Part 3
***
Tidak ada obrolan yang berarti di dalam mobil hitam milik Rasya. Kuda besi itu melaju di jalanan yang lengang. Bukan karena adanya pertengkaran keadaan menjadi sepi.
Namun, di balik benak sana mereka sama-sama saling berkecamuk. Bagaimana Ava tengah khawatir karena akan mengunjungi kediaman mertuanya.
Hari ini adik Rasya yang juga sahabatnya pulang setelah lima tahun menetap di London. Bahagia? Tentu saja. Akan tetapi, kenyataan di mana ia juga akan bertemu ibu mertua menjadikan perasaan resah itu hadir. Ah, mengingat itu membuat perempuan dengan pakaian sabrina merasa tidak nyaman dalam duduknya.
Asyik bergelut dengan pemikirannya, Ava tidak menyadari jika mobil yang dikendarai sang suami telah berhenti.
"Sayang," panggil Rasya dengan menggenggam tangan sang istri. Cukup berhasil membuat Ava yang terlihat melamun tersadar.
Perempuan bermata hazzle itu tersenyum. Tangan Rasya terangkat membelai surai Ava. "Ayo turun."
Mendengar ajakan suaminya, tidak lantas membuat Ava turun. Perempuan itu malah mengedarkan pandangan keluar kaca mobil, menatap sekeliling di mana mereka kini telah sampai di kediaman orang tua Rasya.
Ava menghela napas berat. Rasanya malas sekali memasuki kediaman megah di hadapan mereka. Katakanlah ia menantu durhaka. Hanya saja sakit hati karena berbagai ucapan-ucapan yang dilontarkan mertuanya mengenai kekurangan dirinya masih sangat membekas.
"Sayang, ayo!" Ava menarik napas dalam sejenak. Menutup mata dan membuang napas perlahan. Hanya untuk mencari kekuatan sebelum berperang. Ya, berperang untuk menguatkan telinga akan kalimat-kalimat tajam dari ibu mertuanya.
Hal itu tak luput dari pengamatan Rasya. Dengan sigap, Rasya menggenggam tangannya. "Semuanya akan baik-baik saja."
Mendengar kalimat semangat itu membuat Ava tersenyum. Ia pun membuka pintu mobil untuk turun bersama suaminya. Dengan tangan yang berkeringat, perempuan dengan celana kain hitam itu menggenggam tangan sang suami dengan kuat.
Rasya yang tahu perasaan istrinya mencoba memberi ketenangan dengan mengelus pelan punggung tangan Ava.
"Rasya!" Baru saja mereka memasuki pelataran rumah. Suara perempuan menyapa. Desi—mamanya Rasya datang dengan senyuman yang merekah
Ibu dan anak itu berpelukan "Akhirnya kamu datang juga. Mama sudah kangen sama kamu." Setelah pelukan keduanya terlepas, tatapan Desi beralih pada sang menantu.
"Kalian datang cuma berdua?" tanyanya dengan meneliti tubuh Ava dari atas hingga bawah. Tidak perlu diperjelas apa maksud dari ucapan itu.
Jika Ava paham kalau itu adalah kalimat sindiran untuknya, berbeda dengan Rasya yang memang memiliki sifat kurang peka. "Memangnya mau sama siapa lagi, Ma?" jawab Rasya dengan tawanya.
Pria itu tidak menyadari bagaimana raut wajah sang istri yang sudah tegang sembari menggigit bibir bawah.
"Mama pikir sama calon anak," ucap Desi membuat Rasya tersadar. Perempuan paruh baya itu membalikkan tubuh berjalan memasuki rumah.
Menarik napas dalam, Rasya menatap Ava. Terlihat senyum manis dari perempuan cantik itu. Sungguh tidak menyangka. Namun, ia tahu di balik senyum itu ada luka yang menganga.
"Maaffin Mama, ya, sayang." Rasya berucap dengan penuh penyesalannya. Begitu besar hati milik istrinya ini.
Ava berusaha tetap tersenyum meski hatinya terasa sakit. Apalagi saat sang suami mengucapkan maaf dengan wajah penyesalan padahal ini bukanlah kesalahannya.
"Enggak papa," jawab Ava lirih.
Setelah memberi kecupan pada kening istrinya, rasya menggandeng tangan Ava untuk memasuki rumah orang tuanya.
"Assalamualaikum." Ava dan Rasya mengucapkan salam.
Seorang pria paruh baya yang tengah asyik dengan korannya di sofa mendongak, bibir tua itu tersenyum saat melihat kedatangan mereka. Meletakkan kertas bacaannya, laki-laki berkacamata itu bangkit dan merentangkan tangan.
Yarendra. Dia adalah Papanya Rasya. Ava masih bisa merasa lega meski sikap Desi telah berubah. Papa mertua tetap menyayanginya, sama seperti dulu saat dirinya belum menjadi istri dari Rasya.
"Papa." Ava memeluk Papa mertuanya dengan sayang. Menumpahkan rasa rindu pada pelukan itu.
"Kafka mana, Pa?"
"Aku di sini, Kak." Belum sempat Rendra menjawab, suara berat terdengar dari arah tangga. Seorang pemuda yang sangat tampan tengah berdiri di sana.
"Kakakku sayang." Sembari melangkah lebar, pemuda tadi melangkah mendekati sang kakak. Memeluknya erat untuk menumpahkan rasa rindu akibat bertahun-tahun tidak bertemu.
"Apa kabar, Kafka?" pemuda tampan itu adalah adik Rasya. Razali Kafka Yarendra. Adik yang selama lima tahun tidak ia temui.
"Baik, Kakak," jawabnya setelah ia melepas pelukan sang kakak.
Tatapannya sekarang beralih pada wanita cantik yang ada di dekat kakaknya. Siapa lagi jika bukan Ava istri sang kakak. Ah wanita ini. Selalu terlihat cantik. Apalagi dengan senyuman yang ditampilkan.
"Ah, Kakak Ipar mungilku," ucapnya sembari memeluk istri sang kakak. Memeluk wanita yang ia cintai. Yang ia cintai dalam diam. Yang ia cintai di belakang kakaknya.
"Ih, Kafka." Begitulah Ava. Di hadapan Kafka, tanpa beban ia menunjukkan sikap manja. Kafka pun tanpa risih selalu menerima. Karena itu telah menjadi kebiasaan Ava pada Kafka.
"Papa ...," rengek Ava. Membuat semua yang di sana tertawa. Kecuali Desi tentunya.
"Kaf. jangan kamu goda terus kakak iparmu itu,” ucap Yarendra.
"Tidak apalah, Pa. Sudah lima tahun aku tidak menjahilinya. Bukan begitu, Kak?" Kafka bertanya pada sang Kakak seolah-olah meminta izin.
Oh Kafka. Kamu meminta izin pada Rasya untuk menjahili Ava? Benarkah? Tapi kenapa kamu tidak meminta izin saat kamu membobolnya untuk yang pertama?
"Ya. Ya. Ya. Terserah. Kalian selalu seperti itu." Rasya menjawabnya mudah dengan mengibaskan tangan. Tentu saja membuat Ava mengerucutkan bibirnya.
"Iya kakak. Selalu seperti ini. Begitu pun perasaanku yang masih sama.” Ucapan itu tentu saja Kafka lanjutkan dalam hati.
"Jadi, Kaf, kamu sudah siap untuk bergabung dengan perusahaan?"
"Seperti yang dilihat, Kakak." Kafka berucap dengan membentangkan tangan, memperlihatkan bahwa ia telah siap dalam segala hal. Untuk memimpin perusahaan, atau pun memperjuangkan cintanya.
"Oh, ya. Ngomong-ngomong, mana anak kalian? Kalian tidak mengajaknya ke sini?" Raut wajah bahagia yang sebelumnya terlihat dari wajah Ava, kini berubah menjadi awan mendung.
"Gimana mau punya anak, kalau istrinya aja mandul?" Belum sempat bisa menjawab pertanyaan dari Kafka yang membuat Ava gelisah, ucapan Mama mertuanya semakin membuat hatinya terasa nyeri.
Rasya yang berada di sampingnya hanya bisa menggenggam tangan Ava. Ingin melawan pun, ia tidak ingin keadaan menjadi lebih rumit. Apalagi jika harus merusak hari penyambutan sang adik.
"Ma. Ava tidak mandul. Ava itu sehat," bela Yarendra.
Hal inilah yang membuat Ava masih bisa mendatangi rumah ini. Semua karena papa mertuanya. Seseorang yang tidak pernah menganggapnya sebagai menantu. Melainkan seperti anak sendiri.
"Sehat bagaimana? Kalau benar sehat, pasti mereka sudah punya anak." Ava semakin mencengkeram ujung dressnya dengan kuat. Oke. Ava mulai mengerti keadaan saat ini.
"Be—"
"Ok. Ok. Ok. Kita lupakan." Kafka menghentikan Papanya sebelum berucap. Tidak ingin pula keadaan menjadi lebih panas.
"Mendingan kita makan sekarang. Kafka sudah lapar." Kafka mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tidak ingin wanita yang ia cintai semakin terluka dengan ucapan mamanya.
"Sebentar Kafka. Kita masih menunggu tamu yang lain," jawab Desi dengan tanpa mengalihkan tatapan dari majalah yang dipegang.
"Yang lain? Siapa, Ma?” Kafka menaikkan satu alisnya.
"Temennya Mama sama Papa." Saat itulah, mamanya menutup majalah yang tengah dipangku. Beralih menatap penuh pada Kafka. "Mereka punya putri yang juga belum nikah loh, Kaf. Dia cantik banget. Mama mau kenalin kamu sama dia."
Kafka memutar matanya malas saat ia menyadari maksud dari mamanya. "Mama mau jodohin aku?" Tunjuk Kafka pada dirinya. "Oh come on Ma. Seriously?"
"Kenapa enggak?""Ma, Kafka bukan anak kecil. Kafka bisa cari sendiri calon Kafka. Kafka tidak suka dengan cara Mama yang seperti ini."
Tidak, Kafka tidak akan membiarkan hal ini. Ia hanya ingin menikah dengan wanita yang dicintai. Yaitu Ava. Bagaimanapun caranya."Kafka. Anak Mama tinggal kamu saja yang masih sendiri. Mama mau mencari calon yang terbaik untuk kamu. Terutama yang sehat. Biar Mama bisa punya cucu." Desi sengaja menekan kata sehat bermaksud untuk menyindir, belum lagi matanya yang melirik Ava tajam.
"Assalamualaikum." belum sempat Kafka membalas, sebuah salam menghentikan ucapannya.
Melihat siapa yang datang, Tuan Yarendra dan sang istri langsung berdiri untuk menyambut sang tamu. Terlihat dua orang paruh baya beserta perempuan dewasa di sebelah laki-laki berkacamata.
"Ah Zizi. Kamu tambah cantik saja," puji Desi pada gadis itu. Merentangkan tangan lalu memeluknya.
"Tante bisa saja," ucap perempuan itu dengan malu-malu.
Tatapan Desi kini beralih pada Kafka. "Gimana, Kaf, cantik, kan?”
"Lumayan." Kafka yang tadinya bersikap ramah, kini kembali memasang wajah dingin. Begitulah ia jika pada seseorang yang baru dikenal atau yang kurang membuat dirinya nyaman.
Melihat sikap putranya membuat Desi merasa tidak enak hati. "Maafin Kafka, ya, Sayang. Dia memang begitu kalau sama orang yang belum dikenal. Tapi sebenarnya dia baik kok."
"Enggak papa, Tante. Mmmm Tante sebelumnya maaf. Tadinya, ada teman Zizi yang menginap di rumah. Jadinya Zizi ajak saja kemari. Enggak papa, kan, Tante?"
Desi tersenyum. "Enggak papa, Sayang. Terus, teman kamu itu mana?"
"Masih di luar, Tante. Sebentar lagi juga pasti masuk."
