“Kenapa bukan Rini yang memberi kabar? Kenapa bukan Sahara? Mereka punya ponsel. Harusnya mereka bisa mengabariku langsung.” Novan meracau seperti orang linglung.
“Setidaknya kau bisa diam di belakang sana. Jangan buat kepalaku meledak. Harus cepat—kita harus cepat tiba di sana,” gumam Roy, memandang spion kanan dan kiri bergantian agar bisa cepat menerobos jalanan.
Roy memotong kendaraan di depannya secepat yang bisa dia lakukan. Matanya dengan gesit berpindah antara ponsel yang dicampakkannya ke jok dan jalanan di depan.
“Novan!” teriak Roy. “Sadar!” Sepuluh menit lagi kita sampai,” seru Roy menoleh ke belakang sekilas.
Novan menegakkan tubuhnya. Sesaat tadi perutnya mual. Membayangkan mobil sedan ditabrak truk trailer yang rodanya bahkan tak bisa dihitung. Suara pengemudi tadi … suara pengemudi tadi terdengar sangat lemah. Bagaiman
Perjalanan yang ditunggu memang selalu terasa sangat lama. Biasanya jalan tol tak sepadat itu. Kendaraan tidak seramai itu. Hari itu semuanya terasa salah bagi Roy.Sudah tak terhitung berapa kali Roy mengendurkan dasi yang semakin lama terasa semakin mencekiknya. Mengingat bagian belakang mobil yang ringsek dan Sahara duduk di bagian itu, Roy tak berani membayangkan luka apa yang diderita gadis itu.Apa ini Thomas? Apa lawan bisnisnya yang lain? Mata Roy memerah karena amarah dan luka di hatinya seakan kembali dikupas. Kalau terjadi sesuatu pada Sahara, apa pun sesuatu itu, dia akan ikut mati. Dia pasti akan mati.Keringat terasa mengaliri punggungnya. Perut yang sudah lama tak dirasanya mual, terasa kembali bergejolak. Papan nama rumah sakit besar terlihat di kejauhan. Roy menekan pedal gas dalam-dalam. Menit berikutnya dia sudah melompat dari mobil dan berteriak di depan Instalasi Gawat Darurat.&
Roy meninggalkan lorong ruang operasi masih sambil melihat ponselnya. Berita yang diterimanya beberapa saat yang lalu, supir asli truk itu ditemukan tak sadarkan diri tak jauh dari tempat pengisian bahan bakar di ruas jalan tol yang sama.Sedangkan supir palsu suruhan yang telah mencelakai banyak orang, segera melarikan diri sesaat menabrak sedan hitam yang ditumpangi Sahara dan Rini. Sudah jelas, seseorang pasti menjemputnya usai kecelakaan itu dengan kendaraan berbeda. Eksekutornya ada tiga orang. Pengemudi truk, dan dua orang pengemudi ambulans palsu yang juga melarikan diri.Tak perlu waktu lama. Staf khusus yang memang sudah lama dibentuk Roy di bawah perusahaannya menemukan ke mana supir truk palsu itu. Staf khusus berhasil melihat kamera pengawas cctv di pintu masuk tol yang memuat mobil SUV hitam yang mengikuti truk trailer dengan jarak cukup dekat.“Lokasi minum-minum di pinggiran kota?” gumam Roy, m
“Apa yang dikatakan Irma, Van? Dia sudah bangun? Bagaimana keadaannya?” Roy bertanya membabi-buta saat masuk ke dalam mobil.“Sahara belum bangun. Dia sedang berada di ruang pemulihan. Saya akan menuju rumah sakit secepat mungkin. Tapi sesudah itu saya minta izin mendampingi Rini. Saya juga mau ke rumah sakit. Pagi tadi saya baru melamarnya, Pak,” ucap Novan tanpa menoleh. Dia berharap Roy tidak terlalu menunjukkan keterkejutan.“Kamu baru melamarnya? Dampingi dia Novan, dampingi dia.” Roy kembali menatap jalan di depannya.Apa yang harus diucapkannya pada Novan? Selamat? Rasanya ucapan itu kurang berempati saat-saat ini. Novan baru melamar kekasihnya dan kekasihnya langsung kecelakaan beberapa saat kemudian. Jangan sampai Novan memiliki kisah percintaan semiris yang dia alami.“Terima kasih, Pak. Untuk asisten merangkap ajudan Anda, saya sudah memilihnya. Mu
“Jangan duduk. Kakimu … patah. Kamu baru selesai operasi dan itu efek bius. Dokter akan menjelaskannya,” ucap Roy, menahan lengan Sahara agar kembali berbaring.“Dok?” tanya Sahara pada Dokter yang masih berdiri di dekat kakinya.“Iya, benar. Kakinya masih dalam pengaruh bius. Patah tulang bisa disembuhkan. Usia muda membuat patah tulang lebih cepat pulih. Jangan khawatir,” ucap Dokter tersenyum.Sahara lega mendengar hal yang dikatakan dokter padanya. Tapi wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. Dokter berlalu dari ruangan itu setelah kembali mengangguk pada Sahara.“Kakiku patah dan dioperasi," gumam Sahara. Dia kembali merebahkan kepalanya di bantal.Roy belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menghibur Sahara. Dia melihat gadis itu meraba-raba lengannya yang diplaster di beberapa tempat. Roy menangkap tangan Sahara dan
Roy baru meletakkan sendok dan garpunya di atas nampan. Dia melihat Sahara menggerakkan kepala. Setelah menekan tombol memanggil perawat, Roy kembali duduk di sisi kanan Sahara.“Om lagi apa? Kayanya aku bangun kesiangan,” ucap Sahara.“Aku baru selesai makan,” sahut Roy.Sahara sedikit mengangkat kepalanya untuk menoleh meja makan yang letaknya sejajar dengan ranjang rumah sakit. “Om belum selesai makan. Lanjutkan aja,” kata Sahara.Suara ketukan pintu lalu terdengar dan dua orang perawat masuk ke kamar. Salah seorangnya membawa seragam rumah sakit.“Aku ganti pakaian dulu. Om di luar aja,” pinta Sahara, mendorong lengan Roy agar menjauhi ranjangnya.Roy mengernyit dan wajahnya terlihat tersinggung. “Kenapa aku harus di luar? Aku bisa mengganti pakaianmu. Sama saja, kan?” tanya Roy, memandang dua pe
“Diletakkan di mana, Pak?” tanya Irma seraya mengangkat tas laptop ke arah Roy. “Setting meja kerjaku di sana,” jawab Roy, menunjuk satu set sofa di sudut ruangan. Irma langsung pergi ke sudut ruangan. Novan mengikutinya dan merapikan letak meja yang akan dijadikan Roy meja kerjanya sementara. “Kapan rapat dengan manajemen rumah sakit? Apa hari ini?” tanya Novan pada Irma. “Aku udah menjadwalkan telekonferensi. Kalau untuk rapat langsung kayanya sulit.” Irma berkata dengan nada rendah sambil menoleh pada Roy yang tengah mendengarkan Sahara bercerita. “Iya. Kayanya memang sulit. Pak Roy belum ada beranjak dari sebelah istrinya sejak pagi tadi.” Novan menyambungkan charger laptop agar bisa dipergunakan Roy kapan saja. “Gimana kabar Rini?” tanya Irma. “Kudengar dia gegar otak ringan. Kuharap dia lekas pulih,” sambung Irma seraya duduk di sofa untuk m
“Om, Miss Rini udah pulang ke rumah tiga hari yang lalu. Aku kapan? Hari ini, kan? Aku bosan di sini,” kata Sahara.“Aku sudah mengatakannya pada Dokter. Sabar. Sebentar lagi mungkin Dokter akan datang untuk visit. Sekarang, minum ini.” Roy menyodorkan wadah plastik kecil berisi empat butir obat yang harus diminum Sahara pagi itu.Dan benar apa yang dikatakan Roy tadi, Dokter datang pukul sebelas siang dan memastikan kalau semuanya baik-baik saja. Sahara harus menghabiskan sisa obatnya dan pergi ke rumah sakit seminggu sekali untuk mengecek keadaan kakinya. Roy meminta dokter untuk melepaskan pen saat tulang kaki Sahara kembali ke posisinya. Dia tak mau plat besi itu berada dalam tubuh Sahara selamanya.“Akhirnya aku bisa pulang,” kata Sahara saat Roy mendorongnya dengan kursi roda ke mobil.“Kamu senang?” tanya Roy tersenyum di balik tubuh istrinya.
“Padahal pertanyaanku belum selesai,” erang Sahara, mencengkeram erat leher Roy. Dia merasakan ciuman Roy berpindah mengecup bahunya. Lalu bergeser menjelajahi lehernya. Seperti ingin mempermainkannya, Roy lalu menegakkan tubuh untuk memandangnya lekat-lekat. “Aku akan menjawab semua pertanyaanmu nanti,” ucap Roy sambil kembali mengusapkan ibu jarinya ke puncak dada Sahara. Tubuh Sahara seketika menegang. Dia berusaha untuk tak memandangi Roy, tapi yang bisa dilakukannya hanyalah menghindari kontak mata langsung. Pandangannya malah terpaku pada sudut kuat rahang Roy, bibirnya yang sensual dengan bayangan gelap bekas bercukur yang mengelilingi. Kemudian turun ke dada yang terekspos dari celah kerah kemejanya. Juga … bulu dada gelap yang ikal di sana. Sahara menelan ludahnya. Keheningan canggung menyelimuti mereka sampai akhirnya Roy bersuara, “Seberapa besar kamu mencintaiku? Dan … sejak kapan?”
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov