Home / Romansa / Menjadikanmu Milikku / 1. After Marriage

Share

1. After Marriage

Author: Evie Edha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

5 tahun kemudian.

Ava melangkah dengan senyum menghiasi bibir, mendorong pintu hingga menimbulkan denting lonceng pada bagian atas. Sebuah bangunan beraroma kue menyambut kala ia memasukinya lebih dalam.

Ini adalah toko kue miliknya. Toko yang sudah dua tahun ini dikelola, hasil dari merayu sang suami tercinta. Semua pegawai tampak mengangguk sopan ketika melihat perempuan berbaju biru itu datang.

Selain toko kue, Ava juga menjalankan toko bunga di mana tempatnya terletak tepat di samping bangunan ini. Sengaja dibangun bersebelahan untuk memudahkan dirinya dalam mengelola. Semua itu ide dari sang suami yang tidak ingin dirinya merasa kelelahan.

Perempuan dengan mata hazle itu berhenti di depan salah satu pegawainya. “Rina. Saya ada janji temu dengan kedua teman saya seperti biasa. Saya ada di ruangan jika nanti mereka datang," ucap Ava.

Perempuan dengan apron di hadapannya mengangguk dan menjawab, "Baik, Mbak." Langkah kaki membawa Ava pada ruangan pribadi di sebelah kiri kasir.

Menyibukkan diri dengan laptop di hadapannya, memakai kacamata baca Ava mulai merangkum pendapatan dan pengeluaran kedua toko. Tidak membutuhkan waktu lama, cukup satu jam setengah saja selesai.

Setelahnya, ia akan beralih pada aplikasi membaca yang sekarang sedang ramai diminati. Membunuh waktu dengan membaca cerita karya penulis Indonesia yang kadang kala membuat dirinya sedih, marah, kesal dan jengkel dengan alur ceritanya.

Suara ketukan pintu membuat Ava mengalihkan pandangan dari laptop. Salah satu pegawainya yang bernama Rina sudah berdiri di ambang pintu. "Ada apa, Rin?" tanyanya.

"Dua teman Mbak Ava sudah datang. Mereka menunggu di meja biasa,” lapornya pada Ava. Kepala sedikit menunduk memberi rasa hormat.

"Baiklah. Buatkan mereka minuman dan berikan beberapa kue."

Perempuan dengan kacamata yang tampak manis dengan lesung pipinya itu mengangguk mendengar perintah Ava. "Baik, Mbak."

Melepaskan kacamata, Ava membereskan laptop dan segera beranjak untuk menemui kedua perempuan yang sudah ia rindukan.

Keluar dari ruangan, pandangan Ava langsung tertuju pada meja di mana kedua temannya sudah duduk.  Seorang perempuan dengan perut buncit akibat kehamilan dan seorang perempuan lagi yang masih belum mempunyai ikatan pernikahan.

Ava berjalan cepat mendekati meja yang diduduki teman-temannya. "Hai,” sapanya heboh.

Dua perempuan yang sebelumnya duduk tenang menikmati kudapan itu menoleh, wajah semeringah terbit saat melihat keberadaan dirinya. Berjalan semakin mendekat lalu merangkul keduanya.

“Kangen,” ucapnya. Melepaskan pelukan tatapan Ava tertuju pada wanita yang berperut buncit, mengulurkan tangan untuk dapat menyentuhnya. "Sudah berapa bulan, Res?" Iris hazle itu kini tertuju pada si pemilik daksa yang bernama Resti.

"Sudah tujuh bulan,” jawabnya. Ava menatap Resti lalu beralih pada perut yang membuncit sembari tersenyum. Pasti perasaannya bahagia sekali.

"Wah, sebentar lagi dong." Resti mengangguk antusias.

"Dan kamu, bagaimana? Sudah isi?" Ava mengalihkan pandangan, menatap Clara yang baru saja bertanya akan dirinya.

Senyum manis Ava kini berubah menjadi getir. Pandangannya menerawang dengan kata seandainya.

Sebuah usapan pada kedua pundak membuat ia menatap Clara dan Resti secara bergantian. Kedua temannya ini pasti turut merasakan kegelisahan dalam dirinya.

"Kamu yang sabar, ya. Doa dan usahanya digiatin lagi," ucap Resti menenangkan. Ia hanya bisa mengaminkan dalam hati sebanyak-banyaknya agar Tuhan segera menitipkan momongan terhadap dirinya.

Ya. Ava memang belum mempunyai anak meskipun usia pernikahannya sudah menginjak angka lima. Ini merupakan salah satu alasan dirinya menjalankan usah toko kue dan bunga secara bersamaan.

Membawa Ava dalam kesibukan dan menghilangkan rasa sepi saat ia berada di rumah sendirian. Selain itu, ia juga menghindari ibu mertuanya. Tidak jarang Desi—ibu mertua Ava datang mengunjunginya. Bukan karena merindukan menantu, tetapi selalu melontarkan kata-kata pedas untuk Ava.

Ava yang tidak becus jadi istri, atau Ava yang mandul. Wanita mana yang tidak akan merasa sakit jika mendapatkan kata-kata seperti itu? Untunglah ia masih menyadari siapa Desi.

"Kalau kamu, Cla? Kapan menyusul kita?" Sudah ia duga, temannya yang satu ini pasti akan menggeleng. "Kenapa sih Cla? Nunggu apa lagi coba?"

"Aku belum siap," ucap Clara.

"Pacar kamu itu serius sama kamu. Dia itu sudah kaya, tampan, perhatian. Kurang apa lagi coba? Diambil orang baru tahu rasa kamu." Resti mencoba menakut-nakuti Clara, perempuan itu memberikan kerlingan nakal pada Ava.

"Ish. Doa kamu, Res." Ava dan Resti tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan.

Tidak ingin lebih dalam membahas Clara yang belum juga mau menikah di usianya yang saat ini bisa di bilang sudah matang. Mereka tahu, alasan di balik semua itu ialah, Clara yang belum juga berhasil sepenuhnya untuk melupakan cinta pertamanya, yang Ava dan Resti tidak tahu siapa sebenarnya orang itu sehingga Clara tidak bisa melupakannya.

***

Suara tumpukan map yang batu saja dibanting di atas meja menggema di ruangan persegi itu. Pelaku yang tidak lain adalah Rasya menatap bawahannya dengan kemarahan. "Apa yang sebenarnya kamu kerjakan dari tadi!!" bentak Rasya.

"Mengerjakan laporan begini saja kamu tidak becus!!" Rasya menunjuk karyawannya, nada suara menandakan kalau ia sedang emosi.

"Kerjakan lagi!!" usir Rasya. Karyawan itu pun segera berlalu dari ruangan bosnya yang sudah terlihat marah besar.

Rasya menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Memijit kening akibat kepala yang terasa berdenyut. Laki-laki berpakaian jas rapi itu menghela napas dalam saat melihat tumpukan berkas-berkas ada meja di depannya.

Hari ini begitu banyak masalah yang harus ia kendalikan. Belum lagi salah satu karyawannya yang telah mengerjakan laporan dengan salah. Menambah rasa pusing pada kepala Rasya.

Suara deringan ponsel membuat ia mengalihkan pandangannya. Meraih benda pipih di atas meja itu dan menatap layar yang menampilkan nama sang mama. Segera ia angkat agar bunda ratunya tidak naik darah.

"Ya, Ma." Rasya mendengarkan dengan baik apa yang mamanya ucapkan di seberang sana.

"Iya. Rasya dan Ava besok pasti datang." Rasya mengakhiri panggilan setelah pembicaraan dengan sang mama telah selesai. Kembali berkutat dengan pekerjaan agar ia dapat dengan segera menyelesaikannya.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Hanya menggunakan lingerine tipis Ava memutuskan menunggu kedatangan sang suami di ruang keluarga. Sebuah majalah menjadi bacaan untuk membunuh waktu.

Ava tidak perlu merasa khawatir akan penampilannya saat ini. Karena tidak ada orang lain di rumah ini selain dirinya dan juga satpam yang menjaga di depan rumah. Asisten rumah tangga Ava hanya akan datang saat subuh tiba, dan akan pulang saat menjelang magrib.

Suara mobil yang memasuki pekarangan rumah mengambi alih atensinya. Segeralah Ava bangkit karena ia mengenali suara kuda besi itu adalah milik suaminya.

Saat membuka pintu utama, Ava melihat Rasya yang sudah berjalan ke arahnya. Tentu saja dengan wajah lelah. Baju yang dikenakan tidak serapi saat berangkat. Lengan yang digulung hingga siku. Baju yang keluar dari celana dan dua kancing teratas yang tidak lagi disematkan.

"Capek?" tanya Ava saat sang suami sudah berada di depannya. Tangannya terulur mengambil alih tas kerja dari tangan Rasya.

Rasya mengangguk dan segera meraih pinggang Ava. Mendaratkan satu kecupan sayang di keningnya. "Kamu lapar?" tanya perempuan bermata hazle itu kemudian.

"Ya."

"Baiklah. Mandilah dulu. Akan aku siapkan makan malam untuk kamu." Saat Ava ingin melepaskan diri dari pelukan sang suami, Rasya malah mengeratkan rangkulan pada pinggangnya.

"Kenapa?" tanya Ava dengan kening yang terlipat.

"Laparku bukan kenyang dengan makan malam, Sayang." Ava menaikkan kedua alisnya. Senyumnya merekah kala sang suami mengikis jarak di antara wajah mereka.

Sebuah kecupan singkat pada bibirnya dan napas hangat juga tatapan sayu itu mampu membuat dirinya meremang. Cukup menjelaskan suatu hal. Oke. Ava mengerti arah pembicaraan ini.

"Mandilah dulu. Aku siapkan susu hangat untukmu,” ucapnya dengan senyum menggoda.

"Tidak," cegah Rasya. "Kopi, sayang. Buatkan aku kopi." Rasya menyela.

Kening Ava terlipat. "Kopi? Tumben sekali?"

"Ya. Karena aku ingin begadang malam ini." Ava tersenyum dengan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu gerakan yang dilakukan adalah sensual. Lihat laki-laki di hadapannya ini yang kini mendesis seolah menahan sesuatu.

Embusan napas berat itu begitu terasa. "Lagian, aku sudah mempunyai dua stok di sini." Rasya berucap dengan suara berat, tidak lupa tangan yang mencolek dada sintal milik Ava.

Segeralah Ava mendorong Rasya agar ia terbebas dari rayuan suaminya. Ia meninggalkan pria yang masih mengenakan setelan jas kantor itu dengan senyuman menggoda.

***

Ava memasuki kamar bertepatan dengan Rasya yang keluar dari kamar mandi. Tubuh suaminya yang hanya dibalut handuk sebatas pinggang menampakkan dada bidang yang menggoda. Belum lagi adanya tetesan air dari rambut pada tubuh menambah kesan sexy bagi dirinya.

Menggunakan tatapan yang intens, Ava menghampiri Rasya dengan segelas kopi di tangan. Senyum menggoda yang terpatri di wajah pria itu semakin membuat dirinya tertantang.

"Kopiku?" tanya Rasya. Ava mengangguk. Ia memberikan cangkir berisi cairan hitam pekat itu dan menatap sang suami yang meneguk minuman itu dengan tatapan yang tidak lepas dari dirinya.

Setelahnya, minuman itu berakhir pada nakas yang ada di samping mereka. Pria di hadapannya ini meletakkan dengan gerakan yang sangat elegan.

Seperti tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Rasya meraih pinggangnya cepat. Membuat tangan Ava mendarat pada bahu sang suami. "Kopinya manis." Tersenyum, ia menikmati pergerakan jari Rasya pada wajahnya dengan menutup mata dan bibir sedikit terbuka.

Tangan Rasya sampai pada bibir. "Tapi aku yakin. Bibir ini jauh lebih manis. Dan bibir ini, adalah milikku.” Suara itu syarat akan sebuah dominan.

“Katakan, Sayang. Katakan. Katakan bahwa bibir ini hanya milikku," ucap Rasya menuntut.

"Yah. Semuanya, milikmu." Rasya menjatuhkan bibirnya pada bibir Ava. Menyatukan dalam tarian indah silat lidah. Memperdalam hingga mereka terbuai.

Handuk dan lingerine telah tercecer di lantai. Meninggalkan dua tubuh hangat di atas pendaratan awan. Memadu inti yang menyatu. Menulis syair lagu nan merdu. Menari dalam tarian indah. Pergerakan dalam ritme yang seirama. Suara-suara lantunan pencapaian kemenangan tercipta. Menghiasi pekatnya malam dalam hawa yang telah berubah menjadi panas.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
gimana waktu malam pertamanya dengan kafka, apa ngga curiga tuuh..?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Menjadikanmu Milikku   2. Siap Kembali

    Siap Kembali *** Tubuh tegap dengan rahang kokoh yang ditumbuhi jambang tipis itu setia duduk di kursi kebanggaannya. Mata tajam tidak lepas dari pemandangan kota London dari balik kaca transparan ruang kerjanya. Ruangan hampa yang menemaninya selama lima tahun terakhir ini. Kotak persegi berukuran sepuluh kali sepuluh meter yang terasa dingin tanpa ada senyuman wanita cantik yang ia cintai. Suara pintu terbuka menandakan adanya seseorang yang datang. Tanpa ingin merepotkan diri, ia tetap menatap lurus apa yang dilihat sedari tadi. "Tuan. Tiket kepulangan Anda sudah ada." Senyum smirk terbit dari bibirnya. Sebuah lengkungan bulan sabit yang selalu dapat membuat semua wanita bertekuk lutut di bawah kakinya. "Persiapkan semuanya," titahnya tanpa bantahan. Seseorang yang sebelumnya memasuk

  • Menjadikanmu Milikku   3. Kembali

    Part 3 *** Tidak ada obrolan yang berarti di dalam mobil hitam milik Rasya. Kuda besi itu melaju di jalanan yang lengang. Bukan karena adanya pertengkaran keadaan menjadi sepi. Namun, di balik benak sana mereka sama-sama saling berkecamuk. Bagaimana Ava tengah khawatir karena akan mengunjungi kediaman mertuanya. Hari ini adik Rasya yang juga sahabatnya pulang setelah lima tahun menetap di London. Bahagia? Tentu saja. Akan tetapi, kenyataan di mana ia juga akan bertemu ibu mertua menjadikan perasaan resah itu hadir. Ah, mengingat itu membuat perempuan dengan pakaian sabrina merasa tidak nyaman dalam duduknya. Asyik bergelut dengan pemikirannya, Ava tidak menyadari jika mobil yang dikendarai sang suami telah berhenti. "Sayang," panggil Rasya dengan menggenggam tangan sang istri. Cuk

  • Menjadikanmu Milikku   4. Teman Lama

    Teman Lama *** "O, jadi Tasya ini teman SMA kamu? Kok Mama enggak pernah tahu, ya?" Desi bertanya dengan antusias ketika baru saja mengetahui sebuah fakta. Saat ini, Rasya, Desi beserta tamunya tengah berkumpul di ruang keluarga, berbincang ringan tentunya. Ava? Seperti biasa, ia akan menghindari obrolan ringan dengan sang mertua untuk menyelamatkan hatinya. Kalian pasti mengerti bukan? Sedangkan Kafka, pria itu mengikuti papa dan temannya memasuki ruang kerja Papanya—membahas pekerjaan yang akan ia tangani. "Cantik ya, Sya? Kenapa kamu dulu tidak pacaran sama dia?” Wanita yang bernama Tasya hanya tersenyum simpul mendengar penuturan dari Desi. Merasa tidak enak karena ia pun tahu Rasya memiliki seorang istri.

  • Menjadikanmu Milikku   5. Tangisan Ava

    5. Tangisan Ava *** Kafka keluar dari ruang kerja papanya. Meninggalkan Tuan Yarendra bersama temannya. Ingin segera melihat wajah cantik perempuan yang ia cintai. Mata, hidung mungil, bibir tipis juga senyum manisnya. Ah, sungguh cantik dan memabukkan. Ava memang benar-benar membuat dirinya gila. Ayolah, Kaf. Bahkan semua yang ada di tubuh Ava selalu membuatmu mabuk. Pria dengan kaus biru donker itu hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum saat menuruni tangga. Namun, senyum Kafka menghilang kala ia melihat Ava menangis dan berlari ke arah taman belakang. Tanpa berpikir dua kali, ia pun memutuskan untuk mengejarnya, tidak ingin terjadi apa-apa dan juga berharap mengetahui penyebab Ava menitikkan air mata.

  • Menjadikanmu Milikku   6. Rencana Desi

    6. Rencana Desi *** Rasya memberikan satu gelas jus jeruk pada Tasya. Dengan senang hati, perempuan berambut panjang itu menerimanya. Meneguk air orange itu dengan mendongak, saat itulah Rasya tidak dapat mengalihkan pandangannya dari leher jenjang putih itu. Rasya segera menggeleng lalu duduk berdampingan dengan Tasya. "Kamu tahu, Sya?” tanya Tasya tanpa mengalihkan pandangan dari hamparan bunga mawar di hadapannya. "Aku suka bunga mawar meskipun berduri, mereka cantik. Mama juga suka menanamnya di rumah ...." Tasya menceritakan tentang dirinya pada Rasya dengan begitu antusias. Tidak menyadari jika sedari tadi pria di sampingnya hanya menikmati keindahan wajah yang dimiliki. Tidak menghiraukan cuapan Tasya yang terus bercerita. Rasya tidak menampik, jika wanita teman SMAnya ini begitu cantik, Ia menyadari itu. Bahkan, sejak dulu. Sejak mereka masih sam

  • Menjadikanmu Milikku   7. Menemani

    7. Menemani *** Mobil Kafka baru saja sampai di pelataran rumah Ava. Wanita yang menjadi istri sang kakak dan juga wanita yang sangat ia cintai. Kafka menengok untuk melihat Ava yang masih tertidur. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Mungkin, wanita ini merasa sangat lelah setelah menangis. Hingga mobil yang berjalan pun tidak mengganggu tidurnya. "Kalau lagi tidur begini, cerewetnya hilang, ya." Tidak ingin menjadi pengganggu, Kafka memilih untuk turun terlebih dahulu, memutari mobil dan membuka pintu bagian Ava duduk. I membopong tubuh yang tengah terlelap itu. Ohhh, come on Kafka. Tidur Ava tidak ingin kau ganggu? Tapi rumah tangganya ingin kau ganggu?

  • Menjadikanmu Milikku   8. Kemarahan Yarendra

    8. Kemarahan Yarendra *** "Baiklah. Kita pulang dulu. Aku harap, kerja sama kita bisa berjalan dengan lancar, Yarendra." Bram berdiri di hadapan Tuan Yarendra, mengulurkan tangan untuk saling berjabat tangan. Sore ini, tamu Yarendra memutuskan untuk berpamitan pulang dikarena pembahasan memang sudah dilakukan sejak siang. Selebihnya, mereka hanya berbincang ringan. "Semoga, Bram,” ucap Yarendra. Ia menjawab jabatan tangan sahabatnya. Lain dari kedua laki-laki paruh baya itu, lain lagi untuk para istri mereka. "Semoga niatan kita terlaksana ya, Des," ucap Yanti—mamanya Zizi. Perempuan dengan rambut disanggul itu memegang pundak anaknya. "Harus itu," jawab Desi dengan keyakinan. Sedangkan Zizi yang berada di samping mereka hanya tersenyum menunduk dengan merapalkan keinginannya dalam hati. Semoga memang terlaksana. Tasya me

  • Menjadikanmu Milikku   9. Benak Kafka

    9. Benak Kafka *** Dua benda kenyal itu masih saling bersilat. Beradu dalam decapan kepuasan. Saling menggigit kecil memberi kenikmatan melalui tukaran salifa. Erangan milik sang wanita membuat sang lelaki tersenyum dalam pagutannya. Dengan pasti ia mulai membawa tangan sang wanita melingkari lehernya. Merapatkan duduk di antara keduanya. Meremas pelan pinggang sang wanita. Terlepasnya tautan yang sedari tadi terpaut, meninggalkan deru napas yang memburu. Pengaturan tarikan yang seolah berlomba menarik oksigen dalam keadaan kening yang masih menyatu. Kedua sudut bibir mereka tertarik untuk membentuk seutas senyuman di sela deru napas. Kilatan cahaya mata yang menampakkan gairah berkobar seakan sama-sama menginginkan satu sama lain. "I love you," ucap parau sang lelaki. "I love you to," balas sang wanita lirih membuat lelaki di hada

Latest chapter

  • Menjadikanmu Milikku   96. Ending

    96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah

  • Menjadikanmu Milikku   95. Menjadi Orang Tua

    95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little

  • Menjadikanmu Milikku   94. Kembali Utuh

    94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja

  • Menjadikanmu Milikku   93. Welcome Darendra

    93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu

  • Menjadikanmu Milikku   92. Kedatangan Ava

    92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k

  • Menjadikanmu Milikku   91. Terima kasih, Sayang.

    91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b

  • Menjadikanmu Milikku   90. Rujak

    90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p

  • Menjadikanmu Milikku   89. Sabar

    89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep

  • Menjadikanmu Milikku   88. Permintaan Tengah Malam

    88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.

DMCA.com Protection Status