11. Kebetulan
***
"Kamu?" Suara terkejut yang mengalun merdu itu mengembangkan senyum Rasya.
Perasaan marah dan kecewa yang beberapa saat lalu dirasa telah menguap seketika saat mendapati senyum manis dari sosok cantik yang kini tengah berada di hadapannya. Tidak hanya itu. Rasa penasaran pun kini turut hadir dalam benaknya.
"Tasya? Kamu ngapain di sini?" Kini Rasya mulai dapat mengontrol rasa terkejutnya. Memulai pembicaraan yang membuat suasana menjadi terasa lebih santai. Ya. Wanita yang kini di hadapan Rasya bukan lain adalah Tasya.
"Aku mau ketemu klien atasan aku. Tadi tiba-tiba saja atasan aku ada keperluan mendadak. Jadi, aku yang harus menggantikan dia," jelasnya.
"Atasan kamu?" Rasya tampak berpikir. "Pak Rudi bukan?
"Iya," jawab Tasya dengan senyuman.
Sesaat kemudian, bola mata perempuan itu membulat sempurna. "Apa janga
12. Kesalahan *** Dengan gerakan pelan, Rasya membuka pintu yang ada di depannya. Memasukkan sedikit kepalanya untuk mengintip keadaan di dalam ruangan. Terlihat wanita cantik dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya tengah mengamati layar laptop dengan serius. Tidak menunjukkan ia menyadari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Dengan gerakan pelan, Rasya mulai mendekati keberadaan wanita itu. Berusaha untuk tidak diketahui keberadaannya. Berhasil. Kini Rasya telah berada tepat di belakang wanita cantik itu. Dengan senyum kemenangan, Rasya memeluk tubuh mungil wanita di hadapannya. Menumpukkan kepalanya pada ceruk leher wanita itu. Menghirup dan menghisap dalam aroma yang terkuat dari tubuh indah di dekapannya. "Hello my wife." Wanita cantik yang tidak lain adalah Ava itu tersenyum. Menengok sedikit k
13. Peringatan *** Rasya mengusap wajahnya kasar sembari mengendarai mobil dengan perasaan penuh penyesalan. Napasnya masih memburu kala mengingat hal yang baru saja terjadi padanya. "Bodoh. Bodoh kau Rasya," makinya tiada henti pada dirinya sendiri. Ya. Makian itu memang pantas ia terima. Belum pernah ia merasa menjadi seorang pecundang sebelumnya. Namun, kali ini, kelakuannya benar-benar mencerminkan seorang pecundang. Bahkan bisa disebut dengan lelaki pengecut, brengsek. Bisa-bisanya. Bisa-bisanya ia melakukan hal semenjijikkan itu. Ya Tuhan. Tiada henti Rasya merutuki dirinya sendiri. Benar-benar merasa menjadi seorang suami yang tidak tahu diri. Rasya menghentikan laju mobilnya di salah satu mini market saat ia melihatnya. Memutuskan untuk membeli sebotol air mineral dingin untuk mendinginkan pikirannya sejenak. Rasya menyiramkan air mineralnya yang tinggal sete
14. Gelisah *** "Tasya!" Suara riang nan keras itu menggema kala sang pemilik memasuki sebuah apartemen. Bertingkah seperti sang pemilik, ia melangkah pasti memasuki apartemen itu tanpa takut. Meneliti setiap sudut bangunan untuk mencari penghuni sebenarnya. Tiada ragu ia memasuki sebuah kamar kala dirinya tidak mendapati sosok yang dicari sedari tadi. Berharap seseorang itu memang berada di ruangan tersebut. Matanya melebar dan senyumnya merekah kala ia mendapati sosok yang sedari tadi ia cari tengah berdiri memunggunginya. Seperti tengah asyik memandangi hiruk pikuk suasana malam perkotaandan bergelayut manja dengan pikirannya. "Hem. Sedang melamun ternyata," ucapnya sembari berkacak pinggang. "He
15. Konsultasi *** "Hallo, Tante!" Suara milik wanita cantik itu menggema di dalam rumah milik keluarga Yarendra. Sapaan riang itu menyadarkan Desi yang tengah asyik dengan majalah fashion di pangkuannya. Dengan wajah bahagia, Desi bangkit untuk menyambut si pemilik suara dengan rangkulan dan ciuman hangat. "Zizi. Ya ampun, Tante kangen," ucap Desi sembari memberikan ciuman di pipi kiri dan kanan Zizi. Sungguh. Penyambutan yang berbeda sekali dengan yang biasa ia lakukan terhadap Ava. "Aduh. Calon mantu, Tante yang satu ini semakin cantik saja." Ucapan Desi yang memuji Zizi berhasil membuat Zizi mengembangkan senyum dan merona. "Duduk dulu, Sayang!" Keduanya duduk berdampingan pada sofa panjang. "Bibi. Buatkan dua minuman!" teriak Desi pada asisten rumah tangganya. Sesaat kemudian, atensi Desi kembali ter
16. Kesempatan *** Rasya memarkirkan mobilnya di depan rumah kedua orang tuanya. Dengan langkah pelan ia memasuki kediaman keluarga Yarendra. Memutar kunci mobil pada jari tangan kanan, tidak lupa bibir yang bersenandung lirih. Bibirnya membentuk senyuman saat melihat sang mama yang tengah santai menonton tivi. "Ma," panggilnya. Ia duduk di sebelah Desi dan merangkulnya lembut. "Tumben kamu ke sini?" tanya Desi. Bola matanya menelisik pakaian Rasya. "Dari kantor langsung ke sini?" Rasya mengangguk. "Ada perlu?" tanya Desi lagi. "Papa manggil aku, Ma. Aku diminta menemui Papa sore ini," jelas Rasya. Kening Desi terlipat, merasa bingung. "Papa minta kamu datang?" Rasya mengangguk. "Ada apa? Kok Mama tidak tahu?" Rasya mengedikkan bahunya acuh. "Rasya
17. Ternyata *** Kafka mengendarai mobilnya dengan perasaan bahagia. Kafka baru saja menangani sebuah proyek yang dipercayakan pada dirinya oleh sang papa. Dan semakin ia bangga karena dirinya telah berhasil meyakinkan klien incaran perusahaannya di pertemuan pertama. Kesepakatan kerjasama di antara keduanya pun terjadi. Ah, papanya pasti bangga saat mengetahui apa yang dipercayakan padanya telah berhasil ia genggam. Cukup dengan satu kali percobaan. "Papa pasti bangga," ucapnya. Dalam berkendara, Kafka menangkap siluet yang sangat ia kenali. Tanpa memastikan dua kali pun, ia yakin akan sosok itu. yang menjadi pertanyaannya adalah untuk apa dia berada di sini? Tanpa mempertimbangkan lagi, Kafka segera membelokkan mobilnya ke tempat itu. Mencoba untuk menemuinya. Baru
18. Salah Minum *** "Kafka," panggil Ava tidak terlalu keras namun masih bisa didengar oleh orang yang ia lihat. Sosok itu berbalik menghadapnya. Ava tersenyum kala yang ia lihat tidaklah salah. Dapat Ava lihat wajah terkejut dari sosok yang baru saja ia panggil. Ava mendekati orang itu dengan senyumnya. "Ava," panggil orang itu yang tidak lain memanglah Kafka. "Kafka. Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Ava dengan senyumnya. "Aku mengantar klien yang sakit." Jawaban Kafka membuat Ava memicingkan matanya. "Baik banget kamu?" Kafka terkekeh. "Tadinya kita rapat. Tiba-tiba saja dia mengeluh sakit. Jadinya aku antar saja ke rumah sakit. Kebetulan juga rumah sakit ini yang paling dekat dengan tempat kami meeting." Ava hanya menganggukkan kepalanya tanda ia menerima jawaban dari Kafka.
19. Panas *** Sebuah gerakan langkah eksotis tercetak dari kaki jenjangnya. Menapaki lantai ruangan yang terasa begitu dingin di pekatnya awan mendung. Menuju tempat halus nan nyaman dan hangat. Mencoba menciptakan alunan yang ingin dimainkan. Menahan beban pada kedua tangan akan sosok cantik dalam gendongannya, raut mata tidak terbaca tidak pernah lepas akan kemolekan tubuh dalam dekapannya. Bak porselen rapuh, lengan kokoh itu merebahkan siluet nan anggun dengan kemeja. Jari panjang menyusuri setiap sapuan kulit halus nan putih dari lekukan tubuh wanita yang didambanya. "Ah." Suara merdu itu tercipta begitu saja kala telapak tangan nakal menapaki sebuah kekenyalan yang padat. Belaian-belaian halus ia sapukan pada tubuh sexy yang berada di bawah Kungkungannya. "Please!" Permohonan itu keluar begitu saja dari bibir s
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.