Home / Romansa / Menjadikanmu Milikku / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Menjadikanmu Milikku: Chapter 31 - Chapter 40

96 Chapters

30. Permintaan Desi

30. Permintaan Desi *** Zizi dan Desi sama-sama menoleh. Menatap seorang pemuda memakai kaus berwarna hitam dengan lambang bintang di bagian dada. Pelayan kafe ini. Pemuda dengan kulit putih itu meletakkan kue pesanan mereka. "Lalu, apa hubungannya dengan Tasya, Tan? tanya Zizi setelah pelayan kafe berlalu dari sana. Desi tersenyum, gerakannya memotong kue berhenti. Zizi dapat melihat pancaran kebahagiaan di wajah perempuan paruh baya itu. "Seperti yang dulu pernah Tante katakan. Kalau Tante ingin menjodohkan Zizi dengan Rasya," jelasnya dengan senyuman. Zizi mengerti sekarang. "Itu kenapa Tante minta kamu menghubungi sahabat kamu itu untuk datang ke sini." "Oke-oke. Zizi mengerti maksud Tante." Gerakan tangan Desi yang mengangkat cangkir dan diarahkan padanya cukup mampu Zizi pahami tampan kata, ia pun turut meraih cangkir minuman
Read more

31. Penyiksaan

31. Penyiksaan ***   Suara ketukan pintu terdengar. Fokus Ava yang sebelumnya pada laptop di hadapannya teralihkan. "Masuk!" Teriaknya pada seseorang di luar pintu.   Tanpa menunggu mengetahui siapa yang mengetuk pintu, Ava kembali mengalihkan pandangan pada layar persegi di hadapannya. Jari lentik bergerak lincah di atas keyboard.   Merasa seseorang berdiri di depan mejanya, Ava mendongak. Ia melempar senyum tipis pada perempuan berambut cokelat yang merupakan salah satu pegawai barunya. "Ada apa?" tanyanya kemudian.   "Ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan Mbak Ava," jelasnya pada Ava.  
Read more

32. Maaf

32. Maaf *** Setelah beberapa saat menangis dalam pelukannya, suara isakkan tidak lagi terdengar dari Clara. Sepertinya perempuan itu sudah merasa baikan. "Sudah tenang?" tanya Ava yang dijawab sebuah anggukan. Pelukan mereka terlepas. Ava memandang wajah sahabatnya yang tampak kacau Ajibata tangis. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan sang sahabat. "Jadi, Andi sudah pindah ke Jepang sejak sebulan lalu?" Ava membuka percakapan. Clara mengangguk. Tangan kanannya terangkat untuk membersihkan jejak air mata di pipi. "Kurang lebih segitu." "Sejak saat itu apa kalian tidak pernah lagi berkomunikasi?" Clara menggeleng. Ava hanya bisa menghela napas dalam. "Lalu bagaimana bisa kamu secepat itu menemukan pengganti Andi?" "Waktu itu aku sedang sendirian di cafe. Tiba-tiba seorang pria lewat dan tidak sengaja menumpahkan minumannya pad
Read more

33. Kekesalan Kafka

33. Kekesalan Kafka ***   Seperti biasa, Kafka selalu memasuki apartemen Ziqry tanpa permisi. Apalagi kali ini ia datang dengan membanting pintu secara kasar, membuat si empunya terkejut dan berjingkat di sofa. Tidak memedulikan tatapan Ziqry yang penuh kebingungan ia membanting tubuh pada sofa tepat di samping sang sahabat. Ziqry berkomentar, "Kau kenapa? Datang-datang membuat orang jantungan saja. Bisa tidak kalau datang dengan cara yang biasa saja?" maki pria dengan celana tanpa kaus itu pada Kafka. Kafka melirik tajam pada keberadaan Ziqry, ia mengembuskan napas dalam sebelum bercerita, "Aku kira Ava dan kakakku akan bercerai karena masalah kemarin. Tapi hari ini, aku melihat Rasya meminta maaf pada Ava yang berakhir mereka di atas ranjang," jelasnya. "Sialan," umpatnya, "bahkan aku harus meliha
Read more

34. Rencana Liburan

34. Rencana Liburan *** Kafka menatap Ava yang menangis di bawahnya. Ia menarik napas dalam dan bangkit dari atas tubuh ringkih itu. Duduk di ranjang pada kamar ruangan Ava di toko. Niat hati ingin menyatukan tubuh mereka kini hilang sudah akibat rasa tidak tega. Kafka meraup kasar wajahnya, menyesali apa yang ia lakukan. Hampir saja dirinya melecehkan Ava. Hal ini pernah ia lakukan beberapa waktu lalu. Sebesar ini cintanya pada perempuan itu yang membuat dirinya buta. Beruntung ia kali ini disadarkan kembali. "Maafkan aku, Va. Aku hanya terlalu mencintai kamu sampai aku lepas kontrol seperti ini. Aku sudah merasa frustrasi untuk mendapatkan kamu." Tidak ada jawaban dari Ava, hanya ada suara Isak tangis yang terdengar. Menghela napas dalam kembali, ia menoleh, menatap Ava yang masih meringkuk d
Read more

35. Ajakan Desi

35. Ajakan Desi ***   Berdiri di balkon kamar, Tasya memandang ke arah depan. Tangan kanan terlipat memeluk perut sebagai penyangga tangan kiri yang kini sedang menerima panggilan. Terkadang, ia harus berjalan ke sana kemari saat mendengar serentetan perkataan seseorang di seberang sana. "Pokoknya kamu besok harus ikut, ya?" Ingatkah kalian dengan acara keluarga Yarendra yang akan pergi berlibur? Di seberang sana Desi tengah membujuk Tasya agar mau untuk ikut. "Tapi, Tan? Apa boleh Tasya ikut acara keluarga Tante. Itu, kan acara keluarga? Tasya hanya orang luar." "E. Kata siapa kamu orang luar. Kamu itu Tante jodohkan dengan Rasya. Dengan kata lain calon istri Rasya. Bukan orang luar, Sayang." Desi memotong ucapannya. "Tante. Tante serius soal itu? Rasya masih mempunyai
Read more

36. Puncak

36. Puncak *** Dua mobil Audy dan satu mini kooper telah terparkir rapi di depan sebuah villa yang terlihat megah. Dua sosok pria dewasa mengait pinggang wanita di sampingnya mesra setelah mengeluarkan barang bawaannya dari bagasi mobil. Akan tetapi, seorang pria tampan dengan wajah datar menatap bangunan di hadapannya. Ia menoleh ke arah sang papa lalu bertanya, "Kenapa musti di sini. Di Malang, kan juga banyak tempat seperti ini?' Yarendra terkekeh mendengar pertanyaan putra bungsunya. "Sekali-kali Papa ingin keluar dari tempat tinggal Papa." Kening Kafka terlipat, satu alisnya menukik tajam. "Kenapa tidak sekalian pergi ke luar negri?" dengusnya. Tanpa memedulikan sekitar ia melenggang begitu saja memasuki villa dengan menarik koper menggunakan tangan kanan. Tidak menghiraukan seorang wanita yang sedari
Read more

37. Kebun Teh

37. Kebun Teh *** Menggunakan celana selutut dan tubuh dalam keadaan topless, Kafka menggosok rambut basah setelah mandi dengan handuknya. Berjalan kearah jendela guna melihat pemandangan dari dalam kamar. "Indah," ucapnya dengan wajah datar. Sesaat kemudian wajah itu berubah menjadi mimik sendu. "Andai saja Ava menjadi milikku, mungkin saat ini kami tengah bahagia menikmati pemandangan ini," ucapnya dengan penuh harapan. Ya. Kafka membayangkan seandainya saat ini Ava menjadi istrinya. Duduk pada sofa menikmati pemandangan perkebunan melalui jendela kamar. Dengan Ava yang duduk mesra di atas pangkuan, tidak lupa juga pelukan posesif yang ia daratkan pada perut perempuan itu. Juga dagu yang ia tumpukan pada pundak mulusnya. "Hufffh." Kafka mengembuskan napas secara kasar setelah ia menghirupnya dalam. P
Read more

38. Pengakuan

38. Pengakuan *** "Aa." Gerakan tidak terduga dari Kafka yang menyeretnya begitu saja membuat Ava terkejut. Dengan langkah susah ia menggerakkan kakinya, mencoba untuk menendang pria itu. Namun, cengkeraman tangan Kafka begitu kuat, cukup membuat Ava merasakan nyeri pada tangannya. "Sakit. Kafka lepas." Ava memukul tangan kekar yang menggenggam tangannya. Berharap pria itu mau melepaskan cengkeramannya. Hanya saja apa yang dilakukannya tentu saja tidak akan membuahkan hasil sama sekali melihat betapa kuatnya cengkeraman itu. Ava semakin dilanda ketakutan, sekelebat bayangan beberapa waktu lalu kembali melintas. Bagaimana jika kali ini Kafka benar-benar melakukannya? Ah. Siapa yang bisa menebak pria di depannya saat ini, karena Kafka yang sekarang bukanlah sosok yang dulu ia kenal. Setidaknya itulah yang Ava rasa saat ini. "Kafka le
Read more

39. Takut

39. Takut *** Tasya memijit keningnya setelah ia keluar dari ruangan pemeriksaan, pusing masih sedikit melanda meski tidak separah sebelumnya. Tadi pagi, entah kenapa kepalanya mendadak sakit tidak tertahankan, sehingga bangkit rasanya susah. Itu pula yang membuat dirinya urung menuruti permintaan Tante Desi. Entah apa yang terjadi, pusing membuat dirinya seperti diputar-putar. Beruntunglah Revan yang berkunjung sebelum berangkat tadi pagi, dan lebih bersyukur lagi pria itu mau membawanya ke rumah sakit. "Coba batasi dulu aktifitas kamu, ganti dengan olahraga atau yoga. Biar fit tubuhnya," ucap Revan yang kini menuntun dirinya dari samping. Tasya tidak dapat membatah perkataan itu karena apa yang diucapkan Revan ada benarnya. Ya, dokter mengatakan kalau dirinya kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Mungkin benar dia butuh istirahat.
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status