Home / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Chapter 121 - Chapter 130

All Chapters of Gadis Penari Sang Presdir: Chapter 121 - Chapter 130

298 Chapters

121. Kebahagiaan dan Kesedihan

Semalaman Rini tak bisa tidur karena menunggu Novan memberinya kabar. Dia merasa kesal hingga tak mau menelepon Novan dan bertanya apa yang dilakukan oleh suaminya. Seperti biasa, menahan Novan dalam pekerjaannya yang menyangkut soal Roy, adalah hal yang sia-sia. Novan selalu mengatakan padanya kalau itu adalah sebagian besar dari resikonya. Dan Rini adalah wanita yang datang masuk ke hidupnya setelah dia bekerja sebagai asisten Roy. Bukan sebaliknya. Dan pagi itu, dia bahkan belum meneguk kopi paginya. Roy meneleponnya dengan suara bergetar. Dia paham kalau Roy pasti merasa semakin bersalah. Kepala Novan harus dibuka dan diobrak-abrik dalam operasi karena pendarahan di otak. Dengan kesepakatan mereka untuk menunda punya anak sementara ini, Rini nyaris gila. Rumah tangga mereka baru dimulai dan Novan adalah sahabat sekaligus kekasih hatinya. Matahari baru terbit dan dia mengemudikan mobil sambil meraung-raung. Berkali-ka
Read more

122. Di saat Kurapuh

Operasi Novan baru saja dimulai dan Roy berjalan mondar-mandir dengan sepatu boot tebalnya. Rini yang memang sedang resah, mulai terganggu dengan Roy yang keras kepala. Beberapa saat yang lalu dia sudah meminta pria itu pulang. Tapi ucapannya tidak didengar sama sekali. “Pak, pulanglah. Kumohon,” ucap Rini. “Penampilan Anda terlihat sangat kacau … saya nggak biasa ngeliatnya. Itu bikin saya makin kalut. Kalau Anda terlihat rapi dan mengkilap seperti biasa, itu bisa membuat perasaan saya lebih baik. Semacam pertanda bahwa semuanya baik-baik aja,” ujar Rini, masih dengan wajah yang basah oleh air mata. Suaranya sengau karena sejak tadi membesut hidungnya tak henti-henti. Roy menatap Rini tanpa ekspresi. Dia lalu menghela napas dan berjalan ke kursi besi untuk memungut ponselnya. “Aku pulang. Nanti aku kembali lagi.” “Jangan. Beristirahatlah secukupnya. Saya … mau send
Read more

123. Izinkan Kubersandar

“Om keliatan capek. Aku masih bisa jalan sendiri. Kakiku udah sembuh,” ucap Sahara, mendongak menatap dagu Roy. Mereka baru melewati pintu samping dan Roy menuju tangga ke kamar. “Aku capek, tapi masih sanggup kalau hanya untuk menggendong istriku yang kakinya belum sembuh,” sahut Roy. Pikirannya sedang menimbang-nimbang, akan memulai cerita soal Novan dari mana. “Miss Rini mana? Biasanya pagi-pagi dia udah duduk di ruang makan dan nanya soal rencanaku. Apa dia sakit? Pak Novan juga nggak keliatan,” ucap Sahara. Roy mendorong pintu kamar dengan bahunya. “Duduklah di sini, aku ingin mengatakan sesuatu,” ucap Roy, meletakkan Sahara di tepi ranjang, lalu mengambil tongkat dari tangan gadis itu dan meletakkannya di sebelah nakas. “Ada apa? Jangan buat aku takut,” kata Sahara. Roy berlutut di kaki Sahara
Read more

124. Sejenak Kebahagiaan

Roy meninggalkan Sahara yang berbaring di ranjang dan menyeret langkahnya ke kamar mandi. Dia bahagia. Sangat bahagia. Tapi ganjalan di hatinya semakin terasa menyumbat. Selama air hangat menyiram kepalanya, dia terus berpikir rencana apa yang harus dia lakukan. Pikirannya kembali buntu tiap mengingat keadaan Novan dan Irfan. Dia juga khawatir kabar kehamilan Sahara akan menyakiti Rini. Usai mandi, dia berbaring di sebelah Sahara dan tertidur. Perutnya tak lapar dan mengabaikan makan siang yang dibawakan Clara ke kamar. Sahara hanya berhasil memaksanya mengunyah sepotong kecil roti. Dia tidur bagai orang mati. Dan ketika tidur pun, ternyata dia tak bisa sepenuhnya keluar dari dunia nyata. Dia kembali memimpikan kejadian saat mobil Novan meluncur dari jembatan. “Van!” pekik Roy, bangkit dari tidurnya dengan napas terengah. “Om mimpi,” kata Sahara, mengusap lengan Roy.&n
Read more

125. Calon Anakku

“Gimana kalau kita sekalian melihat keadaan Pak Novan? Dokter kandungan yang sedang kita tuju ini, di rumah sakit yang sama, kan?” tanya Sahara saat pagi berikutnya mereka di dalam mobil. “Aku merasa … tidak cukup bijak mengunjungi Rini dalam keadaan seperti ini,” jawab Roy dari belakang kemudi. “Aku nggak akan cerita soal kehamilan. Aku cuma mau tau keadaan Pak Novan. Boleh, kan?” tanya Sahara, memegang punggung tangan Roy yang berada di tongkat persneling. Roy menoleh sedetik karena sentuhan di tangannya. Dia ingin berterima kasih karena pengertian gadis itu yang dinilainya sangat dewasa. “Terima kasih, nanti kita menjenguk Novan.” Pertama kalinya dalam hidup, Roy tak pernah mengira bahwa dia akan menikah dan mengunjungi dokter kandungan dengan seorang gadis muda. Padahal dengan jeans biru dan kemeja pu
Read more

126. Gadis Penari Sang Presdir (1)

Malam itu, tak ada hal lain yang ada di pikiran Sahara selain menghibur suaminya. Bukan hanya menghibur Roy sebagai seorang istri yang memuaskan di ranjang, tapi juga ingin menegaskan pada pria itu, bahwa kakinya sudah sembuh dan berhenti menyalahkan diri.   Sahara pernah mendengar dari Clara, kalau musuh Roy banyak dalam berbisnis. Salah satunya bisa saja yang mengemudikan truk dan menabrak mobil sedan yang ditumpanginya dan Rini. Dia sudah paham dan tak menyalahkan siapa pun. Itu hanya musibah. Roy sudah merawatnya dengan sangat baik, dan itu sudah cukup buatnya.   Ditambah lagi dengan kecelakaan Novan dan rekan satunya, bukan hanya membuat Roy tersiksa. Dia juga merasa tersiksa. Suasana hati Roy berubah tiap menit.   Sejak awal, Sahara tak tahu bagaimana rumah tangga normal seharusnya. Dia tak mau tahu hal mengerikan apa yang sedang terjadi. Dia hanya mau Roy fokus padanya dan bayi mereka. Dia menginginkan rumah tangg
Read more

127. Gadis Penari Sang Presdir (2)

“Aku nggak tersinggung. Kamu sangat realistis dan aku suka.” Roy kembali memijat dada Sahara yang puncaknya basah karena lumatan bibirnya.   Obat penenang dari psikiaternya masih teronggok dengan isi penuh. Setelah Sahara tidur di sebelahnya, dia bahkan tak memerlukan alkohol untuk bertahan dari rasa mual. Baginya sekarang, Sahara adalah terapi yang sebenarnya.   Gairah muda Sahara yang mudah tersulut. Sorot mata yang berani dan selalu menantangnya. Membangkitkan semua pikiran liar dan mesumnya soal bercinta.   Gadis hasil pernikahan campuran yang hidup terlantar telah mengubah perasaan ibanya menjadi cinta. Saat melihat Sahara yang tinggi, berkaki bagus, dan kulitnya yang seputih gading dalam balutan pakaian SMA-nya. Tak sadar dia menjadi serakah. Meminta orang-orangnya untuk menghalangi pemuda mana pun menyentuh gadis itu. Tak sengaja, dia menjaga gadis yang seharusnya dia jadikan alat balas dendam. Dia jatuh cinta pad
Read more

128. Bahagia Yang Sementara

Malam itu Roy tertidur tanpa mimpi. Ketenangan yang menghanyutkan menggelayutinya sepanjang malam. Tertidur pulas tanpa busana di balik selimut sambil memeluk Sahara yang memunggunginya. Mereka tidur bagai sepasang sendok yang sejajar. Walau langit pagi belum memunculkan gurat keemasan pertanda datangnya matahari, seperti biasa, Roy sudah terbangun. Kesadaran pertama yang didapatnya adalah saat tangannya tersadar menyentuh perut Sahara. Dia meneruskan sentuhan itu dengan mengusapnya. Sahara mengerang lirih, namun melanjutkan tidur. Roy mengecup kuduk Sahara dan gadis itu semakin bergulung. “Aku masih ngantuk. Kenapa selalu bangun terlalu pagi?” gumam Sahara dengan suara parau. “Sudah terbiasa bangun jam segini. Dan aku mulai terbiasa ada seseorang yang bisa kusentuh bisik Roy, menciumi leher Sahara dan mengusap perut gadis itu dan tangannya terus turun. Menyelip di antara kedua paha
Read more

129. Satu Lembaran Terbuka

Irma baru saja tiba di kantor dengan mobil pribadinya. