Sahara meletakkan kedua telapak tangannya menyentuh perut Roy. Membelai otot-otot perut Roy yang menegang dengan sentuhan lembut menenangkan. Menyusuri bagian itu mengikuti jajaran rambut halus yang membentuk garis lurus menuju ke bawah.
Sahara mengigit bibirnya. Menyentuh bagian maskulin tubuh Roy yang semakin lama membuatnya menyadari, kalau pria itu memang miliknya. Membelai perlahan dan menyentuhkannya ke bibir. Terdengar erangan parau Roy yang tak sabar. Dan Sahara tak ingin membuat suaminya menunggu terlalu lama. Dia membuka mulut dan merasakan kemaskulinan Roy memenuhinya. Menggenggamnya dengan mantap dan merasakan otot yang semakin mengetat di balik telapak tangannya.
Roy menunduk dengan mulut sedikit terbuka. Menatap bibir merah Sahara sedang memberinya kehangatan di bawah sana. Berusaha menenggelamkannya dalam-dalam, namun kemudian seakan menyerah dan kembali mengeluarkannya dengan wajah memerah.
“Aku ngg
“Kamu harus menjadi pria baik dan bertanggung jawab. Seperti harapan Ibu yang terselip di dalam namamu. Roy. Berarti raja atau pahlawan. Dulu, Ibu baru mengandungmu beberapa lama usai menikah. Ibu sempat flek dan pendarahan. Kami mengira akan kehilangan bayi pertama kami. Tapi ternyata, janin delapan minggu yang dikira dokter sudah mati berkembang sehat. Kamu bisa bertahan. Dan kami tau bahwa kamu akan menjadi anak yang kuat.”Itu adalah sepenggal kalimat nasehat Ibu yang selalu diingat Roy. Bahwa dia adalah sosok pria yang bertanggung jawab. Roy mencicipi pendidikan di sekolah swasta untuk anak-anak berkebangsaan asing. Berpacaran dengan gadis Eropa yang orang tuanya seorang diplomat. Lalu berpisah dan Roy bertemu dengan Shelly. Gadis yang membuatnya jatuh cinta begitu dalam. Roy yang setia dan romantis memberikan gadis itu segala yang sanggup diberikannya. Roy tak pernah setengah-setengah dalam hal apa pun. Ibunya mendidiknya sangat baik soal hal i
Sau Paulo pagi hari, Anna membereskan tas dan kotak bekal kedua anaknya dan menjinjingnya menuju teras. “Ma, jangan lupa ke sekolah. Hari ini semua orang tua hadir lengkap mengambil laporan tahunan. Mereka akan menanyai tiap orang tua macam-macam. Bilang kalau aku punya penyakit.” Phillip menjajari langkah Anna dengan kaki kecilnya. “Memangnya kenapa? Soal sepak bola lagi?” tanya Anna, menoleh anak sulungnya. Phillip mengangguk. “Mama akan mengatakan pada gurumu kalau kau tak suka sepak bola. Mereka tak bisa memaksa yang tak mau kau lakukan,” ujar Anna. “Papa harus ikut, Ma. Papa tidak pernah hadir ke sekolah. Semua temanku datang bersama orang tua lengkapnya,” tambah Phillip di depan pintu mobil. Anna mengangguk dan membelai rambut anaknya. "Cium Mama dulu, Sayang." Anna membungkuk menyodorkan pipinya pada Bella. Gadis kecil itu berjinjit melingk
"Kau datang ke sini memang sengaja mencari ribut?" tanya Thomas, berjalan mendekati Danielle dan Anna, tapi tak mendekati salah satunya. Thomas hanya berdiri beberapa langkah di antara keduanya."Aku sudah mengatakan padamu lewat pesan singkat berulang kali bahwa hari ini adalah waktunya orang tua seluruh murid datang ke sekolah mengambil laporan tahunan. Kau mengabaikan pesan-pesanku, Thomas. Aku sudah mengatakannya dari minggu lalu.""Aku belum sempat membalasnya.""Lantas apa yang sempat kau lakukan akhir-akhir ini? Sebelum tertangkap basah kau juga selalu sibuk. Aku tak peduli apa kau bercinta dengan wanita ini sepanjang waktu atau tidak. Tapi ini soal anak-anakku. Kalau kau tak pergi denganku sekarang, aku bersumpah tak akan membiarkan mereka melihatmu sampai mati. Dan kau ...." Anna menunjuk wajah Danielle, "jangan merasa hebat dulu. Kalian sama gilanya. Aku akan menghabiskan seluruh harta yang diberikan orang tuak
Sejak Novan mengatakan kalau dia harus mengundurkan diri dari rumah sakit milik Thomas, Irfan sudah membereskan semua perlengkapan di meja kantornya.Irfan sedang menggenggam sebuah amplop berisi surat permohonan pengunduran diri yang sudah ditandatanganinya di atas materai dan berjalan menuju ruang kerja Direktur rumah sakit. Dari pintu yang sedikit terbuka, Irfan mendengar auditor dari Brasil sedang menanyai direktur rumah sakit dalam bahasa Inggris.Lalu terlintas pertanyaan dari auditor asing, “Jadi cuma kau yang menyimpan data ini? Tak ada orang lain?”Direktur rumah sakit menjawab, “Semua data paling rahasia di rumah sakit ini hanya bisa dibuka dengan nomor ID pegawai dan password yang kumiliki. Jadi, semua data selama aku memimpin rumah sakit ini, kupastikan aman. Kalian tak ada alasan mencurigaiku.”Irfan mundur beberapa langkah mengurungkan niatnya masuk ke ruangan. D
Tiga jam sebelum kepergian Novan malam itu. “Apa kamu nggak punya teman selama ini?” tanya Roy, menatap Sahara yang tidur berbantal lengannya. “Teman, sih, ada. Tapi nggak terlalu akrab. Saat SMP, Bu Mis mengantar dan menjemput aku. Dia enggak pernah membiarkan aku pulang sendiri. Enggak pernah ngasi kalau aku keluar sama teman-teman. Katanya tubuhku lebih besar dibanding anak seusiaku. Dia khawatir aku diganggu laki-laki iseng.” “Aku suka pemikiran Bu Mis,” ujar Roy, mengusap punggung telanjang Sahara di balik selimut. “Lantas teman di SMA bagaimana?” tanya Roy lagi. Ingatannya sedang terbang saat Novan membawakan foto-foto hari pertama Sahara masuk SMA. Gadis itu memang lebih tinggi dari gadis seusianya. Pulang sekolah selalu sendiri dengan menumpangi angkutan kota, karena rata-rata temannya adalah anak-anak dari keluarga mampu yang dijemput supir. Sesering mungkin No
“Mau ke mana? Itu pistol untuk apa?” ulang Sahara, setengah bangkit dari tidurnya.Roy langsung menyelipkan pistolnya ke belakang jaket dan buru-buru menahan tubuh Sahara agar tidak bangkit.“Aku keluar sebentar mencari Novan. Kamu lanjut tidur, ya.” Roy mengatur bantal dan kembali merebahkan tubuh Sahara.“Aku nanya, Om keluar bawa pistol jam segini untuk apa? Aku baru tau Om punya benda kayak gitu,” ucap Sahara.“Karena ini sudah lewat tengah malam makanya aku merasa perlu bawa senjata. Aku melihat barusan Novan keluar dan dia tidak ada mengatakan apa pun. Aku khawatir Novan butuh bantuan nantinya. Jangan khawatir, ini mungkin hanya urusan pekerjaan kami di kantor. Soal proyek baru yang sedang berjalan.” Roy membenarkan rambut Sahara dan menarik selimut.“Pulang jam berapa?” tanya Sahara lagi.&ldq
Mobil yang membawa Irfan terus melaju menuju pinggiran kota. Novan mengikuti SUV hitam dengan tetap menjaga jarak. Ponsel di dasbor yang malam hari dan saat berada di sebelah Rini harus bermode silent, lampunya terlihat mengedip sejak tadi.Novan menggeser layar ponsel dan melihat panggilan tak terjawab dari Roy. Jantungnya berdebar semakin cepat. Rasanya melihat Roy meneleponnya jam segitu, terasa lebih menakutkan ketimbang berada di basement tadi.SUV di depannya semakin cepat dan Novan tak sempat memikirkan apa yang harus dilakukannya dengan telepon Roy. Dia belum tahu harus menjawab apa pada atasannya. Yang paling penting saat itu baginya adalah tak kehilangan jejak SUV.Di lain tempat beberapa saat sebelumnya, Roy mengikuti alur yang dilakukan Novan. Asistennya tak menjawab telepon. Satu-satunya petunjuk ke mana Novan adalah Irfan, Kepala Keuangan di rumah sakit Thomas yang beberapa waktu dimintanya mengundurkan dir
Matanya sudah mulai perih karena terus menatap ke depan tanpa berkedip. Novan mematikan pendingin mobil, karena dingin udara pagi sudah mulai terasa menusuk. Dia teringat akan Rini yang saat ini pasti sedang tertidur lelap. Atau malah … wanita itu tidak tidur sama sekali? Novan melirik ponselnya. Tak ada lagi panggilan masuk. Rini pasti benar-benar marah dan mengabaikannya. Hampir satu jam mengikuti SUV hitam, Novan tersadar mobil di depannya melambat. Matanya melebar melihat sekeliling. Langit masih sangat gelap dan dia sedang melihat jembatan besar di depannya. Seketika dia menginjak rem dan mulai menepi. SUV berhenti di tepi jalan. “Ini sungai?” Novan melihat ke kirinya. “Mereka mau membuang Irfan ke sungai?” geram Novan dalam bisikan. Baru saja dia selesai mengatakan hal itu, Dua orang pria keluar dari kursi penumpang depan dan tengah. Minimnya cahaya dini hari itu, membuat Novan harus menyipitkan mata menyesua
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov