Melihat ibu mertuanya membelalak. Gantian Sahara yang tertawa kecil untuk mencairkan suasana.
“Ibu jangan marah dengan suamiku. Kami memang sama-sama sepakat untuk nggak punya anak dalam jangka waktu dekat. Aku baru mendaftar di universitas dan harusnya hari ini aku masuk kuliah. Tapi kecelakaan dua minggu yang lalu bikin kakiku jadi begini.” Sahara menggerakkan ujung kaki kanannya.
“Rumah tangga apa yang menunda punya anak? Terlebih usia Roy sudah empat puluh tahun. Apa dia nggak mau lihat bagaimana wajah anak-anaknya? Aku nggak paham bagaimana pola pikir kalian. Orang-orang dengan pikiran sangat maju terkadang sulit dimengerti.” Gustika kesal mendengar anaknya yang sudah tua tak mau segera punya keturunan.
Tadi dia memang sengaja menanyakan soal makanan pantangan agar menantunya buka mulut.
“Ibu jangan marah …,” bisik Sahara.
“Ak
Roy sedang berada di kantornya mengamati foto-foto perkembangan pembangunan dua proyek yang sedang dibangun oleh The Smith Projects. Sesaat lagi dia akan memulai rapat untuk proyek yang dipikirannya baru-baru ini. Sebuah rumah peristirahatan di atas bukit dengan pemandangan laut lepas.Divisi arsitek, baru saja mengirimkan maket rumah peristirahatan itu. Sudah setengah jam Roy memandangi maket itu dengan senyum terkulum.Sejurus kemudian konsentrasinya buyar karena suara getar ponselnya di atas meja. Roy meraih ponsel dan menoleh layar. Dari Novan. Roy melirik jam, memang sudah sore tapi Novan tahu bahwa dia akan melanjutkan sore itu dengan rapat. Apa Novan sudah bersiap di dalam mobil untuk mengajaknya pulang?“Ada apa?” tanya Roy langsung.“Kepala keamanan rumah baru mengabari kalau gardu listrik di jalan masuk meledak. Sistem listrik padam dan dialihkan ke generator. Tapi, genera
“Jangan dilihat,” ucap Roy kembali memalingkan wajah Sahara ke arahnya. “Aku bisa kembali mencetak itu sebanyak-banyaknya. Jangan pikirkan soal foto. Kita bisa membuat foto yang lebih bagus. Kamu masih sakit.” Roy mengusap pipi Sahara berkali-kali, lalu menoleh pada Novan.“Someone came into this house looking for something. My wife almost bumped into that guy in my private room. Asking everyone what they had been doing all day.” (Seseorang masuk ke rumah ini mencari sesuatu. Istriku hampir berpapasan dengan pria itu di ruanganku. Tanya semua orang apa yang mereka lakukan sepanjang hari.)Roy sangat-sangat berharap kalau Sahara tidak terlalu paham apa yang diucapkannya pada Novan. Saat itu rasanya dia ingin berlari ke seluruh penjuru rumahnya untuk mencari seseorang yang mungkin masih bersembunyi di suatu tempat. Rasanya dia juga ingin menghajar pihak keamanan dan teknisi yang sangat lamban mengatasi masal
“Ingat, jangan pikirkan apa pun agar kamu cepat pulih. Aku tak suka melihatmu terlalu lama berada di kursi roda.” Roy menggendong Sahara ke ruang makan. Di sana sudah ada Rini dan Novan yang menunggu mereka. “Pak, saya mau bicara sebentar,” ucap Novan berdiri dari kursinya. Roy mengangguk samar dan meletakkan Sahara di kursi. “Makanlah lebih dulu. Aku bicara dengan Novan sebentar,” ucap Roy, lalu mengecup kepala Sahara. Rini melirik Roy yang berjalan menjauhi meja makan menuju Novan yang menunggunya di ruang tamu. “Ke mana seharian ini?” tanya Rini, memandang Sahara. “Cuma ngobrol dengan Mbak Letta,” jawab Sahara, membuka piring dan menyendok macaroni schotel yang asapnya masih mengepul. “Jangan main terlalu jauh. Sore tadi ada seseorang yang masuk ke rumah ini. Kamu tau?” tanya Rini. Sahara mengangguk santai.
“Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Bukannya Om memang belum mau punya anak? Kukira … Om memang nggak suka sama anak-anak. Aku nggak apa-apa, kok. Aku juga masih terlalu muda,” jawab Sahara. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ucap Roy dengan lirih. Sahara menelan ludah dan mengalihkan pandangannya. “Apa mau mengatakan sesuatu?” Roy memandang wajah Sahara yang terlihat akan menyampaikan sesuatu. Roy kembali meletakkan pil di dalam laci dan merangkak naik ke ranjang. “Lihat aku,” pinta Roy, memegang ujung dagu Sahara agar menoleh ke arahnya. "Ada apa?" tanya Roy. Sahara menoleh dan sebenarnya dia ingin berbaring miring agar bisa memeluk Roy. Bola mata cokelat muda pria itu menyorot teduh. Kehangatan pandangan itu sampai di hatinya. Telapak tangan Roy mengusap perutnya dengan lembut. “Sebenarnya ….” “Apa? Katakan,” sahut Roy. “Seben
Gustika duduk menatap tajam putranya yang baru datang dan langsung mengomel. Dia tahu kalau seluruh penjuru bangun rumah itu dipenuhi kamera pengawas. Tapi dia juga tahu kalau Roy tak akan mengecek kamera pengawas jika tak terjadi sesuatu yang aneh. Atau jika pegawainya di rumah itu tidak melaporkan apa pun.Gustika berpikir bahwa tidak mungkin Pak Wandi yang melaporkan kegiatan mereka selama ini. Pria itu cukup bisa dipercaya. Jadi bisa saja itu ulah pegawai wanita yang mendampingi Sahara. Atau ... telah terjadi sesuatu yang aneh di bangunan utama.“Langit masih terang, tumben sekali sudah pulang ke rumah,” sindir Gustika pada anaknya.“Kita masuk ke dalam. Kalian berdua belum makan siang padahal ini sudah hampir pukul tiga sore. Kursi roda yang mana, yang harus kudorong lebih dulu ke dalam?” Gantian Roy menyindir Ibu dan istrinya.“Bantu istrimu masuk. Ini rumahku. Aku
“Walau badanku sebesar ini, pukulan Ibu masih sakit,” kata Roy, mengusap-usap lengannya.“Ibu nggak menyangka kamu bisa sekejam itu. Apa lbu selama ini sudah salah mendidikmu? Apa maksudmu menikahinya dan memintanya untuk tidak hamil? Kamu kira wanita itu sebuah properti?”PLAKK!Gustika kembali memukul lengan Roy yang tak melawan atau mencegah tangan sang ibu melayang ke arahnya.“Kamu satu-satunya anakku di dunia ini. Aku sedikit banyak mengerti apa yang kamu pikirkan. Menikahinya dengan maksud menyakiti keluarga Spencer?”“Suara Ibu jangan terlalu keras,” ucap Roy, duduk di tepi ranjang.“Kenapa? Sekarang khawatir kalau gadis itu akan mendengarnya? Apa kamu nggak malu bertingkah sangat manipulatif terhadapnya? Memintanya melakukan semua perintahmu? Bisa-bisanya kamu meminta wanita untuk tidak hamil.&rdq
Tiga hari sebelum percakapan Anna dan Thomas di meja makan, Lucio Spencer sedang terlibat percakapan serius bersama Sergio. Satu-satunya pria yang bisa dipercayainya di rumah itu. Pria berusia nyaris lima puluh yang merawatnya sejak dia menjadi pesakitan di kursi roda.“Sir, maafkan berita buruk yang akan kusampaikan. Tapi sepertinya Anda telah salah mengenali Thomas. Selama ini dia tak mencari putri Anda untuk ditemukan. Hal yang paling jelas dilakukannya adalah mendesak pengacara keluarga Anda untuk mengeluarkan daftar pembagian harta. Aku juga mendengar kalau Thomas meminta seseorang di telepon untuk datang ke Indonesia dan menyingkirkan adiknya.”“Tunggu—tunggu. Kau membuatku bingung, Sergio. Oh, Tuhan.” Lucio mengusap wajahnya dengan panik dan wajahnya seketika pucat. “Apa kau tak salah? Thomas anak yang baik, Sergio. Dia selalu menjadi anak yang baik.”“Aku mendengarn
Lucio Spencer membiarkan Anna menangis beberapa saat. Pria itu menepuk-nepuk pundak Anna dengan lembut seraya berpikir kesalahan apa yang telah dibuat Thomas sampai membuat ibu dari anak-anaknya menangis. Apa kesalahan sama seperti yang dilakukannya dulu?“Ceritakan padaku, Anna.” Lucio memandang menantunya dengan sorot tak berdaya. Dia tahu hanya bisa menenangkan kegundahan Anna dengan mendengarkan cerita wanita itu. Selebihnya dia mungkin tak bisa melakukan apa-apa.Anna menarik napas dan menghapus air matanya. “Rasanya tak mungkin aku menceritakan dugaanku padamu, Dad. Kurasa akan sangat memalukan buatku dan Thomas. Saat ini aku hanya ingin memastikan kebenarannya. Tapi kurasa … aku tak tau harus berbuat apa setelahnya. Aku memiliki dua orang anak yang begitu menyayangi ayahnya.” Anna kembali menangis.Lucio diam dan mengambil kesimpulan sendiri bahwa Thomas sudah berselingkuh dari istri
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov