Home / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Gadis Penari Sang Presdir: Chapter 81 - Chapter 90

298 Chapters

81. Kekhawatiranku

“Ini foto yang Anda minta, Pak.” Novan berdiri di sisi kiri Roy dan menyodorkan bingkai foto besar yang dibawanya dari kamar Rini. Roy menoleh pada suara langkah kaki yang datang mendekat. Sahara baru turun dari kamar. Gadis itu kembali mengenakan pakaian casual. Blus ketat dengan jaket jeans di atasnya. Juga celana panjang yang membuat Sahara terlihat seperti ABG. “Selamat pagi, Pak Novan,” sapa Sahara dengan ceria. Sudut matanya sempat melirik sekilas pada Roy yang sedang memperhatikannya. “Fotonya sudah selesai dicetak. Mau ditaruh di mana?” tanya Roy, memandang Sahara. Tangannya mengangkat tepian bingkai foto itu demi menunjukkan hal yang dibicarakannya. “Oh, udah selesai? Aku mau liat,” ucap Sahara, memutari meja makan dan berhenti di sebelah Roy. Dia lalu sedikit berjongkok memandang foto pernikahannya. “Mau ditaruh di m
Read more

82. Pengakuan itu

“Kenapa bukan Rini yang memberi kabar? Kenapa bukan Sahara? Mereka punya ponsel. Harusnya mereka bisa mengabariku langsung.” Novan meracau seperti orang linglung. “Setidaknya kau bisa diam di belakang sana. Jangan buat kepalaku meledak. Harus cepat—kita harus cepat tiba di sana,” gumam Roy, memandang spion kanan dan kiri bergantian agar bisa cepat menerobos jalanan. Roy memotong kendaraan di depannya secepat yang bisa dia lakukan. Matanya dengan gesit berpindah antara ponsel yang dicampakkannya ke jok dan jalanan di depan. “Novan!” teriak Roy. “Sadar!” Sepuluh menit lagi kita sampai,” seru Roy menoleh ke belakang sekilas. Novan menegakkan tubuhnya. Sesaat tadi perutnya mual. Membayangkan mobil sedan ditabrak truk trailer yang rodanya bahkan tak bisa dihitung. Suara pengemudi tadi … suara pengemudi tadi terdengar sangat lemah. Bagaiman
Read more

83. Menunggumu

Perjalanan yang ditunggu memang selalu terasa sangat lama. Biasanya jalan tol tak sepadat itu. Kendaraan tidak seramai itu. Hari itu semuanya terasa salah bagi Roy. Sudah tak terhitung berapa kali Roy mengendurkan dasi yang semakin lama terasa semakin mencekiknya. Mengingat bagian belakang mobil yang ringsek dan Sahara duduk di bagian itu, Roy tak berani membayangkan luka apa yang diderita gadis itu. Apa ini Thomas? Apa lawan bisnisnya yang lain? Mata Roy memerah karena amarah dan luka di hatinya seakan kembali dikupas. Kalau terjadi sesuatu pada Sahara, apa pun sesuatu itu, dia akan ikut mati. Dia pasti akan mati. Keringat terasa mengaliri punggungnya. Perut yang sudah lama tak dirasanya mual, terasa kembali bergejolak. Papan nama rumah sakit besar terlihat di kejauhan. Roy menekan pedal gas dalam-dalam. Menit berikutnya dia sudah melompat dari mobil dan berteriak di depan Instalasi Gawat Darurat. &
Read more

84. Arti Dirimu

Roy meninggalkan lorong ruang operasi masih sambil melihat ponselnya. Berita yang diterimanya beberapa saat yang lalu, supir asli truk itu ditemukan tak sadarkan diri tak jauh dari tempat pengisian bahan bakar di ruas jalan tol yang sama. Sedangkan supir palsu suruhan yang telah mencelakai banyak orang, segera melarikan diri sesaat menabrak sedan hitam yang ditumpangi Sahara dan Rini. Sudah jelas, seseorang pasti menjemputnya usai kecelakaan itu dengan kendaraan berbeda. Eksekutornya ada tiga orang. Pengemudi truk, dan dua orang pengemudi ambulans palsu yang juga melarikan diri. Tak perlu waktu lama. Staf khusus yang memang sudah lama dibentuk Roy di bawah perusahaannya menemukan ke mana supir truk palsu itu. Staf khusus berhasil melihat kamera pengawas cctv di pintu masuk tol yang memuat mobil SUV hitam yang mengikuti truk trailer dengan jarak cukup dekat. “Lokasi minum-minum di pinggiran kota?” gumam Roy, m
Read more

85. Aku Di Sini

“Apa yang dikatakan Irma, Van? Dia sudah bangun? Bagaimana keadaannya?” Roy bertanya membabi-buta saat masuk ke dalam mobil. “Sahara belum bangun. Dia sedang berada di ruang pemulihan. Saya akan menuju rumah sakit secepat mungkin. Tapi sesudah itu saya minta izin mendampingi Rini. Saya juga mau ke rumah sakit. Pagi tadi saya baru melamarnya, Pak,” ucap Novan tanpa menoleh. Dia berharap Roy tidak terlalu menunjukkan keterkejutan. “Kamu baru melamarnya? Dampingi dia Novan, dampingi dia.” Roy kembali menatap jalan di depannya. Apa yang harus diucapkannya pada Novan? Selamat? Rasanya ucapan itu kurang berempati saat-saat ini. Novan baru melamar kekasihnya dan kekasihnya langsung kecelakaan beberapa saat kemudian. Jangan sampai Novan memiliki kisah percintaan semiris yang dia alami. “Terima kasih, Pak. Untuk asisten merangkap ajudan Anda, saya sudah memilihnya. Mu
Read more

86. Semuanya Hanya Untukmu

“Jangan duduk. Kakimu … patah. Kamu baru selesai operasi dan itu efek bius. Dokter akan menjelaskannya,” ucap Roy, menahan lengan Sahara agar kembali berbaring. “Dok?” tanya Sahara pada Dokter yang masih berdiri di dekat kakinya. “Iya, benar. Kakinya masih dalam pengaruh bius. Patah tulang bisa disembuhkan. Usia muda membuat patah tulang lebih cepat pulih. Jangan khawatir,” ucap Dokter tersenyum. Sahara lega mendengar hal yang dikatakan dokter padanya. Tapi wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. Dokter berlalu dari ruangan itu setelah kembali mengangguk pada Sahara. “Kakiku patah dan dioperasi," gumam Sahara. Dia kembali merebahkan kepalanya di bantal. Roy belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menghibur Sahara. Dia melihat gadis itu meraba-raba lengannya yang diplaster di beberapa tempat. Roy menangkap tangan Sahara dan
Read more

87. Katanya Aku Sangat Baik

Roy baru meletakkan sendok dan garpunya di atas nampan. Dia melihat Sahara menggerakkan kepala. Setelah menekan tombol memanggil perawat, Roy kembali duduk di sisi kanan Sahara. “Om lagi apa? Kayanya aku bangun kesiangan,” ucap Sahara. “Aku baru selesai makan,” sahut Roy. Sahara sedikit mengangkat kepalanya untuk menoleh meja makan yang letaknya sejajar dengan ranjang rumah sakit. “Om belum selesai makan. Lanjutkan aja,” kata Sahara. Suara ketukan pintu lalu terdengar dan dua orang perawat masuk ke kamar. Salah seorangnya membawa seragam rumah sakit. “Aku ganti pakaian dulu. Om di luar aja,” pinta Sahara, mendorong lengan Roy agar menjauhi ranjangnya. Roy mengernyit dan wajahnya terlihat tersinggung. “Kenapa aku harus di luar? Aku bisa mengganti pakaianmu. Sama saja, kan?” tanya Roy, memandang dua pe
Read more

88. Rindu Menyentuhmu

“Diletakkan di mana, Pak?” tanya Irma seraya mengangkat tas laptop ke arah Roy.   “Setting meja kerjaku di sana,” jawab Roy, menunjuk satu set sofa di sudut ruangan.   Irma langsung pergi ke sudut ruangan. Novan mengikutinya dan merapikan letak meja yang akan dijadikan Roy meja kerjanya sementara.   “Kapan rapat dengan manajemen rumah sakit? Apa hari ini?” tanya Novan pada Irma.   “Aku udah menjadwalkan telekonferensi. Kalau untuk rapat langsung kayanya sulit.” Irma berkata dengan nada rendah sambil menoleh pada Roy yang tengah mendengarkan Sahara bercerita.   “Iya. Kayanya memang sulit. Pak Roy belum ada beranjak dari sebelah istrinya sejak pagi tadi.” Novan menyambungkan charger laptop agar bisa dipergunakan Roy kapan saja.   “Gimana kabar Rini?” tanya Irma. “Kudengar dia gegar otak ringan. Kuharap dia lekas pulih,” sambung Irma seraya duduk di sofa untuk m
Read more

89. Melepas Rinduku

“Om, Miss Rini udah pulang ke rumah tiga hari yang lalu. Aku kapan? Hari ini, kan? Aku bosan di sini,” kata Sahara. “Aku sudah mengatakannya pada Dokter. Sabar. Sebentar lagi mungkin Dokter akan datang untuk visit. Sekarang, minum ini.” Roy menyodorkan wadah plastik kecil berisi empat butir obat yang harus diminum Sahara pagi itu. Dan benar apa yang dikatakan Roy tadi, Dokter datang pukul sebelas siang dan memastikan kalau semuanya baik-baik saja. Sahara harus menghabiskan sisa obatnya dan pergi ke rumah sakit seminggu sekali untuk mengecek keadaan kakinya. Roy meminta dokter untuk melepaskan pen saat tulang kaki Sahara kembali ke posisinya. Dia tak mau plat besi itu berada dalam tubuh Sahara selamanya. “Akhirnya aku bisa pulang,” kata Sahara saat Roy mendorongnya dengan kursi roda ke mobil. “Kamu senang?” tanya Roy tersenyum di balik tubuh istrinya.
Read more

90. Hangat Napasmu

“Padahal pertanyaanku belum selesai,” erang Sahara, mencengkeram erat leher Roy. Dia merasakan ciuman Roy berpindah mengecup bahunya. Lalu bergeser menjelajahi lehernya. Seperti ingin mempermainkannya, Roy lalu menegakkan tubuh untuk memandangnya lekat-lekat.   “Aku akan menjawab semua pertanyaanmu nanti,” ucap Roy sambil kembali mengusapkan ibu jarinya ke puncak dada Sahara.   Tubuh Sahara seketika menegang. Dia berusaha untuk tak memandangi Roy, tapi yang bisa dilakukannya hanyalah menghindari kontak mata langsung. Pandangannya malah terpaku pada sudut kuat rahang Roy, bibirnya yang sensual dengan bayangan gelap bekas bercukur yang mengelilingi. Kemudian turun ke dada yang terekspos dari celah kerah kemejanya. Juga … bulu dada gelap yang ikal di sana. Sahara menelan ludahnya.   Keheningan canggung menyelimuti mereka sampai akhirnya Roy bersuara, “Seberapa besar kamu mencintaiku? Dan … sejak kapan?”  
Read more
PREV
1
...
7891011
...
30
DMCA.com Protection Status