5. Tangisan Ava
***
Kafka keluar dari ruang kerja papanya. Meninggalkan Tuan Yarendra bersama temannya. Ingin segera melihat wajah cantik perempuan yang ia cintai. Mata, hidung mungil, bibir tipis juga senyum manisnya. Ah, sungguh cantik dan memabukkan. Ava memang benar-benar membuat dirinya gila.
Ayolah, Kaf. Bahkan semua yang ada di tubuh Ava selalu membuatmu mabuk. Pria dengan kaus biru donker itu hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum saat menuruni tangga.
Namun, senyum Kafka menghilang kala ia melihat Ava menangis dan berlari ke arah taman belakang. Tanpa berpikir dua kali, ia pun memutuskan untuk mengejarnya, tidak ingin terjadi apa-apa dan juga berharap mengetahui penyebab Ava menitikkan air mata.
Langkah Kafka turut terhenti kala melihat perempuan itu yang tiba-tiba saja berhenti dan mematung di tengah pintu penghubung rumah dan pintu belakang. Merasa penasaran, Kafka pun mencoba mencari tahu.
Di sana, Kafka dapat melihat sang Kakak bersama dengan wanita yang ia tahu adalah teman kakaknya dulu. Tidak heran mengapa Ava menghentikan langkah secara tiba-tiba.
Ava pasti merasa sakit hati saat melihat suaminya. Apalagi, Rasya bersikap terlihat begitu mesra dengan wanita yang ia ketahui bernama Tasya. Melihat hal itu, entah kenapa hatinya tidak merasa kasihan pada Ava.
Yang ada, Kafka malah merekahkan senyumnya. Katakanlah ia sinting karena lebih suka melihat Ava seperti ini. Syukur-syukur kalau perempuan itu sampai membenci suaminya.
Saat melihat Ava berbalik, dengan segera Kafka menyembunyikan tubuhnya. Bisa dilihat dengan jelas tangan mulus itu mencoba untuk menghapus jejak air mata di pipi chubbynya
Tidak mungkin membiarkan Ava dalam keadaan seperti itu sendirian, Kafka memutuskan untuk tetap mengikutinya. Mengamati Ava yang saat ini tengah berpamitan pada sang mama. Tidak lama kemudian kalanya Rasya datang dari arah samping rumah seorang diri.
Kafka yang sebelumnya tersenyum, kini menjadi sebuah seringai sinis. Ia mengepalkan kedua tangannya saat melihat sang kakak yang dengan bodoh malah memilih untuk tetap tinggal dari pada mengantarkan Ava untuk pulang. Hei. Apakah laki-laki itu tidak tahu kalau istrinya sedang merasakan sakit hati?
Kafka berdecih sinis. "Suami seperti itulah yang kamu harapkan, Va?" Monolog Kafka.
Jujur, ia memang senang saat melihat sebuah perselisihan Rasya dan Ava. Akan tetapi, jika melihat raut wajah perempuan yang ia cintai yang terluka, sungguh ia pun merasa ikut tersakiti. Tidak terima.
Kafka tahu, pasti saat ini Ava merasa terluka. Terlihat jelas bahunya yang terguncang saat keluar rumah. Menghela napas dalam, ia tidak akan membiarkan perempuan itu terluka sendiri.
Mengambil salah satu kunci mobil dari laci tempat biasa penghuni menyimpan semua kunci kendaraan, Kafka berjalan ke arah ruang keluarga dengan santai. "Ma. Kafka mau keluar. Ada janji sama teman."
"Eh, kok pergi. Temani Zizi dong, Kaf." Desi yang melihat putranya akan keluar rumah berusaha mencegahnya, mencoba untuk membuat Kafka tetap tinggal.
"Maaf, Ma. Kafka sudah janji sama mereka. Tidak mungkin Kafka tidak datang atau membatalkannya," jawabnya tegas. Mimik wajah masih datar berharap mamanya mengerti kalau ia tidak menyukai apa yang direncanakan.
"Ya sudah. Kamu ajak saja Zizi." Kedua tangan Kafka yang masih berada di dalam saku celana terkepal melihat kegigihan ibunya untuk menjodohkan dirinya dengan wanita bernama Zizi.
"Semua teman Kafka laki-laki, Ma. Jadi Kafka tidak bisa membawa Zizi." Tidak ingin mendengar alasan lagi dari mamanya, Kafka segera berlalu dari ruangan yang menurut Kafka terasa memuakkan.
Sedangkan Zizi yang melihat sikap Kafka seperti itu, semakin merasa terobsesi untuk mendekati dan mendapatkannya. Bagi perempuan itu, pria yang jual mahal terlihat lebih seksi.
Saat sampai di luar rumah, pandangan Kafka mengedar. Mencari keberadaan Ava. "Dimana dia?" Keluar pagar, ia menoleh ke kanan dan kirim namun, tidak juga melihat sosok Ava.
"Lebih baik aku mencarinya." Berlari ke arah mobil, ia memasuki dan mulai menyalakan mesin. Lalu menjalankan keluar dari kediaman Yarendra.
Kafka dengan segera mengendarai mobilnya sembari melihat sisi jalan. Mencari seseorang yang ia cintai. Berharap tidak terjadi apa-apa kala rasa khawatir semakin menyeruak. "Semoga saja dia tidak bertemu dengan preman, perampok atau semacamnya.
Embusan napas kelegaan ia hela kala melihat sosok mungil yang selalu ia cintai. Kafka bisa melihat betapa sedihnya wanita itu. Dengan segera, Kafka menghentikan mobilnya tepat di depan perempuan itu. Begitu terlukanya Ava saat ini. Hingga kedatangan mobil Kafka pun ia tak menggubrisnya.
Tidak ingin wanita yang ia cintai lebih bersedih, Kafka segera turun untuk menghampirinya. "Ava," panggil Kafka pelan, ia memandang sosok yang menunduk dengan bahu beregtar.
Ava mendongak ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Siluet sang sahabat berdiri tegak di hadapannya "Kaf," panggil Ava dengan nada lirihnya.
Oh tidak, Kafka benci air mata itu. Sigap ia duduk di samping Ava, mengulurkan tangan untuk menghapus lelehan air asin itu. Menangkup wajah Ava, ia memberikan kecupan pada kedua kelopak mata yang terlihat sembab itu.
Kafka membawa tubuh mungil yang ia cintai dalam rengkuhannya. Memberikan elusan di punggung untuk meredakan kesedihan Ava. Tanpa kata, Ava pun membalasnya.
"Ssst udah. Jangan nangis. Aku sudah bilang. Aku tidak suka melihat kamu menangis." Ava masih sesenggukan dalam dekapan Kafka. Sedang Kafka tidak henti-hentinya mengusap punggungnya.
"Aku benci. Aku benci diriku yang lemah." Ava menumpahkan kekesalan di dalam pelukan Kafka.
"Kamu tidak lemah, hanya terllau sabar," ucap Kafka menenangkan.
"Aku benci. Aku benci kakak kamu," ucap Ava kembali. Kali ini ia sedikit memberikan pukulan pada dada sang sahabat.
"Iya, bencilah. Kakakku memang bajingan." Dalam hati ia tertawa puas.
"Aku benci. Aku benci mama kamu."
"Iya, bencilah. Mamaku memang jelmaan iblis." Ava terkekeh di dalam dekapan Kafka.
Melepaskan pelukan sang sahabat, Ava merajuk. "Kamu mah begitu."
Kening Kafka terlipat. "Ya aku harus bagaimana. Benci dan cinta itu, kan terserah kamu. Masak aku harus bilang. Jangan. Kakakku, kan suami kamu. Jangan, mamaku itu jelmaan malaikat," ucapnya dengan nada dibuat-buat.
Ava pun tidak bisa lagi untuk menahan tawa, ia tertawa meski wajah masih dipenuhi air mata. Di tempatnya Kafka bersyukur telah berhasil mengembalikan keceriaan perempuan di hadapannya.
"Kamu mah begitu," ucap Ava yang masih terkekeh di sela kegiatannya yang membersihkan jejak air mata di pipi.
Kafka tersenyum. "Aku antar kamu pulang, ya?” Ava hanya bisa mengangguk.
Dengan perlakuan manisnya, Kafka menggandeng Ava saat masuk ke mobilnya. Membantu untuk memakai sabuk pengamannya. Setelah itu ia segera memutari mobil ke arah kemudi.
"Siap?" tanya Kafka saat ia sudah duduk di balik kemudi. Ava mengangguk dengan senyuman yang membuat pria itu segera menjalankan mobilnya.
Tidak ada percakapan dalam perjalanan mereka. Hanya ada kesunyian yang melingkupi. Mobil berhenti saat lampu merah menyala. Tatapan Kafka kini beralih pada Ava yang sudah terlelap dalam tidurnya. Mungkin, ia merasa lelah karena terlalu lama menangis.
Dengan keberanian penuh, Kafka membelai wajah Ava. "Aku tidak akan membiarkan kamu terus-terusan bersedih. Kamu ada hanya untuk bahagia. Dan akulah yang akan membuatmu bahagia. Aku janji," ucap Kafka. Meskipun ia yakin kalau Ava tidak akan mendengarnya.
Kafka mendekatkan wajahnya pada Ava. Dengan gerakan pelan, ia mengecup kening Ava penuh kasih, dan segera melepasnya agar Ava tidak terbangun. Pria bermata tajam itu kembali melajukan mobilnya saat lampu telah berubah warna. Tatapan elangnya terarah pada jalan di depannya.
Dengan mengendarai penuh kehati-hatian, dalam hati Kafka berkata, “Melihat kelakuan Kakak seperti ini, membuat aku semakin yakin untuk merebut Ava darimu, Kak."
6. Rencana Desi *** Rasya memberikan satu gelas jus jeruk pada Tasya. Dengan senang hati, perempuan berambut panjang itu menerimanya. Meneguk air orange itu dengan mendongak, saat itulah Rasya tidak dapat mengalihkan pandangannya dari leher jenjang putih itu. Rasya segera menggeleng lalu duduk berdampingan dengan Tasya. "Kamu tahu, Sya?” tanya Tasya tanpa mengalihkan pandangan dari hamparan bunga mawar di hadapannya. "Aku suka bunga mawar meskipun berduri, mereka cantik. Mama juga suka menanamnya di rumah ...." Tasya menceritakan tentang dirinya pada Rasya dengan begitu antusias. Tidak menyadari jika sedari tadi pria di sampingnya hanya menikmati keindahan wajah yang dimiliki. Tidak menghiraukan cuapan Tasya yang terus bercerita. Rasya tidak menampik, jika wanita teman SMAnya ini begitu cantik, Ia menyadari itu. Bahkan, sejak dulu. Sejak mereka masih sam
7. Menemani *** Mobil Kafka baru saja sampai di pelataran rumah Ava. Wanita yang menjadi istri sang kakak dan juga wanita yang sangat ia cintai. Kafka menengok untuk melihat Ava yang masih tertidur. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Mungkin, wanita ini merasa sangat lelah setelah menangis. Hingga mobil yang berjalan pun tidak mengganggu tidurnya. "Kalau lagi tidur begini, cerewetnya hilang, ya." Tidak ingin menjadi pengganggu, Kafka memilih untuk turun terlebih dahulu, memutari mobil dan membuka pintu bagian Ava duduk. I membopong tubuh yang tengah terlelap itu. Ohhh, come on Kafka. Tidur Ava tidak ingin kau ganggu? Tapi rumah tangganya ingin kau ganggu?
8. Kemarahan Yarendra *** "Baiklah. Kita pulang dulu. Aku harap, kerja sama kita bisa berjalan dengan lancar, Yarendra." Bram berdiri di hadapan Tuan Yarendra, mengulurkan tangan untuk saling berjabat tangan. Sore ini, tamu Yarendra memutuskan untuk berpamitan pulang dikarena pembahasan memang sudah dilakukan sejak siang. Selebihnya, mereka hanya berbincang ringan. "Semoga, Bram,” ucap Yarendra. Ia menjawab jabatan tangan sahabatnya. Lain dari kedua laki-laki paruh baya itu, lain lagi untuk para istri mereka. "Semoga niatan kita terlaksana ya, Des," ucap Yanti—mamanya Zizi. Perempuan dengan rambut disanggul itu memegang pundak anaknya. "Harus itu," jawab Desi dengan keyakinan. Sedangkan Zizi yang berada di samping mereka hanya tersenyum menunduk dengan merapalkan keinginannya dalam hati. Semoga memang terlaksana. Tasya me
9. Benak Kafka *** Dua benda kenyal itu masih saling bersilat. Beradu dalam decapan kepuasan. Saling menggigit kecil memberi kenikmatan melalui tukaran salifa. Erangan milik sang wanita membuat sang lelaki tersenyum dalam pagutannya. Dengan pasti ia mulai membawa tangan sang wanita melingkari lehernya. Merapatkan duduk di antara keduanya. Meremas pelan pinggang sang wanita. Terlepasnya tautan yang sedari tadi terpaut, meninggalkan deru napas yang memburu. Pengaturan tarikan yang seolah berlomba menarik oksigen dalam keadaan kening yang masih menyatu. Kedua sudut bibir mereka tertarik untuk membentuk seutas senyuman di sela deru napas. Kilatan cahaya mata yang menampakkan gairah berkobar seakan sama-sama menginginkan satu sama lain. "I love you," ucap parau sang lelaki. "I love you to," balas sang wanita lirih membuat lelaki di hada
10. Membuntuti *** "Pagi, Sayang!" Sebuah pelukan yang dilakukan lengan kekar di perutnya membuat Ava berjingkat saat ia masih berkutat dengan alat masaknya. Senyum terukir kala ia mengetahui bahwa sang suami yang melakukannya. "Pagi," sapa Ava dengan nada lembut dan senyum manis. Perasaan senang atas pelukan pagi telah berubah rasa risih saat Rasya mulai menciumi pundak dan belakang telinga Ava "Aw." Sebuah cubitan mendarat mulus di lengan Rasya. "Ada apa sih, Yang?" tanya Rasya dengan mengusap lengannya yang masih terasa sakit akibat cubitan semut Ava. Ava mematikan kompor sebelum ia membalikkan tubuh dengan berkacak pinggang. Satu tangannya yang masih memegang spatula terangkat. "Kamu ini tidak tahu tempat. Malu dilihatin sama, Bibi." Ava berucap dengan melirik keberadaan pembantu mereka yang berada tidak jauh dari sana. Masih dengan menahan sakit, Rasya mengikuti
11. Kebetulan *** "Kamu?" Suara terkejut yang mengalun merdu itu mengembangkan senyum Rasya. Perasaan marah dan kecewa yang beberapa saat lalu dirasa telah menguap seketika saat mendapati senyum manis dari sosok cantik yang kini tengah berada di hadapannya. Tidak hanya itu. Rasa penasaran pun kini turut hadir dalam benaknya. "Tasya? Kamu ngapain di sini?" Kini Rasya mulai dapat mengontrol rasa terkejutnya. Memulai pembicaraan yang membuat suasana menjadi terasa lebih santai. Ya. Wanita yang kini di hadapan Rasya bukan lain adalah Tasya. "Aku mau ketemu klien atasan aku. Tadi tiba-tiba saja atasan aku ada keperluan mendadak. Jadi, aku yang harus menggantikan dia," jelasnya. "Atasan kamu?" Rasya tampak berpikir. "Pak Rudi bukan? "Iya," jawab Tasya dengan senyuman. Sesaat kemudian, bola mata perempuan itu membulat sempurna. "Apa janga
12. Kesalahan *** Dengan gerakan pelan, Rasya membuka pintu yang ada di depannya. Memasukkan sedikit kepalanya untuk mengintip keadaan di dalam ruangan. Terlihat wanita cantik dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya tengah mengamati layar laptop dengan serius. Tidak menunjukkan ia menyadari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Dengan gerakan pelan, Rasya mulai mendekati keberadaan wanita itu. Berusaha untuk tidak diketahui keberadaannya. Berhasil. Kini Rasya telah berada tepat di belakang wanita cantik itu. Dengan senyum kemenangan, Rasya memeluk tubuh mungil wanita di hadapannya. Menumpukkan kepalanya pada ceruk leher wanita itu. Menghirup dan menghisap dalam aroma yang terkuat dari tubuh indah di dekapannya. "Hello my wife." Wanita cantik yang tidak lain adalah Ava itu tersenyum. Menengok sedikit k
13. Peringatan *** Rasya mengusap wajahnya kasar sembari mengendarai mobil dengan perasaan penuh penyesalan. Napasnya masih memburu kala mengingat hal yang baru saja terjadi padanya. "Bodoh. Bodoh kau Rasya," makinya tiada henti pada dirinya sendiri. Ya. Makian itu memang pantas ia terima. Belum pernah ia merasa menjadi seorang pecundang sebelumnya. Namun, kali ini, kelakuannya benar-benar mencerminkan seorang pecundang. Bahkan bisa disebut dengan lelaki pengecut, brengsek. Bisa-bisanya. Bisa-bisanya ia melakukan hal semenjijikkan itu. Ya Tuhan. Tiada henti Rasya merutuki dirinya sendiri. Benar-benar merasa menjadi seorang suami yang tidak tahu diri. Rasya menghentikan laju mobilnya di salah satu mini market saat ia melihatnya. Memutuskan untuk membeli sebotol air mineral dingin untuk mendinginkan pikirannya sejenak. Rasya menyiramkan air mineralnya yang tinggal sete
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.