Semua Bab Gadis Penari Sang Presdir: Bab 61 - Bab 70

298 Bab

61. Dua Belahan Dunia

Thomas memang bajingan dalam urusan menjadi partner dominan. Awalnya Danielle hanya sedikit menginginkan, tapi lama kelamaan, teknik bercinta ini semakin dinikmatinya. Pemberian Thomas padanya pun tidak sedikit. Walau selalu babak belur tiap kali habis bercinta, Danielle bisa mencairkan cek dalam jumlah besar keesokan harinya. Dalam setiap percintaan, Danielle selalu kalah telak dari Thomas. Entah berapa dosis obat kuat yang diminum pria itu. Yang jelas, Thomas bisa menyiksanya dari sore hingga tengah malam. “Oh, lihat! Lututmu bergetar!” pekik Thomas kesenangan. Payudara Danielle begitu bengkak sehingga dia bisa merasakan denyut nadinya di sana. Putingnya menegang dan terasa sakit. Ingin mendapat perhatian lebih. Dan bagian kewanitaannya terasa lebih parah lagi. Berdenyut hebat, namun Thomas menghunjamnya di bagian lain. Lututnya menghantam tepi ranjang berkali-kali. Danielle ingin mengusap inti tubuhny
Baca selengkapnya

62. Usahaku

“Ngapain, sih, tidur di sini?” ucap Sahara, menatap wajah Roy lekat-lekat. Cahaya lampu kamar masih terang-benderang. Tak ada yang terpikir untuk menyetelnya ke lampu tidur sebelum berbaring nyenyak di ranjang kemarin malam. Melihat Roy tak bereaksi dengan kata-katanya, Sahara menyelipkan satu tangan menjadi bantal dan melanjutkan pengamatannya. “Dia kira dengan tidur di dekatku, itu bakal buat aku berubah pikiran. Jangan harap,” dengus Sahara. Roy bergeming dan berusaha untuk tak membuka mata. Dia ingin mendengar gadis itu mengomelinya beberapa saat. “Siang ini aku akan membereskan semua pakaianku dan pergi dari sini. Tunggu aja surat gugatan cerai yang bakal aku layangkan. Mmmm … tapi kayanya aku perlu cek dulu. Apa pernikahan itu pernah ada atau enggak. Bisa aja itu cuma akal-akalan kalian menipuku. Aku—” Roy membuka mata dan menarik pinggang Sahara
Baca selengkapnya

63. Mengikuti Maumu

Gadis itu berkali-kali menyiratkan perkataan soal rumah tangga sebenarnya. Soal perasaannya yang kemarin baru dimulai dan sekarang dihentikannya kembali.   Awal memikirkan soal memperistri Sahara, Roy menyangka akan bertemu dengan gadis yang keras kepala namun mudah diluluhkan. Dan nyatanya … benar. Sahara mudah diluluhkan, tapi juga mudah kembali keras membeku. Ciri khas remaja yang sedang mencari jati dirinya.   “Kamu tunggu sampai aku selesai rapat investor. Tak akan lama,” ucap Roy.   Sahara menekuk wajahnya memandang keluar jendela mobil. “Aku pasti bosen,” sahut Sahara dengan nada tak bersemangat.   “Tunggu di ruanganku. Hari ini biarkan Rini mengerjakan pekerjaan kantornya yang menumpuk. Dia sudah digaji mahal,” tambah Roy.   Di jok depan, Rini mendengus saat mendengar hal itu.   Itu kali pertama Sahara memasuki kantor The Smith’s Project. Selama ini,
Baca selengkapnya

64. Menemaniku

Roy melepaskan ciumannya dari Sahara. Menatap mata gadis itu, seraya mengusap bagian bawah bibirnya sendiri. “Oke, aku keluar dulu.” Ciuman itu cukup membuat Roy meremang. Beberapa saat yang lalu, ingin rasanya dia mengangkat Sahara dan mendudukkannya ke atas meja. Menuntaskan satu quickie mungkin bisa mendongkrak mood-nya pagi itu. Roy keluar ruangan dengan senyuman nakal atas pikirannya tersebut. “Pak,” sapa Irma di luar pintu. “Oh, kamu masih menunggu. Kupikir kamu langsung menuju ruang rapat,” ucap Roy melanjutkan langkahnya. “Saya mau menyampaikan ini.” Irma menjajari langkah Roy sambil menyodorkan kertas. Roy membaca kertas itu dengan teliti, lalu tersenyum. “Panggil legal staff ke ruang rapat. Minta mereka mengurus pendirian empat perusahaan baru. Aku semakin tak sabar,” ujar Roy, menuju ruang ra
Baca selengkapnya

65. Yang Kurasakan

Roy merasa wajah Sahara sedikit berbeda dengan saat dia tinggalkan tadi. Saat berangkat tadi, gadis itu memang masih cemberut. Tapi kekesalannya hanya tersisa sedikit. Namun kini mata indah itu kembali memandangnya dengan kilat amarah.   Apa sesulit ini memiliki seorang istri? Roy mengatur mimik wajahnya seramah mungkin. Sedikit mengisyaratkan pada Sahara kalau mereka sedang berada di depan para rekan bisnisnya. Tak ingin semua pria di hadapannya berjabat tangan dengan Sahara, Roy langsung berpamitan.   "Baiklah, karena hari ini kita semua pasti sama sibuknya. Saya pamit untuk berangkat lebih dulu. Pagi tadi saya sudah menjanjikan sesuatu pada istri saya. Dan kalian pasti tahu, kalau aku tak mau menerima akibat amarahnya.” Roy terkekeh.   Semua pria yang berada di sana mengangguk setuju. Roy mengangguk dan mendahului para rekan bisnisnya. Irma bersama dua orang legal staff menaiki lift utama untuk mengantarkan semua tamu
Baca selengkapnya

66. Permainanku

Di belahan dunia lain. Thomas terbangun dari tidurnya karena suara telepon. Telepon dari Edward yang tidak pernah melihat jam saat menelepon. Masih sangat pagi.   “Berita yang kau sampaikan harus penting,” geram Thomas di telepon.   “Sangat penting,” sahut Edward di seberang. “Aku sudah rapat bersama dengan para petinggi perusahaanmu di Indonesia. Spencer Hotel & Apartemen sepertinya collapse. Sangat berat untuk bertahan. Ada dua perusahaan yang awalnya menawarkan untuk proses akuisisi. Aku sudah cukup lega. Tapi dua perusahaan itu tiba-tiba membatalkan. Katanya hotel itu terlalu ketinggalan zaman dan manajemennya buruk. Dan kau tak mau melakukan penyuntikan menambah investasi,” jelas Edward.   “Bagaimana aku mau menambah investasi ke sana kalau aku tidak bisa memasuki negara itu?” geram Thomas.   “Ada satu perusahaan yang menawarkan untuk membeli hotel itu. Tapi harganya sangat rendah.
Baca selengkapnya

67. Ketika Semuanya Dimulai

“Pak, Bu Irma baru saja mengirim email dan memberitahu kalau empat perusahaan baru sudah berdiri. Kita juga sudah memasukkan penawaran sesuai angka yang Bapak berikan.” Novan berbicara di depan pintu mobil yang baru dibukanya untuk Roy.   “Irma selalu cekatan,” sahut Roy sedikit tercenung. “Malam nanti kita pasti sudah menerima berita. Aku akan memainkan pion catur dari rumah. Aku masuk ke dalam dulu, Novan. Terima kasih kabar baiknya.” Roy menggandeng Sahara masuk ke lobi mall.   “Om yakin mau nonton?” tanya Sahara sedikit tak yakin.   “Kenapa? Kamu mau kita pulang saja dan bercumbu? Aku memang lebih suka hal itu,” jawab Roy tersenyum.   Sahara berdecak.   Roy tertawa, lalu memeluk pinggang Sahara. “Hari ini aku akan menemanimu ke mana pun. Aku sedang menebus kesalahanku. Aku juga mau sepulang dari sini, kita singgah di toko bunga dan meletakkan buket di makam pengasuhm
Baca selengkapnya