"Maaf." sebuah suara dari arah pintu lagi-lagi membuat semua orang mengalihkan pandangan. Sosok gadis dengan rambut panjang dan badan tinggi berdiri di sana.
"Tasya?"
***
Teman Lama *** "O, jadi Tasya ini teman SMA kamu? Kok Mama enggak pernah tahu, ya?" Desi bertanya dengan antusias ketika baru saja mengetahui sebuah fakta. Saat ini, Rasya, Desi beserta tamunya tengah berkumpul di ruang keluarga, berbincang ringan tentunya. Ava? Seperti biasa, ia akan menghindari obrolan ringan dengan sang mertua untuk menyelamatkan hatinya. Kalian pasti mengerti bukan? Sedangkan Kafka, pria itu mengikuti papa dan temannya memasuki ruang kerja Papanya—membahas pekerjaan yang akan ia tangani. "Cantik ya, Sya? Kenapa kamu dulu tidak pacaran sama dia?” Wanita yang bernama Tasya hanya tersenyum simpul mendengar penuturan dari Desi. Merasa tidak enak karena ia pun tahu Rasya memiliki seorang istri.
5. Tangisan Ava *** Kafka keluar dari ruang kerja papanya. Meninggalkan Tuan Yarendra bersama temannya. Ingin segera melihat wajah cantik perempuan yang ia cintai. Mata, hidung mungil, bibir tipis juga senyum manisnya. Ah, sungguh cantik dan memabukkan. Ava memang benar-benar membuat dirinya gila. Ayolah, Kaf. Bahkan semua yang ada di tubuh Ava selalu membuatmu mabuk. Pria dengan kaus biru donker itu hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum saat menuruni tangga. Namun, senyum Kafka menghilang kala ia melihat Ava menangis dan berlari ke arah taman belakang. Tanpa berpikir dua kali, ia pun memutuskan untuk mengejarnya, tidak ingin terjadi apa-apa dan juga berharap mengetahui penyebab Ava menitikkan air mata.
6. Rencana Desi *** Rasya memberikan satu gelas jus jeruk pada Tasya. Dengan senang hati, perempuan berambut panjang itu menerimanya. Meneguk air orange itu dengan mendongak, saat itulah Rasya tidak dapat mengalihkan pandangannya dari leher jenjang putih itu. Rasya segera menggeleng lalu duduk berdampingan dengan Tasya. "Kamu tahu, Sya?” tanya Tasya tanpa mengalihkan pandangan dari hamparan bunga mawar di hadapannya. "Aku suka bunga mawar meskipun berduri, mereka cantik. Mama juga suka menanamnya di rumah ...." Tasya menceritakan tentang dirinya pada Rasya dengan begitu antusias. Tidak menyadari jika sedari tadi pria di sampingnya hanya menikmati keindahan wajah yang dimiliki. Tidak menghiraukan cuapan Tasya yang terus bercerita. Rasya tidak menampik, jika wanita teman SMAnya ini begitu cantik, Ia menyadari itu. Bahkan, sejak dulu. Sejak mereka masih sam
7. Menemani *** Mobil Kafka baru saja sampai di pelataran rumah Ava. Wanita yang menjadi istri sang kakak dan juga wanita yang sangat ia cintai. Kafka menengok untuk melihat Ava yang masih tertidur. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Mungkin, wanita ini merasa sangat lelah setelah menangis. Hingga mobil yang berjalan pun tidak mengganggu tidurnya. "Kalau lagi tidur begini, cerewetnya hilang, ya." Tidak ingin menjadi pengganggu, Kafka memilih untuk turun terlebih dahulu, memutari mobil dan membuka pintu bagian Ava duduk. I membopong tubuh yang tengah terlelap itu. Ohhh, come on Kafka. Tidur Ava tidak ingin kau ganggu? Tapi rumah tangganya ingin kau ganggu?
8. Kemarahan Yarendra *** "Baiklah. Kita pulang dulu. Aku harap, kerja sama kita bisa berjalan dengan lancar, Yarendra." Bram berdiri di hadapan Tuan Yarendra, mengulurkan tangan untuk saling berjabat tangan. Sore ini, tamu Yarendra memutuskan untuk berpamitan pulang dikarena pembahasan memang sudah dilakukan sejak siang. Selebihnya, mereka hanya berbincang ringan. "Semoga, Bram,” ucap Yarendra. Ia menjawab jabatan tangan sahabatnya. Lain dari kedua laki-laki paruh baya itu, lain lagi untuk para istri mereka. "Semoga niatan kita terlaksana ya, Des," ucap Yanti—mamanya Zizi. Perempuan dengan rambut disanggul itu memegang pundak anaknya. "Harus itu," jawab Desi dengan keyakinan. Sedangkan Zizi yang berada di samping mereka hanya tersenyum menunduk dengan merapalkan keinginannya dalam hati. Semoga memang terlaksana. Tasya me
9. Benak Kafka *** Dua benda kenyal itu masih saling bersilat. Beradu dalam decapan kepuasan. Saling menggigit kecil memberi kenikmatan melalui tukaran salifa. Erangan milik sang wanita membuat sang lelaki tersenyum dalam pagutannya. Dengan pasti ia mulai membawa tangan sang wanita melingkari lehernya. Merapatkan duduk di antara keduanya. Meremas pelan pinggang sang wanita. Terlepasnya tautan yang sedari tadi terpaut, meninggalkan deru napas yang memburu. Pengaturan tarikan yang seolah berlomba menarik oksigen dalam keadaan kening yang masih menyatu. Kedua sudut bibir mereka tertarik untuk membentuk seutas senyuman di sela deru napas. Kilatan cahaya mata yang menampakkan gairah berkobar seakan sama-sama menginginkan satu sama lain. "I love you," ucap parau sang lelaki. "I love you to," balas sang wanita lirih membuat lelaki di hada
10. Membuntuti *** "Pagi, Sayang!" Sebuah pelukan yang dilakukan lengan kekar di perutnya membuat Ava berjingkat saat ia masih berkutat dengan alat masaknya. Senyum terukir kala ia mengetahui bahwa sang suami yang melakukannya. "Pagi," sapa Ava dengan nada lembut dan senyum manis. Perasaan senang atas pelukan pagi telah berubah rasa risih saat Rasya mulai menciumi pundak dan belakang telinga Ava "Aw." Sebuah cubitan mendarat mulus di lengan Rasya. "Ada apa sih, Yang?" tanya Rasya dengan mengusap lengannya yang masih terasa sakit akibat cubitan semut Ava. Ava mematikan kompor sebelum ia membalikkan tubuh dengan berkacak pinggang. Satu tangannya yang masih memegang spatula terangkat. "Kamu ini tidak tahu tempat. Malu dilihatin sama, Bibi." Ava berucap dengan melirik keberadaan pembantu mereka yang berada tidak jauh dari sana. Masih dengan menahan sakit, Rasya mengikuti
11. Kebetulan *** "Kamu?" Suara terkejut yang mengalun merdu itu mengembangkan senyum Rasya. Perasaan marah dan kecewa yang beberapa saat lalu dirasa telah menguap seketika saat mendapati senyum manis dari sosok cantik yang kini tengah berada di hadapannya. Tidak hanya itu. Rasa penasaran pun kini turut hadir dalam benaknya. "Tasya? Kamu ngapain di sini?" Kini Rasya mulai dapat mengontrol rasa terkejutnya. Memulai pembicaraan yang membuat suasana menjadi terasa lebih santai. Ya. Wanita yang kini di hadapan Rasya bukan lain adalah Tasya. "Aku mau ketemu klien atasan aku. Tadi tiba-tiba saja atasan aku ada keperluan mendadak. Jadi, aku yang harus menggantikan dia," jelasnya. "Atasan kamu?" Rasya tampak berpikir. "Pak Rudi bukan? "Iya," jawab Tasya dengan senyuman. Sesaat kemudian, bola mata perempuan itu membulat sempurna. "Apa janga
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.