di ruangan jika nanti mereka datang," ucap Ava. Perempuan dengan apron di hadapannya mengang
Siap Kembali *** Tubuh tegap dengan rahang kokoh yang ditumbuhi jambang tipis itu setia duduk di kursi kebanggaannya. Mata tajam tidak lepas dari pemandangan kota London dari balik kaca transparan ruang kerjanya. Ruangan hampa yang menemaninya selama lima tahun terakhir ini. Kotak persegi berukuran sepuluh kali sepuluh meter yang terasa dingin tanpa ada senyuman wanita cantik yang ia cintai. Suara pintu terbuka menandakan adanya seseorang yang datang. Tanpa ingin merepotkan diri, ia tetap menatap lurus apa yang dilihat sedari tadi. "Tuan. Tiket kepulangan Anda sudah ada." Senyum smirk terbit dari bibirnya. Sebuah lengkungan bulan sabit yang selalu dapat membuat semua wanita bertekuk lutut di bawah kakinya. "Persiapkan semuanya," titahnya tanpa bantahan. Seseorang yang sebelumnya memasuk
Part 3 *** Tidak ada obrolan yang berarti di dalam mobil hitam milik Rasya. Kuda besi itu melaju di jalanan yang lengang. Bukan karena adanya pertengkaran keadaan menjadi sepi. Namun, di balik benak sana mereka sama-sama saling berkecamuk. Bagaimana Ava tengah khawatir karena akan mengunjungi kediaman mertuanya. Hari ini adik Rasya yang juga sahabatnya pulang setelah lima tahun menetap di London. Bahagia? Tentu saja. Akan tetapi, kenyataan di mana ia juga akan bertemu ibu mertua menjadikan perasaan resah itu hadir. Ah, mengingat itu membuat perempuan dengan pakaian sabrina merasa tidak nyaman dalam duduknya. Asyik bergelut dengan pemikirannya, Ava tidak menyadari jika mobil yang dikendarai sang suami telah berhenti. "Sayang," panggil Rasya dengan menggenggam tangan sang istri. Cuk
Teman Lama *** "O, jadi Tasya ini teman SMA kamu? Kok Mama enggak pernah tahu, ya?" Desi bertanya dengan antusias ketika baru saja mengetahui sebuah fakta. Saat ini, Rasya, Desi beserta tamunya tengah berkumpul di ruang keluarga, berbincang ringan tentunya. Ava? Seperti biasa, ia akan menghindari obrolan ringan dengan sang mertua untuk menyelamatkan hatinya. Kalian pasti mengerti bukan? Sedangkan Kafka, pria itu mengikuti papa dan temannya memasuki ruang kerja Papanya—membahas pekerjaan yang akan ia tangani. "Cantik ya, Sya? Kenapa kamu dulu tidak pacaran sama dia?” Wanita yang bernama Tasya hanya tersenyum simpul mendengar penuturan dari Desi. Merasa tidak enak karena ia pun tahu Rasya memiliki seorang istri.
5. Tangisan Ava *** Kafka keluar dari ruang kerja papanya. Meninggalkan Tuan Yarendra bersama temannya. Ingin segera melihat wajah cantik perempuan yang ia cintai. Mata, hidung mungil, bibir tipis juga senyum manisnya. Ah, sungguh cantik dan memabukkan. Ava memang benar-benar membuat dirinya gila. Ayolah, Kaf. Bahkan semua yang ada di tubuh Ava selalu membuatmu mabuk. Pria dengan kaus biru donker itu hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum saat menuruni tangga. Namun, senyum Kafka menghilang kala ia melihat Ava menangis dan berlari ke arah taman belakang. Tanpa berpikir dua kali, ia pun memutuskan untuk mengejarnya, tidak ingin terjadi apa-apa dan juga berharap mengetahui penyebab Ava menitikkan air mata.
6. Rencana Desi *** Rasya memberikan satu gelas jus jeruk pada Tasya. Dengan senang hati, perempuan berambut panjang itu menerimanya. Meneguk air orange itu dengan mendongak, saat itulah Rasya tidak dapat mengalihkan pandangannya dari leher jenjang putih itu. Rasya segera menggeleng lalu duduk berdampingan dengan Tasya. "Kamu tahu, Sya?” tanya Tasya tanpa mengalihkan pandangan dari hamparan bunga mawar di hadapannya. "Aku suka bunga mawar meskipun berduri, mereka cantik. Mama juga suka menanamnya di rumah ...." Tasya menceritakan tentang dirinya pada Rasya dengan begitu antusias. Tidak menyadari jika sedari tadi pria di sampingnya hanya menikmati keindahan wajah yang dimiliki. Tidak menghiraukan cuapan Tasya yang terus bercerita. Rasya tidak menampik, jika wanita teman SMAnya ini begitu cantik, Ia menyadari itu. Bahkan, sejak dulu. Sejak mereka masih sam
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.