68. Kemajuan Rencanaku

Di Indonesia sudah malam hari. Roy menggunakan piyama suteranya dan duduk menyilangkan tangan di depan dada. Sebuah kursi besi yang ditempatinya sesekali berputar saat pikirannya sedang berkerja.   Rencana untuk mengambil alih hotel milik keluarga Spencer sudah disusunnya selama tiga tahun terakhir. Di masa kejayaannya, hotel itu adalah hotel bintang lima terbesar di lokasi emas dekat pantai. Dulunya orang memerlukan waktu jauh-jauh hari untuk bisa mendapatkan kamar di hotel yang bertuliskan nama Spencer sangat besar di puncaknya itu.   Selama menjalankan rencananya, Roy memasukkan orang-orangnya untuk menggantikan manajemen lama, satu-persatu. Posisi pertama yang menjadi targetnya saat itu adalah bagian personalia.   Thomas yang tidak pernah lagi berani menginjak Indonesia, lengah akan kontrolnya pada hotel itu. Di lain sisi, Roy memang tidak tahu siapa-siapa saja yang dikirim oleh Thomas untuk mengawasi perusahaannya.
Baca selengkapnya

69. Obrolan Kita

Sudah pukul sepuluh malam. Harusnya Sahara sudah makan, pikir Roy. Gadis itu masih merajuk dan tololnya, dia juga lupa menanyakan soal makan malam karena terlalu antusias menghadapi Thomas. Dia lagi-lagi mengabaikan Sahara. Oh, tidak. Ini bukan mengabaikan, batinnya. Lebih tepatnya menunda untuk mempedulikan gadis itu.   Apa Sahara sudah tidur? Kenapa pesannya belum juga dibalas? Roy turun dari ruang kerjanya dan menyeberang ruangan menuju tangga kamar Sahara.   Pintu kamar gadis itu tertutup. “Sahara,” panggil Roy. Dia mengetuk dua kali. Tak ada sahutan. Kemarin-kemarin rasanya dia biasa-biasa saja saat menerobos masuk ke sana. Entah kenapa sekarang dia merasa sedikit lancang, kalau melakukan hal itu.   Roy mendekatkan telinganya ke pintu dan tak mendengar apa pun dari dalam. Dia memutar handle dan mendorong pintu kamar. Ternyata kosong.   “Rara,” panggil Roy, menjengukkan kepalanya ke dala
Baca selengkapnya

70. Mendekatimu

“Sekarang … aku sudah boleh menciummu?” Roy menyentuhkan hidung mereka.   Sahara memalingkan wajahnya untuk kembali menatap dua potong brownies. Dari sudut matanya, dia bisa melihat kalau Roy belum memalingkan wajah.    “Aku ngantuk, mau tidur.” Sahara menggeser duduknya, namun belum beranjak.   “Oh, mengantuk?” Roy menatap Sahara dengan tatapan kecewa. Ternyata sulit sekali menjinakkan gadis itu. Dia kembali menghela napas dan melempar pandangan ke seberang dapur. Di sana tergantung lukisan murah yang dibelinya dari seorang pelukis jalanan di Italia.   Sahara kembali mencuri pandang pada Roy. Membiarkan tatapannya naik perlahan-lahan dari kerah piyama dan berhenti di rahang tegas yang ditutupi bayangan gelap bekas bercukur. Beberapa waktu lalu, dia mengingat penampilan Roy yang sangat keras dengan sorot mata yang menatapnya sinis.   Malam itu, dia menangkap profil Roy di ba
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
30
DMCA.com Protection Status