Roy baru meletakkan sendok dan garpunya di atas nampan. Dia melihat Sahara menggerakkan kepala. Setelah menekan tombol memanggil perawat, Roy kembali duduk di sisi kanan Sahara.
“Om lagi apa? Kayanya aku bangun kesiangan,” ucap Sahara.
“Aku baru selesai makan,” sahut Roy.
Sahara sedikit mengangkat kepalanya untuk menoleh meja makan yang letaknya sejajar dengan ranjang rumah sakit. “Om belum selesai makan. Lanjutkan aja,” kata Sahara.
Suara ketukan pintu lalu terdengar dan dua orang perawat masuk ke kamar. Salah seorangnya membawa seragam rumah sakit.
“Aku ganti pakaian dulu. Om di luar aja,” pinta Sahara, mendorong lengan Roy agar menjauhi ranjangnya.
Roy mengernyit dan wajahnya terlihat tersinggung. “Kenapa aku harus di luar? Aku bisa mengganti pakaianmu. Sama saja, kan?” tanya Roy, memandang dua pe
“Diletakkan di mana, Pak?” tanya Irma seraya mengangkat tas laptop ke arah Roy. “Setting meja kerjaku di sana,” jawab Roy, menunjuk satu set sofa di sudut ruangan. Irma langsung pergi ke sudut ruangan. Novan mengikutinya dan merapikan letak meja yang akan dijadikan Roy meja kerjanya sementara. “Kapan rapat dengan manajemen rumah sakit? Apa hari ini?” tanya Novan pada Irma. “Aku udah menjadwalkan telekonferensi. Kalau untuk rapat langsung kayanya sulit.” Irma berkata dengan nada rendah sambil menoleh pada Roy yang tengah mendengarkan Sahara bercerita. “Iya. Kayanya memang sulit. Pak Roy belum ada beranjak dari sebelah istrinya sejak pagi tadi.” Novan menyambungkan charger laptop agar bisa dipergunakan Roy kapan saja. “Gimana kabar Rini?” tanya Irma. “Kudengar dia gegar otak ringan. Kuharap dia lekas pulih,” sambung Irma seraya duduk di sofa untuk m
“Om, Miss Rini udah pulang ke rumah tiga hari yang lalu. Aku kapan? Hari ini, kan? Aku bosan di sini,” kata Sahara.“Aku sudah mengatakannya pada Dokter. Sabar. Sebentar lagi mungkin Dokter akan datang untuk visit. Sekarang, minum ini.” Roy menyodorkan wadah plastik kecil berisi empat butir obat yang harus diminum Sahara pagi itu.Dan benar apa yang dikatakan Roy tadi, Dokter datang pukul sebelas siang dan memastikan kalau semuanya baik-baik saja. Sahara harus menghabiskan sisa obatnya dan pergi ke rumah sakit seminggu sekali untuk mengecek keadaan kakinya. Roy meminta dokter untuk melepaskan pen saat tulang kaki Sahara kembali ke posisinya. Dia tak mau plat besi itu berada dalam tubuh Sahara selamanya.“Akhirnya aku bisa pulang,” kata Sahara saat Roy mendorongnya dengan kursi roda ke mobil.“Kamu senang?” tanya Roy tersenyum di balik tubuh istrinya.
“Padahal pertanyaanku belum selesai,” erang Sahara, mencengkeram erat leher Roy. Dia merasakan ciuman Roy berpindah mengecup bahunya. Lalu bergeser menjelajahi lehernya. Seperti ingin mempermainkannya, Roy lalu menegakkan tubuh untuk memandangnya lekat-lekat. “Aku akan menjawab semua pertanyaanmu nanti,” ucap Roy sambil kembali mengusapkan ibu jarinya ke puncak dada Sahara. Tubuh Sahara seketika menegang. Dia berusaha untuk tak memandangi Roy, tapi yang bisa dilakukannya hanyalah menghindari kontak mata langsung. Pandangannya malah terpaku pada sudut kuat rahang Roy, bibirnya yang sensual dengan bayangan gelap bekas bercukur yang mengelilingi. Kemudian turun ke dada yang terekspos dari celah kerah kemejanya. Juga … bulu dada gelap yang ikal di sana. Sahara menelan ludahnya. Keheningan canggung menyelimuti mereka sampai akhirnya Roy bersuara, “Seberapa besar kamu mencintaiku? Dan … sejak kapan?”
Roy mendesah kasar karena rasa nyaman di bawah tubuhnya. Kehangatan dan kelembaban yang diberi oleh mulut Sahara. Gadis itu mencengkeramnya dengan lembut dan menyusurkan lidahnya naik turun. Dia ikut meremas payudara Sahara berpindah-pindah. Memilin putingnya, dan mencubit lembut bagian puncaknya.Dengan mulutnya yang penuh, Sahara mengeluarkan lenguhan-lenguhan kenikmatan yang kembali mengalir deras memompa jantungnya. Celah lembut di antara kedua pahanya terasa semakin basah.Roy yang tadi diam menikmati, kini mulai menggerakkan pinggulnya. Tangannya sudah melepaskan payudara Sahara dan kini bertumpu di antara kepala gadis itu. Roy menekan pinggulnya sedikit lebih dalam. Ingin Sahara lebih melahap bagian tubuhnya itu lebih banyak. Dia menunduk mengawasi bibir istrinya yang melengkung sempurna. Pandangan paling indah yang pernah dilihatnya. Dia lalu menegakkan tubuh melepaskan dirinya. Wajah Sahara sudah memerah dan gadis itu menghirup napa
Satu Minggu berada di rumah dan perhatian yang diterima Sahara dari Roy, membuat kemajuan pesat pada kesehatannya. Gadis itu sudah menghabiskan seluruh obat yang diresepkan padanya. Dan sehari yang lalu dia baru kembali dari rumah sakit dan dokter mengatakan kalau tulang kakinya menunjukkan kemajuan yang sangat baik.“Hari ini aku pulang sedikit terlambat. Jangan terlalu lama berada di luar,” pesan Roy saat mendorong kursi roda Sahara ke teras. Novan sudah bersiap di dalam mobil menunggu atasannya.Sahara mengangguk dan tersenyum saat Roy menunduk mencium pipinya kanan-kiri. Letta pegawai wanita yang masih bertugas menggantikan Rini, berdiri tak jauh dari mereka sedang menatap ke arah lain. Rini belum kembali bekerja. Wanita itu menyambung masa istirahatnya dengan mengambil cuti tambahan.“Pulang sedikit terlambat, tapi pastikan tidak mampir di club,” pesan Sahara, meringis.R
Pak Wandi yang ditanya oleh wanita tua di kursi roda, hanya diam mematung.“Ibu siapa?” tanya Sahara. “Kita sama-sama pakai kursi roda,” sambung Sahara spontan.Wanita tua itu tertawa kecil. “Karena aku jauh lebih tua darimu, sepertinya akan lebih sopan kalau kamu yang menjawab lebih dulu,” ucap wanita itu memandang Sahara diiringi senyum.“Oh, iya. Aku Sahara, istri Pak Roy. Ibu siapa?” Sahara memberanikan diri memajukan kursi roda mendekati wanita di depannya.Wajah wanita itu mengeras sedetik, kemudian kembali tersenyum ramah. “Sepertinya kita perlu banyak bercakap-cakap. Karena kamu sudah tau persembunyianku, aku perlu menjelaskan sesuatu padamu,” ucap wanita itu.“Persembunyian?” gumam Sahara. Menatap wajah wanita di seberangnya lekat-lekat. Mirip seseorang yang tak asing lagi. Tapi rasanya tak mungkin,
Melihat ibu mertuanya membelalak. Gantian Sahara yang tertawa kecil untuk mencairkan suasana.“Ibu jangan marah dengan suamiku. Kami memang sama-sama sepakat untuk nggak punya anak dalam jangka waktu dekat. Aku baru mendaftar di universitas dan harusnya hari ini aku masuk kuliah. Tapi kecelakaan dua minggu yang lalu bikin kakiku jadi begini.” Sahara menggerakkan ujung kaki kanannya.“Rumah tangga apa yang menunda punya anak? Terlebih usia Roy sudah empat puluh tahun. Apa dia nggak mau lihat bagaimana wajah anak-anaknya? Aku nggak paham bagaimana pola pikir kalian. Orang-orang dengan pikiran sangat maju terkadang sulit dimengerti.” Gustika kesal mendengar anaknya yang sudah tua tak mau segera punya keturunan.Tadi dia memang sengaja menanyakan soal makanan pantangan agar menantunya buka mulut.“Ibu jangan marah …,” bisik Sahara.“Ak
Roy sedang berada di kantornya mengamati foto-foto perkembangan pembangunan dua proyek yang sedang dibangun oleh The Smith Projects. Sesaat lagi dia akan memulai rapat untuk proyek yang dipikirannya baru-baru ini. Sebuah rumah peristirahatan di atas bukit dengan pemandangan laut lepas.Divisi arsitek, baru saja mengirimkan maket rumah peristirahatan itu. Sudah setengah jam Roy memandangi maket itu dengan senyum terkulum.Sejurus kemudian konsentrasinya buyar karena suara getar ponselnya di atas meja. Roy meraih ponsel dan menoleh layar. Dari Novan. Roy melirik jam, memang sudah sore tapi Novan tahu bahwa dia akan melanjutkan sore itu dengan rapat. Apa Novan sudah bersiap di dalam mobil untuk mengajaknya pulang?“Ada apa?” tanya Roy langsung.“Kepala keamanan rumah baru mengabari kalau gardu listrik di jalan masuk meledak. Sistem listrik padam dan dialihkan ke generator. Tapi, genera
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov