Teman Lama
***
"O, jadi Tasya ini teman SMA kamu? Kok Mama enggak pernah tahu, ya?" Desi bertanya dengan antusias ketika baru saja mengetahui sebuah fakta.
Saat ini, Rasya, Desi beserta tamunya tengah berkumpul di ruang keluarga, berbincang ringan tentunya.
Ava? Seperti biasa, ia akan menghindari obrolan ringan dengan sang mertua untuk menyelamatkan hatinya. Kalian pasti mengerti bukan?
Sedangkan Kafka, pria itu mengikuti papa dan temannya memasuki ruang kerja Papanya—membahas pekerjaan yang akan ia tangani.
"Cantik ya, Sya? Kenapa kamu dulu tidak pacaran sama dia?” Wanita yang bernama Tasya hanya tersenyum simpul mendengar penuturan dari Desi. Merasa tidak enak karena ia pun tahu Rasya memiliki seorang istri.
"Mama tidak tahu saja. Tasya itu murid paling cantik di sekolah. Banyak yang menyukai, mana mau sama Rasya?” Rasya berucap dengan kekehan.
"Oh ya?" Pandangan Desi menelisik Tasya. "Tidak meragukan sih memang. Kamu kuliah di mana, Sayang?"
"Dulu satu kampus sama Rasya, Tante. Cuma, pas waktu semester dua, saya harus ikut Papa pindah ke Belanda," jelas Tasya.
Desi hanya mengangguk. "Coba saja saya kenal kamu dari lama, pasti kamu sekarang sudah jadi menantu saya." Tasya semakin merasa tidak enak dengan perkataan itu. Takut-takut kalau istri Rasya mendengarnya.
Sebuah ide terbersit di otak cantik Desi. Ia menatap putranya Rasya. "Rasya. Ajak keliling rumah gih, Tasya. Siapa tahu dia merindukan lingkungan Indonesia." Tasya sempat melotot mendengar hal demikian.
"Betul, Tante," timpal Zizi yang semakin membuat mata Tasya membeliak.
Namun, tidak dengan Rasya. Pria itu terlihat biasa saja. Buktinya dia bangkit dan mengulurkan tangan padanya. Tasya menatap ragu itu.
"Sudah. Ayo!" Mau tidak mau Tasya pun menerima uluran tangan Rasya.
Desi tersenyum melihat dua orang itu berlalu. "Zizi nunggu Kafka saja, ya?" Perempuan dengan dress warna peach pun mengangguk.
***
Ava masih berada di dapur membantu Bi Rumi yang sedang mencuci piring. Seperti biasanya.
"Kenapa Neng Ava tidak ikut kumpul sama yang lain saja?" Bi Rumi yang sedari tadi diam kini bertanya. Meski sudah biasa, tetapi kali ini merupakan hal yang berbeda.
"Bukannya memang seperti ini, ya, Bi jika Ava ke sini?” Ava melirik Bi Rumi dengan tangan yang masih berkutat dengan busa dan piring kotor.
"Iya sih, Neng. Tapi, kan hari ini Tuan Kafka pulang, ada tamunya ibu juga memang Neng Ava tidak berkenalan dengan mereka?" Ava mengerti dari perempuan paruh baya yang telah mengabdi puluhan tahun pada keluarga ini.
"Itu tidak mungkin, Bi. Bibi, kan tahu Mama seperti apa sama Ava?" Raut kesedihan kini muncul dari wajah Ava. Menerawang sikap mertuanya yang berbeda dengan dulu.
Bi' Rumi yang mengerti pun mengelus pundak Ava. "Yang sabar, ya, Neng."
Ava tersenyum dan melanjutkan cuci piringnya. Setelah selesai ia mengeringkan tangan menggunakan sebuah kain bersih.
Ava berpamitan pada Bi Rumi untuk menemui suaminya. Masih ingat kalau mereka berkumpul di ruang keluarga. Sosok perempuan bernama Zizi tidak salah dengar akan dijodohkan dengan Kafka. Mengingat hal itu ia bahagia jika sahabatnya akan segera melepas masa lajangnya.
Senyum yang sebelumnya terbit kini hilang begitu saja saat Ava mengingat masih ada satu lagi wanita yang berada di sana. Tasya. Katanya dia adalah teman Rasya sejak SMA.
Ava masih mengingat betul wajah bahagia sang suami saat melihat wanita itu datang, dan tanpa ragu pun, Rasya menyambutnya dengan pelukan.
Sempat terbesit dalam pikiran Ava bahwa keduanya dulu memiliki hubungan. Namun, kembali lagi. Sifat dirinya yang tidak suka berpikiran negatif pada orang lain, membuat perempuan bermata hazle itu membuang stigma yang menurutnya akan menjadi masalah di antara ia dan Rasya.
Jika benar suaminya dulu memiliki hubungan dengan Tasya, Ava hanya berusaha berpikir positif. Itu dulu. Dan sekarang, Rasya telah menjadi suaminya.
"Rasya, ajak keliling gih, Tasya.” Ava berhenti di sebelah rak buku penyekat ruangan. Ia menatap sang suami yang mengulurkan tangan pada Tasya.
Tidak lama kemudian Tasya menyambutnya. Entahlah, melihat hal itu ia tidak dapat melakukan apa-apa. Hanya berdiri mematung tanpa bisa mencegah dua orang yang berlalu itu pergi.
"Memang istrinya tidak marah, Des kalau Rasya sama Tasya keliling rumah hanya berdua?” Pertanyaan dari tamu sang mertua membuyarkan lamunan Ava mengenai suaminya dan Tasya. Ia mengintip dari balik dinding.
"Biarin saja marah. Kalau perlu sampai mereka bertengkar lalu bercerai." Bola mata Ava membulat seketika.
Sungguh menyakitkan ucapan mertuanya. Dengan begitu mudah dan lantang ia menyampaikan keinginan seperti itu pada orang lain. Seolah perceraian dari putranya bukanlah adalah hal benar jika memang terjadi.
"Baru kali ini loh, Des aku melihat orang tua ingin anaknya bercerai." Ava melihat betul ucapan itu disertai senyuman yang terkesan mengejek. Namun, sepertinya itu adalah hal biasa bagi mertuanya.
"Orang tua mana yang tidak ingin anaknya bercerai Kalau menantunya tidak bisa memberi cucu? Aku, kan juga mau menimang cucu," jawabnya dengan lancar.
Kentara sekali akan ketidaksukaannya pada sang menantu. Mendengar hal itu, tangan Ava terangkat menyentuh dada yang terasa berdenyut nyeri, menahan sesak di sana. Air yang sedari menggenang di pelupuk mata kini mulai berjatuhan.
"Memang benar menantu kamu itu mandul?” Ava mencoba menulikan pendengaran, tetapi semua itu terasa sia-sia.
"Pasti. Orang sdah lima tahun berumah tangga tapi belum punya anak juga. Kalau tidak mandul apa namanya." Tatapan Desi kini beralih pada gadis yang duduk di sampingnya. Tangan perempuan paruh baya itu terulur untuk menggenggam tangan Zizi.
"Tapi, kayaknya sebentar lagi aku bisa menimang cucu. Kalau anakmu ini mau menikah dengan Kafka,” ucapnya dengan senyum merekah.
"Nah, kalau Kafka sudah punya anak dengan Zizi, pasti Rasya nanti akan iri. Jadi, aku mau deketin Rasya sama Tasya dari sekarang. Siapa tahu mereka bisa nikah dan punya anak."
Cukup. Ava tidak mampu lagi mendengar ungkapan dari ibu mertuanya. Tidak ingin sakit lebih dalam lagi ia ingin segera mengajak suaminya pulang.
Namun, hal tidak terduga kembali terjadi. Saat Ava mencari Rasya, ia melihat suaminya tengah asyik mengobrol di taman belakang rumahnya dengan tawa lepas bersama Tasya. Melihat kedekatan mereka membuatnya merasa sedih.
Air mata Ava semakin deras kala melihat suaminya begitu perhatian terhadap gadis yang saat ini tengah bersamanya. Tanpa beban Rasya menggandeng tangan milik Tasya ketika berjalan, sesekali membelai rambut perempuan itu.
Memejamkan mata, Ava berusaha menghalau rasa sesak yang kian menyiksa. Memutuskan untuk pulang sendiri tanpa sang suami. Ava menghentikan langkahnya sejenak saat ia sampai di ruang keluarga.
"Ma. Ava izin pulang dulu, ya?” ucapnya dengan meraih slingbag miliknya.
Meskipun ucapan mertuanya sering menyakiti hati, Ava masih mempunyai sikap sopan santun dengan tidak pergi begitu saja tanpa pamit.
Desi memandang sinis pada Ava. "Pulang? Ya sudah pulang sana. Tapi bisa sendiri, kan? Rasya masih Mama suruh nemenin Tasya soalnya." Ava hanya bisa mengangguk mendengar ucapan ibu mertuanya.
Tidak ingin ada tambahan yang akan menyakitinya lagi, Ava pun dengan segera ingin berlalu. Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Loh, Sayang. Kamu mau ke mana?" Memejamkan mata Ava mengembuskan napas lega. Baru saja ia kan menjawab, tetapi urung kala Desi mengambil alih.
"Tasya mana, Sya?” Ava hanya mampu menggigit bibir bawah.
"Masih di taman. Tadi aku mau ambilin dia minum." Tatapan Rasya kini beralih pada Ava. "Kamu mau ke mana, Sayang?"
"Aku mau pulang, Mas" jawab Ava lirih.
"Kok tidak bilang?" Tidak menjawab pertanyaan Rasya, Ava hanya mampu diam. Mana mungkin jika ia akan menjawab 'Aku tidak ingin mengganggu waktumu dengan Tasya'.
"Ya sudah. Aku antar kamu pulang," ucap Rasya ketika melihat istrinya hanya diam saja.
Desi melotot. "Memangnya kamu sudah selesai mengajak Tasya keliling, Sya?" tanyanya cepat-cepat. Tidak ingin rencana mendekatkan Rasya dan Tasya nanti akan gagal.
Pertanyaan dari Mamanya mampu menghentikan langkah Rasya yang akan menghampiri Ava. Pria itu menoleh pada perempuan yang telah melahirkannya. "Belum sih, Ma," jawab Rasya singkat.
"Ya lanjutin dong. Kasihan, kan Tasya. Lagian Ava tadi juga bilang mau pulang sendiri. Mau memberi kamu quality time bersama Tasya. Iya kan, Va?" Mau tidak mau Ava hanya mengangguk.
Namun, jauh dalam lubuk hatinya Ava sangat berharap kalau Rasya akan menolak keinginan dari mamanya.
"Kamu tidak papa, Sayang pulang sendiri?" Napas Ava tercekat dan matanya terpejam erat kala mendengar pertanyaan suaminya.
Dari pertanyaannya saja, Ava yakin jika sang suami akan menuruti keinginan mamanya. "Bisa, Mas."
"Kalau begitu, aku di sini dulu, ya. Kamu hati-hati pulangnya." Bak dihantam batu besar, keputusan Rasya begitu menyakitinya. Meski Rasya sempat memberi pelukan dan kecupan kecil di kening, rasa sakit itu malah lebih terasa.
Rasya, suaminya. lebih memilih untuk menemani temannya dari pada mengantar dirinya pulang. Ava dapat melihat jelas senyum kemenangan yang terukir dari bibir Desi.
Menahan tangis Ava mulai melangkah keluar dari kediaman Yarendra. Sesekali menghapus aliran air mata yang entah kenapa tidak juga mau berhenti mengalir. Ava memutuskan untuk mencari taxi dengan jarak yang cukup jauh dari rumah mertuanya. Karena ia tidak ingin terlihat lemah oleh penghuni di sana.
5. Tangisan Ava *** Kafka keluar dari ruang kerja papanya. Meninggalkan Tuan Yarendra bersama temannya. Ingin segera melihat wajah cantik perempuan yang ia cintai. Mata, hidung mungil, bibir tipis juga senyum manisnya. Ah, sungguh cantik dan memabukkan. Ava memang benar-benar membuat dirinya gila. Ayolah, Kaf. Bahkan semua yang ada di tubuh Ava selalu membuatmu mabuk. Pria dengan kaus biru donker itu hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum saat menuruni tangga. Namun, senyum Kafka menghilang kala ia melihat Ava menangis dan berlari ke arah taman belakang. Tanpa berpikir dua kali, ia pun memutuskan untuk mengejarnya, tidak ingin terjadi apa-apa dan juga berharap mengetahui penyebab Ava menitikkan air mata.
6. Rencana Desi *** Rasya memberikan satu gelas jus jeruk pada Tasya. Dengan senang hati, perempuan berambut panjang itu menerimanya. Meneguk air orange itu dengan mendongak, saat itulah Rasya tidak dapat mengalihkan pandangannya dari leher jenjang putih itu. Rasya segera menggeleng lalu duduk berdampingan dengan Tasya. "Kamu tahu, Sya?” tanya Tasya tanpa mengalihkan pandangan dari hamparan bunga mawar di hadapannya. "Aku suka bunga mawar meskipun berduri, mereka cantik. Mama juga suka menanamnya di rumah ...." Tasya menceritakan tentang dirinya pada Rasya dengan begitu antusias. Tidak menyadari jika sedari tadi pria di sampingnya hanya menikmati keindahan wajah yang dimiliki. Tidak menghiraukan cuapan Tasya yang terus bercerita. Rasya tidak menampik, jika wanita teman SMAnya ini begitu cantik, Ia menyadari itu. Bahkan, sejak dulu. Sejak mereka masih sam
7. Menemani *** Mobil Kafka baru saja sampai di pelataran rumah Ava. Wanita yang menjadi istri sang kakak dan juga wanita yang sangat ia cintai. Kafka menengok untuk melihat Ava yang masih tertidur. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Mungkin, wanita ini merasa sangat lelah setelah menangis. Hingga mobil yang berjalan pun tidak mengganggu tidurnya. "Kalau lagi tidur begini, cerewetnya hilang, ya." Tidak ingin menjadi pengganggu, Kafka memilih untuk turun terlebih dahulu, memutari mobil dan membuka pintu bagian Ava duduk. I membopong tubuh yang tengah terlelap itu. Ohhh, come on Kafka. Tidur Ava tidak ingin kau ganggu? Tapi rumah tangganya ingin kau ganggu?
8. Kemarahan Yarendra *** "Baiklah. Kita pulang dulu. Aku harap, kerja sama kita bisa berjalan dengan lancar, Yarendra." Bram berdiri di hadapan Tuan Yarendra, mengulurkan tangan untuk saling berjabat tangan. Sore ini, tamu Yarendra memutuskan untuk berpamitan pulang dikarena pembahasan memang sudah dilakukan sejak siang. Selebihnya, mereka hanya berbincang ringan. "Semoga, Bram,” ucap Yarendra. Ia menjawab jabatan tangan sahabatnya. Lain dari kedua laki-laki paruh baya itu, lain lagi untuk para istri mereka. "Semoga niatan kita terlaksana ya, Des," ucap Yanti—mamanya Zizi. Perempuan dengan rambut disanggul itu memegang pundak anaknya. "Harus itu," jawab Desi dengan keyakinan. Sedangkan Zizi yang berada di samping mereka hanya tersenyum menunduk dengan merapalkan keinginannya dalam hati. Semoga memang terlaksana. Tasya me
9. Benak Kafka *** Dua benda kenyal itu masih saling bersilat. Beradu dalam decapan kepuasan. Saling menggigit kecil memberi kenikmatan melalui tukaran salifa. Erangan milik sang wanita membuat sang lelaki tersenyum dalam pagutannya. Dengan pasti ia mulai membawa tangan sang wanita melingkari lehernya. Merapatkan duduk di antara keduanya. Meremas pelan pinggang sang wanita. Terlepasnya tautan yang sedari tadi terpaut, meninggalkan deru napas yang memburu. Pengaturan tarikan yang seolah berlomba menarik oksigen dalam keadaan kening yang masih menyatu. Kedua sudut bibir mereka tertarik untuk membentuk seutas senyuman di sela deru napas. Kilatan cahaya mata yang menampakkan gairah berkobar seakan sama-sama menginginkan satu sama lain. "I love you," ucap parau sang lelaki. "I love you to," balas sang wanita lirih membuat lelaki di hada
10. Membuntuti *** "Pagi, Sayang!" Sebuah pelukan yang dilakukan lengan kekar di perutnya membuat Ava berjingkat saat ia masih berkutat dengan alat masaknya. Senyum terukir kala ia mengetahui bahwa sang suami yang melakukannya. "Pagi," sapa Ava dengan nada lembut dan senyum manis. Perasaan senang atas pelukan pagi telah berubah rasa risih saat Rasya mulai menciumi pundak dan belakang telinga Ava "Aw." Sebuah cubitan mendarat mulus di lengan Rasya. "Ada apa sih, Yang?" tanya Rasya dengan mengusap lengannya yang masih terasa sakit akibat cubitan semut Ava. Ava mematikan kompor sebelum ia membalikkan tubuh dengan berkacak pinggang. Satu tangannya yang masih memegang spatula terangkat. "Kamu ini tidak tahu tempat. Malu dilihatin sama, Bibi." Ava berucap dengan melirik keberadaan pembantu mereka yang berada tidak jauh dari sana. Masih dengan menahan sakit, Rasya mengikuti
11. Kebetulan *** "Kamu?" Suara terkejut yang mengalun merdu itu mengembangkan senyum Rasya. Perasaan marah dan kecewa yang beberapa saat lalu dirasa telah menguap seketika saat mendapati senyum manis dari sosok cantik yang kini tengah berada di hadapannya. Tidak hanya itu. Rasa penasaran pun kini turut hadir dalam benaknya. "Tasya? Kamu ngapain di sini?" Kini Rasya mulai dapat mengontrol rasa terkejutnya. Memulai pembicaraan yang membuat suasana menjadi terasa lebih santai. Ya. Wanita yang kini di hadapan Rasya bukan lain adalah Tasya. "Aku mau ketemu klien atasan aku. Tadi tiba-tiba saja atasan aku ada keperluan mendadak. Jadi, aku yang harus menggantikan dia," jelasnya. "Atasan kamu?" Rasya tampak berpikir. "Pak Rudi bukan? "Iya," jawab Tasya dengan senyuman. Sesaat kemudian, bola mata perempuan itu membulat sempurna. "Apa janga
12. Kesalahan *** Dengan gerakan pelan, Rasya membuka pintu yang ada di depannya. Memasukkan sedikit kepalanya untuk mengintip keadaan di dalam ruangan. Terlihat wanita cantik dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya tengah mengamati layar laptop dengan serius. Tidak menunjukkan ia menyadari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Dengan gerakan pelan, Rasya mulai mendekati keberadaan wanita itu. Berusaha untuk tidak diketahui keberadaannya. Berhasil. Kini Rasya telah berada tepat di belakang wanita cantik itu. Dengan senyum kemenangan, Rasya memeluk tubuh mungil wanita di hadapannya. Menumpukkan kepalanya pada ceruk leher wanita itu. Menghirup dan menghisap dalam aroma yang terkuat dari tubuh indah di dekapannya. "Hello my wife." Wanita cantik yang tidak lain adalah Ava itu tersenyum. Menengok sedikit k
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.