Home / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Chapter 111 - Chapter 120

All Chapters of Gadis Penari Sang Presdir: Chapter 111 - Chapter 120

298 Chapters

111. Jadikan Aku Seorang Ayah

Sahara meletakkan kedua telapak tangannya menyentuh perut Roy. Membelai otot-otot perut Roy yang menegang dengan sentuhan lembut menenangkan. Menyusuri bagian itu mengikuti jajaran rambut halus yang membentuk garis lurus menuju ke bawah. Sahara mengigit bibirnya. Menyentuh bagian maskulin tubuh Roy yang semakin lama membuatnya menyadari, kalau pria itu memang miliknya. Membelai perlahan dan menyentuhkannya ke bibir. Terdengar erangan parau Roy yang tak sabar. Dan Sahara tak ingin membuat suaminya menunggu terlalu lama. Dia membuka mulut dan merasakan kemaskulinan Roy memenuhinya. Menggenggamnya dengan mantap dan merasakan otot yang semakin mengetat di balik telapak tangannya. Roy menunduk dengan mulut sedikit terbuka. Menatap bibir merah Sahara sedang memberinya kehangatan di bawah sana. Berusaha menenggelamkannya dalam-dalam, namun kemudian seakan menyerah dan kembali mengeluarkannya dengan wajah memerah. “Aku ngg
Read more

112. Maaf Membuatmu Lelah

“Kamu harus menjadi pria baik dan bertanggung jawab. Seperti harapan Ibu yang terselip di dalam namamu. Roy. Berarti raja atau pahlawan. Dulu, Ibu baru mengandungmu beberapa lama usai menikah. Ibu sempat flek dan pendarahan. Kami mengira akan kehilangan bayi pertama kami. Tapi ternyata, janin delapan minggu yang dikira dokter sudah mati berkembang sehat. Kamu bisa bertahan. Dan kami tau bahwa kamu akan menjadi anak yang kuat.” Itu adalah sepenggal kalimat nasehat Ibu yang selalu diingat Roy. Bahwa dia adalah sosok pria yang bertanggung jawab. Roy mencicipi pendidikan di sekolah swasta untuk anak-anak berkebangsaan asing. Berpacaran dengan gadis Eropa yang orang tuanya seorang diplomat. Lalu berpisah dan Roy bertemu dengan Shelly. Gadis yang membuatnya jatuh cinta begitu dalam. Roy yang setia dan romantis memberikan gadis itu segala yang sanggup diberikannya. Roy tak pernah setengah-setengah dalam hal apa pun. Ibunya mendidiknya sangat baik soal hal i
Read more

113. Puncak Amarah Anna

Sau Paulo pagi hari, Anna membereskan tas dan kotak bekal kedua anaknya dan menjinjingnya menuju teras.   “Ma, jangan lupa ke sekolah. Hari ini semua orang tua hadir lengkap mengambil laporan tahunan. Mereka akan menanyai tiap orang tua macam-macam. Bilang kalau aku punya penyakit.” Phillip menjajari langkah Anna dengan kaki kecilnya.   “Memangnya kenapa? Soal sepak bola lagi?” tanya Anna, menoleh anak sulungnya.   Phillip mengangguk.   “Mama akan mengatakan pada gurumu kalau kau tak suka sepak bola. Mereka tak bisa memaksa yang tak mau kau lakukan,” ujar Anna.   “Papa harus ikut, Ma. Papa tidak pernah hadir ke sekolah. Semua temanku datang bersama orang tua lengkapnya,” tambah Phillip di depan pintu mobil. Anna mengangguk dan membelai rambut anaknya.   "Cium Mama dulu, Sayang." Anna membungkuk menyodorkan pipinya pada Bella. Gadis kecil itu berjinjit melingk
Read more

114. Menjelang Kekacauan

"Kau datang ke sini memang sengaja mencari ribut?" tanya Thomas, berjalan mendekati Danielle dan Anna, tapi tak mendekati salah satunya. Thomas hanya berdiri beberapa langkah di antara keduanya. "Aku sudah mengatakan padamu lewat pesan singkat berulang kali bahwa hari ini adalah waktunya orang tua seluruh murid datang ke sekolah mengambil laporan tahunan. Kau mengabaikan pesan-pesanku, Thomas. Aku sudah mengatakannya dari minggu lalu." "Aku belum sempat membalasnya." "Lantas apa yang sempat kau lakukan akhir-akhir ini? Sebelum tertangkap basah kau juga selalu sibuk. Aku tak peduli apa kau bercinta dengan wanita ini sepanjang waktu atau tidak. Tapi ini soal anak-anakku. Kalau kau tak pergi denganku sekarang, aku bersumpah tak akan membiarkan mereka melihatmu sampai mati. Dan kau ...." Anna menunjuk wajah Danielle, "jangan merasa hebat dulu. Kalian sama gilanya. Aku akan menghabiskan seluruh harta yang diberikan orang tuak
Read more

115. Kekalutan Novan

Sejak Novan mengatakan kalau dia harus mengundurkan diri dari rumah sakit milik Thomas, Irfan sudah membereskan semua perlengkapan di meja kantornya. Irfan sedang menggenggam sebuah amplop berisi surat permohonan pengunduran diri yang sudah ditandatanganinya di atas materai dan berjalan menuju ruang kerja Direktur rumah sakit. Dari pintu yang sedikit terbuka, Irfan mendengar auditor dari Brasil sedang menanyai direktur rumah sakit dalam bahasa Inggris. Lalu terlintas pertanyaan dari auditor asing, “Jadi cuma kau yang menyimpan data ini? Tak ada orang lain?” Direktur rumah sakit menjawab, “Semua data paling rahasia di rumah sakit ini hanya bisa dibuka dengan nomor ID pegawai dan password yang kumiliki. Jadi, semua data selama aku memimpin rumah sakit ini, kupastikan aman. Kalian tak ada alasan mencurigaiku.” Irfan mundur beberapa langkah mengurungkan niatnya masuk ke ruangan. D
Read more

116. Malam Yang Panjang

Tiga jam sebelum kepergian Novan malam itu.   “Apa kamu nggak punya teman selama ini?” tanya Roy, menatap Sahara yang tidur berbantal lengannya.   “Teman, sih, ada. Tapi nggak terlalu akrab. Saat SMP, Bu Mis mengantar dan menjemput aku. Dia enggak pernah membiarkan aku pulang sendiri. Enggak pernah ngasi kalau aku keluar sama teman-teman. Katanya tubuhku lebih besar dibanding anak seusiaku. Dia khawatir aku diganggu laki-laki iseng.”   “Aku suka pemikiran Bu Mis,” ujar Roy, mengusap punggung telanjang Sahara di balik selimut. “Lantas teman di SMA bagaimana?” tanya Roy lagi.   Ingatannya sedang terbang saat Novan membawakan foto-foto hari pertama Sahara masuk SMA. Gadis itu memang lebih tinggi dari gadis seusianya. Pulang sekolah selalu sendiri dengan menumpangi angkutan kota, karena rata-rata temannya adalah anak-anak dari keluarga mampu yang dijemput supir.   Sesering mungkin No
Read more

117. Hasil Yang Ditunggu

“Mau ke mana? Itu pistol untuk apa?” ulang Sahara, setengah bangkit dari tidurnya. Roy langsung menyelipkan pistolnya ke belakang jaket dan buru-buru menahan tubuh Sahara agar tidak bangkit. “Aku keluar sebentar mencari Novan. Kamu lanjut tidur, ya.” Roy mengatur bantal dan kembali merebahkan tubuh Sahara. “Aku nanya, Om keluar bawa pistol jam segini untuk apa? Aku baru tau Om punya benda kayak gitu,” ucap Sahara. “Karena ini sudah lewat tengah malam makanya aku merasa perlu bawa senjata. Aku melihat barusan Novan keluar dan dia tidak ada mengatakan apa pun. Aku khawatir Novan butuh bantuan nantinya. Jangan khawatir, ini mungkin hanya urusan pekerjaan kami di kantor. Soal proyek baru yang sedang berjalan.” Roy membenarkan rambut Sahara dan menarik selimut. “Pulang jam berapa?” tanya Sahara lagi. &ldq
Read more

118. Genting

Mobil yang membawa Irfan terus melaju menuju pinggiran kota. Novan mengikuti SUV hitam dengan tetap menjaga jarak. Ponsel di dasbor yang malam hari dan saat berada di sebelah Rini harus bermode silent, lampunya terlihat mengedip sejak tadi. Novan menggeser layar ponsel dan melihat panggilan tak terjawab dari Roy. Jantungnya berdebar semakin cepat. Rasanya melihat Roy meneleponnya jam segitu, terasa lebih menakutkan ketimbang berada di basement tadi. SUV di depannya semakin cepat dan Novan tak sempat memikirkan apa yang harus dilakukannya dengan telepon Roy. Dia belum tahu harus menjawab apa pada atasannya. Yang paling penting saat itu baginya adalah tak kehilangan jejak SUV. Di lain tempat beberapa saat sebelumnya, Roy mengikuti alur yang dilakukan Novan. Asistennya tak menjawab telepon. Satu-satunya petunjuk ke mana Novan adalah Irfan, Kepala Keuangan di rumah sakit Thomas yang beberapa waktu dimintanya mengundurkan dir
Read more

119. Nasib Novan

Matanya sudah mulai perih karena terus menatap ke depan tanpa berkedip. Novan mematikan pendingin mobil, karena dingin udara pagi sudah mulai terasa menusuk. Dia teringat akan Rini yang saat ini pasti sedang tertidur lelap. Atau malah … wanita itu tidak tidur sama sekali? Novan melirik ponselnya. Tak ada lagi panggilan masuk. Rini pasti benar-benar marah dan mengabaikannya.   Hampir satu jam mengikuti SUV hitam, Novan tersadar mobil di depannya melambat. Matanya melebar melihat sekeliling. Langit masih sangat gelap dan dia sedang melihat jembatan besar di depannya. Seketika dia menginjak rem dan mulai menepi. SUV berhenti di tepi jalan.   “Ini sungai?” Novan melihat ke kirinya. “Mereka mau membuang Irfan ke sungai?” geram Novan dalam bisikan.   Baru saja dia selesai mengatakan hal itu, Dua orang pria keluar dari kursi penumpang depan dan tengah. Minimnya cahaya dini hari itu, membuat Novan harus menyipitkan mata menyesua
Read more

120. Pelik

“Satu jam. Perjalanan ke sini hampir satu jam. Menunggu ambulan datang bisa membuat mereka mati.” Roy melompati jembatan tepat di bagian tiang penyangga. Melewati ranting pepohonan yang mencuat dengan merayapi kaki jembatan secepat yang dia bisa. Mobil sedan milik Novan menukik di air sungai. Sebagian besar atapnya masih terlihat. Dan teringat akan perkataan yang sering diucapkan Novan. “Fortunately (untungnya),” bisik Roy, melompat dari kaki jembatan dan mendarat di atas semak. Dia sempat terguling sekali dan segera berlarian di bebatuan sepanjang sungai untuk mencapai mobil Novan. Sekilas Roy menoleh ke atas. Melihat sisi jembatan yang rusak karena diterobos mobil Novan. “Bajingan-bajingan itu selalu bisa menemukan tempat sempurna untuk menyembunyikan kejahatannya. Aku semakin ragu polisi bisa menangkap mereka,” gumam Roy. “Fortunately, God …,” bisik Roy lagi saat
Read more
PREV
1
...
1011121314
...
30
DMCA.com Protection Status