Home / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of Gadis Penari Sang Presdir: Chapter 91 - Chapter 100

298 Chapters

91. Hasrat Kita

Roy mendesah kasar karena rasa nyaman di bawah tubuhnya. Kehangatan dan kelembaban yang diberi oleh mulut Sahara. Gadis itu mencengkeramnya dengan lembut dan menyusurkan lidahnya naik turun. Dia ikut meremas payudara Sahara berpindah-pindah. Memilin putingnya, dan mencubit lembut bagian puncaknya. Dengan mulutnya yang penuh, Sahara mengeluarkan lenguhan-lenguhan kenikmatan yang kembali mengalir deras memompa jantungnya. Celah lembut di antara kedua pahanya terasa semakin basah. Roy yang tadi diam menikmati, kini mulai menggerakkan pinggulnya. Tangannya sudah melepaskan payudara Sahara dan kini bertumpu di antara kepala gadis itu. Roy menekan pinggulnya sedikit lebih dalam. Ingin Sahara lebih melahap bagian tubuhnya itu lebih banyak. Dia menunduk mengawasi bibir istrinya yang melengkung sempurna. Pandangan paling indah yang pernah dilihatnya. Dia lalu menegakkan tubuh melepaskan dirinya. Wajah Sahara sudah memerah dan gadis itu menghirup napa
Read more

92. Di Balik Taman Bunga

Satu Minggu berada di rumah dan perhatian yang diterima Sahara dari Roy, membuat kemajuan pesat pada kesehatannya. Gadis itu sudah menghabiskan seluruh obat yang diresepkan padanya. Dan sehari yang lalu dia baru kembali dari rumah sakit dan dokter mengatakan kalau tulang kakinya menunjukkan kemajuan yang sangat baik. “Hari ini aku pulang sedikit terlambat. Jangan terlalu lama berada di luar,” pesan Roy saat mendorong kursi roda Sahara ke teras. Novan sudah bersiap di dalam mobil menunggu atasannya. Sahara mengangguk dan tersenyum saat Roy menunduk mencium pipinya kanan-kiri. Letta pegawai wanita yang masih bertugas menggantikan Rini, berdiri tak jauh dari mereka sedang menatap ke arah lain. Rini belum kembali bekerja. Wanita itu menyambung masa istirahatnya dengan mengambil cuti tambahan. “Pulang sedikit terlambat, tapi pastikan tidak mampir di club,” pesan Sahara, meringis. R
Read more

93. Perkenalan Dengan Ibu

Pak Wandi yang ditanya oleh wanita tua di kursi roda, hanya diam mematung. “Ibu siapa?” tanya Sahara. “Kita sama-sama pakai kursi roda,” sambung Sahara spontan. Wanita tua itu tertawa kecil. “Karena aku jauh lebih tua darimu, sepertinya akan lebih sopan kalau kamu yang menjawab lebih dulu,” ucap wanita itu memandang Sahara diiringi senyum. “Oh, iya. Aku Sahara, istri Pak Roy. Ibu siapa?” Sahara memberanikan diri memajukan kursi roda mendekati wanita di depannya. Wajah wanita itu mengeras sedetik, kemudian kembali tersenyum ramah. “Sepertinya kita perlu banyak bercakap-cakap. Karena kamu sudah tau persembunyianku, aku perlu menjelaskan sesuatu padamu,” ucap wanita itu. “Persembunyian?” gumam Sahara. Menatap wajah wanita di seberangnya lekat-lekat. Mirip seseorang yang tak asing lagi. Tapi rasanya tak mungkin,
Read more

94. Rasa Ingin Tahu

Melihat ibu mertuanya membelalak. Gantian Sahara yang tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Ibu jangan marah dengan suamiku. Kami memang sama-sama sepakat untuk nggak punya anak dalam jangka waktu dekat. Aku baru mendaftar di universitas dan harusnya hari ini aku masuk kuliah. Tapi kecelakaan dua minggu yang lalu bikin kakiku jadi begini.” Sahara menggerakkan ujung kaki kanannya. “Rumah tangga apa yang menunda punya anak? Terlebih usia Roy sudah empat puluh tahun. Apa dia nggak mau lihat bagaimana wajah anak-anaknya? Aku nggak paham bagaimana pola pikir kalian. Orang-orang dengan pikiran sangat maju terkadang sulit dimengerti.” Gustika kesal mendengar anaknya yang sudah tua tak mau segera punya keturunan. Tadi dia memang sengaja menanyakan soal makanan pantangan agar menantunya buka mulut. “Ibu jangan marah …,” bisik Sahara. “Ak
Read more

95. Seseorang Membencinya

Roy sedang berada di kantornya mengamati foto-foto perkembangan pembangunan dua proyek yang sedang dibangun oleh The Smith Projects. Sesaat lagi dia akan memulai rapat untuk proyek yang dipikirannya baru-baru ini. Sebuah rumah peristirahatan di atas bukit dengan pemandangan laut lepas. Divisi arsitek, baru saja mengirimkan maket rumah peristirahatan itu. Sudah setengah jam Roy memandangi maket itu dengan senyum terkulum. Sejurus kemudian konsentrasinya buyar karena suara getar ponselnya di atas meja. Roy meraih ponsel dan menoleh layar. Dari Novan. Roy melirik jam, memang sudah sore tapi Novan tahu bahwa dia akan melanjutkan sore itu dengan rapat. Apa Novan sudah bersiap di dalam mobil untuk mengajaknya pulang? “Ada apa?” tanya Roy langsung. “Kepala keamanan rumah baru mengabari kalau gardu listrik di jalan masuk meledak. Sistem listrik padam dan dialihkan ke generator. Tapi, genera
Read more

96. Cinta Yang Melemahkan

“Jangan dilihat,” ucap Roy kembali memalingkan wajah Sahara ke arahnya. “Aku bisa kembali mencetak itu sebanyak-banyaknya. Jangan pikirkan soal foto. Kita bisa membuat foto yang lebih bagus. Kamu masih sakit.” Roy mengusap pipi Sahara berkali-kali, lalu menoleh pada Novan. “Someone came into this house looking for something. My wife almost bumped into that guy in my private room. Asking everyone what they had been doing all day.” (Seseorang masuk ke rumah ini mencari sesuatu. Istriku hampir berpapasan dengan pria itu di ruanganku. Tanya semua orang apa yang mereka lakukan sepanjang hari.) Roy sangat-sangat berharap kalau Sahara tidak terlalu paham apa yang diucapkannya pada Novan. Saat itu rasanya dia ingin berlari ke seluruh penjuru rumahnya untuk mencari seseorang yang mungkin masih bersembunyi di suatu tempat. Rasanya dia juga ingin menghajar pihak keamanan dan teknisi yang sangat lamban mengatasi masal
Read more

97. Maukah Kamu?

“Ingat, jangan pikirkan apa pun agar kamu cepat pulih. Aku tak suka melihatmu terlalu lama berada di kursi roda.” Roy menggendong Sahara ke ruang makan. Di sana sudah ada Rini dan Novan yang menunggu mereka.   “Pak, saya mau bicara sebentar,” ucap Novan berdiri dari kursinya. Roy mengangguk samar dan meletakkan Sahara di kursi.   “Makanlah lebih dulu. Aku bicara dengan Novan sebentar,” ucap Roy, lalu mengecup kepala Sahara.   Rini melirik Roy yang berjalan menjauhi meja makan menuju Novan yang menunggunya di ruang tamu.   “Ke mana seharian ini?” tanya Rini, memandang Sahara.   “Cuma ngobrol dengan Mbak Letta,” jawab Sahara, membuka piring dan menyendok macaroni schotel yang asapnya masih mengepul.   “Jangan main terlalu jauh. Sore tadi ada seseorang yang masuk ke rumah ini. Kamu tau?” tanya Rini.   Sahara mengangguk santai.  
Read more

98. Kesayangan Ibuku

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Bukannya Om memang belum mau punya anak? Kukira … Om memang nggak suka sama anak-anak. Aku nggak apa-apa, kok. Aku juga masih terlalu muda,” jawab Sahara.   “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ucap Roy dengan lirih.   Sahara menelan ludah dan mengalihkan pandangannya.   “Apa mau mengatakan sesuatu?” Roy memandang wajah Sahara yang terlihat akan menyampaikan sesuatu. Roy kembali meletakkan pil di dalam laci dan merangkak naik ke ranjang.   “Lihat aku,” pinta Roy, memegang ujung dagu Sahara agar menoleh ke arahnya. "Ada apa?" tanya Roy.   Sahara menoleh dan sebenarnya dia ingin berbaring miring agar bisa memeluk Roy. Bola mata cokelat muda pria itu menyorot teduh. Kehangatan pandangan itu sampai di hatinya. Telapak tangan Roy mengusap perutnya dengan lembut. “Sebenarnya ….”   “Apa? Katakan,” sahut Roy.   “Seben
Read more

99. Kekesalan Ibuku

Gustika duduk menatap tajam putranya yang baru datang dan langsung mengomel. Dia tahu kalau seluruh penjuru bangun rumah itu dipenuhi kamera pengawas. Tapi dia juga tahu kalau Roy tak akan mengecek kamera pengawas jika tak terjadi sesuatu yang aneh. Atau jika pegawainya di rumah itu tidak melaporkan apa pun. Gustika berpikir bahwa tidak mungkin Pak Wandi yang melaporkan kegiatan mereka selama ini. Pria itu cukup bisa dipercaya. Jadi bisa saja itu ulah pegawai wanita yang mendampingi Sahara. Atau ... telah terjadi sesuatu yang aneh di bangunan utama. “Langit masih terang, tumben sekali sudah pulang ke rumah,” sindir Gustika pada anaknya. “Kita masuk ke dalam. Kalian berdua belum makan siang padahal ini sudah hampir pukul tiga sore. Kursi roda yang mana, yang harus kudorong lebih dulu ke dalam?” Gantian Roy menyindir Ibu dan istrinya. “Bantu istrimu masuk. Ini rumahku. Aku
Read more

100. Janji Untuk Ibu

“Walau badanku sebesar ini, pukulan Ibu masih sakit,” kata Roy, mengusap-usap lengannya. “Ibu nggak menyangka kamu bisa sekejam itu. Apa lbu selama ini sudah salah mendidikmu? Apa maksudmu menikahinya dan memintanya untuk tidak hamil? Kamu kira wanita itu sebuah properti?” PLAKK! Gustika kembali memukul lengan Roy yang tak melawan atau mencegah tangan sang ibu melayang ke arahnya. “Kamu satu-satunya anakku di dunia ini. Aku sedikit banyak mengerti apa yang kamu pikirkan. Menikahinya dengan maksud menyakiti keluarga Spencer?” “Suara Ibu jangan terlalu keras,” ucap Roy, duduk di tepi ranjang. “Kenapa? Sekarang khawatir kalau gadis itu akan mendengarnya? Apa kamu nggak malu bertingkah sangat manipulatif terhadapnya? Memintanya melakukan semua perintahmu? Bisa-bisanya kamu meminta wanita untuk tidak hamil.&rdq
Read more
PREV
1
...
89101112
...
30
DMCA.com Protection Status