Semua Bab Menjadikanmu Milikku: Bab 61 - Bab 70

96 Bab

61. Pembatalan

61. Pembatalan ***   Rasya menjalankan kendaraannya setelah memastikan Ava memasuki lobi apartemen. Ia melirik Clara yang hanya membuang pandangan ke arah luar kaca. Padahal, seingatnya tadi sang kekasih hanya menatap ke depan. "Kamu kenapa tidak membalas ucapan Ava?" tanya Rasya yang memecah keheningan di dalam mobil. Tidak ada jawaban dari Clara membuat pria itu menghela napas dalam. "Seharusnya kamu tidak bersikap demikian, Cla." Tepat setelah ia mengatakan hal demikian, Clara menatapnya cepat. Betapa terkejutnya ia mendapati wajah sang kekasih yang sembab karena air mata. "Kamu pikir, aku setega itu? Kamu pikir, aku tidak merasa bersalah pada Ava? Aku tertekan, Sya. Aku sedih," ucap Clara dengan air mata yang masih mengalir. "Bagaimanapun dia adalah sahabat aku. Karena aku kehidupanny
Baca selengkapnya

62. Lamaran

62. Lamaran *** Kafka menatap apa yang ia siapkan dengan perasaan puas. Semua yang ia lakukan seharian ini, terpampang nyata di hadapannya. Sesuai dengan keinginannya. Perasaan bahagia membuncah seketika dalam hati. Sebentar lagi, sebentar lagi apa yang ia inginkan akan segera terwujud. "Semuanya sudah siap. Tinggal kau membawa Ava datang kemari dan lakukan apa yang mau kau lakukan," ucap Ziqry yang berdiri di samping Kafka. Kafka menepuk pundak temannya itu dengan keras, tidak menghiraukan Ziqry yang meringis kesakitan. Pasalnya, ia terlalu bahagia saat ini. "Terima kasih karena sudah mau membantuku mempersiapkan semua ini." Sedikit ditambah remasan pada bahu pria di sampingnya, bukan menyakiti akan tetapi sebagai penyalur rasa bahagianya saat ini. "Sialan, kau!" Ziqry menepis tangan Kafka. Tidak ada kemarahan, hanya ada tawa dari bibir pria bermat
Baca selengkapnya

63. Kecelakaan

63. Kecelakaan *** "I can't," ucap Ava. Degupan jantung Kafka terasa semakin kencang. Kekhawatiran menguasainya dirinya, tetapi Kafka masih tetap berusaha untuk tenang. Pria bermata tajam itu tersenyum. "Aku tahu. Kamu tidak bisa. Tidak bisa menolak, bukan?" Terdengar tangis Ava yang menjadi isakan kecil. Perempuan yang ia cintai itu kembali menggelengkan kepalanya. "Maaf, Kaf. Maaf. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menerima kamu." Raut kekecewaan kini terpatri di wajah Kafka. Genggaman tangannya pada tangan putih mulus milik Ava mulai melonggar, pertanda bahwa si empunya mulai melepaskan diri dari jeratannya. Setelahnya ia melihat Ava yang pergi menjauh dari dirinya dengan pandangan kosong. Kafka yang masih terkejut akan jawaban itu hanya bisa mematung, berusaha mencerna bahwa wanita yang ia cintai hanya mengerjai dirinya. *** Ava terus berl
Baca selengkapnya

64. Kehilangan

64. Kehilangan ***   Kafka merasa tidak sabar melihat brankar yang masih didorong dari ambulance yang ditumpangi menuju rumah sakit. Ia merasa para perawat laki-laki itu terlalu lama melakukannya. Padahal, para perawat itu juga bertindak dengan cekatan ketika ambulance sudah memasuki area Rumah Sakit. Tanggapilah dengan wajar sikap Kafka ini. Perasaan panik yang pria itu rasakan saat ini membuat semuanya terasa salah di matanya.   Kafka terus menggenggam erat tangan Ava. Tidak melepaskannya sedetik pun saat barankar berjalan menyusuri lorong panjang rumah sakit. Sebuah ruangan sudah menyambut mereka, Kafka terus melangkah ingin turut masuk bermaksud menemani perempuan yang dicintai. Namun, seorang perawat wanita mencegahnya.  
Baca selengkapnya

65. Pilu

65. Pilu   ***   Kafka memegang erat tangan Ava yang masih terlelap. Beberapa saat lalu dokter harus menyuntikkan obat penenang untuk perempuan ini Karena di saat pertama kali sadar, Ava menanyakan keberadaan anaknya yang tidak lagi dapat dirasa dalam perutnya.   Tentulah kabar yang diberikan dokter membuat Ava mengamuk. Perempuan itu syok tentunya. Merasa tidak terima, kecewa dan marah pada dirinya sendiri hingga ia menyakiti tubuhnya.   Kafka semakin merasa tidak berdaya. Merasa semakin tidak berguna saat melihat keadaan Ava. Belum bisa dirinya mewujudkan kebahagiaan yang ia inginkan bersama Ava, semua musibah harus datang menerpa.  
Baca selengkapnya

66. Pelajaran

66. Pelajaran ***   Kafka menutup pintu ruangan Ava ketika ia ingin menerima sebuah panggilan. Ia menatap dalam sebuah nama yang tertera pada layar benda pipih di tangannya. Digesernya warna hijau lalu mendekatkan ponsel pada telinga. "Bagaimana?" tanyanya ketika panggilan tersebut telah tersambung. Ia dengarkan dengan saksama penjelasan dari seseorang. "Baik. Aku akan segera ke sana." Ia memegang erat ponsel di tangannya, memandang ke depan dengan tatapan amarah. Seperti ada sesuatu yang sangat ingin ia tuntaskan. "Sebentar lagi." Memasuki kamar rawat Ava, Kafka bermaksud untuk berpamitan pada perempuan yang ia cintai. *** Kafka memarkirkan mobilnya di rumah tua yang tidak terpakai, terbengkalai karena yang punya meninggalkannya begitu saja. Ia menatap bangunan yang tampak kotor di mana tanaman merambat seolah menutupi beton yang ber
Baca selengkapnya

67. Pergi

67. Pergi *** Seorang wanita paruh baya tengah menangis tergugu di dekapan sang suami. Pasangan suami istri itu menatap sedih keadaan putri mereka yang terbaring lemah di salah satu kamar rumah sakit.  Kondisi putrinya sungguh memprihatinkan. Luka sayatan di wajah dan lengan tangannya meninggalkan bekas yang sangat kentara. Keluarga ini pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang mereka ingat, mereka mendengar teriakan putri mereka di tengah malam. Saat mereka menghampiri putrinya, mereka menemukan keadaan putri mereka dengan luka di sekujur tubuh. “Pa, sebenarnya apa yang terjadi dengan putri kita?” tanya wanita paruh baya itu pada sang suami. Wajahnya sembab dipenuhi air mata. Kulit putih kini sudah memerah akibat terlalu banyak tangis yang dikeluarkan. “Papa juga tidak tahu, Ma.” Keduanya kembali menatap nanar putri mereka yang masih belum sadarkan diri.  Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat tiga ora
Baca selengkapnya

68. Penyatuan

68. Penyatuan *** "Apa?" tanya Kafka dengan teriakkan. Membuat Yarendra dan Desi terkejut. "Kamu ini, bisa tidak, sih, tidak usah pakai teriak, Kaf?" peringat Desi pada Kafka. "Ava mau apa ke Bali, Pa?" "Papa tidak tahu, Kafka." Kafka berdecak. Tanpa kata, ia berlari keluar untuk pergi ke apartemen Ava. *** Ava memasukkan baju-baju pada kopernya. Semua barang-barang yang ia butuhkan sudah ia kirimkan terlebih dahulu. Agar memudahkan dirinya di perjalanan. Gebrakan pintu yang terbuka secara kasar membuat ia terkejut. Ava menghela nafas kala ia melihat siapa pelakunya. "Kafka, kamu membuat aku terkejut," gerutu Ava. Tanpa kata, Kafka mendekati Ava dan mengeluarkan semua baju-baju Ava yang telah susah payah Ava tata dengan rapi di dalam koper. "Kafka, kamu apa-apaan?" Masih den
Baca selengkapnya

69. Berangkat

69. Berangkat*** Kafka menarik koper milik Ava saat keduanya memasuki bandara Juanda Surabaya. Tangan kanannya memeluk pinggang Ava erat seolah menyalurkan ketidakrelaan akan kepergian perempuan yang ia cintai. Keberangkatan Ava ke Bali masih tiga puluh menit lagi. Keduanya memutuskan untuk duduk santai sembari menikmati kudapan di salah satu kafe yang ada. "Dua coffee dan dua cake coklat," ucap Kafka pada pelayan kafe. Pandangan Kafka beralih pada Ava kembali. Tangan kanannya menggenggam erat tangan Ava, meremasnya lembut. "Berjanjilah, cepat kembali." Ava memang tidak menjawab, tetapi balasan sebuah senyuman cukup baginya. Senyum yang selalu membuat dirinya merasa tenang. Satu tangan Ava yang bebas dari genggamannya bergerak menumpu pada tangan kanannya. "Kamu, jangan lagi suka melawan apa maunya
Baca selengkapnya

70. Tiba

70. Tiba *** Pesawat sudah mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional Los Angeles. Ava menatap benda yang melingkari pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 6 sore. Hampir dua puluh empat jam ia melakukan penerbangan dari Surabaya ke salah satu kota yang ada di Negeri Adidaya ini. Tentu kalian tahu siapa yang membuat Ava menginjakkan kaki di tempat ini. Tentunya Resty sang sahabat. Ave mengembuskan napas kasar, lelah merayapi tubuhnya. Setelah dua kali transit di singapura dan Taipe, lalu penerbangan panjang tiga belas jam menuju tempat tujuan cukup menguras tenaganya. Ia menatap sekitar di mana para penumpang lain bersiap-siap untuk turun. Ava pun bangkit, meraih tas yang ada di bagian atas kepala lalu mengeluarkan mantel tebal. Resty memberitahunya kalau ia harus mengenakan pakaian itu sebelum keluar dari pesawat.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status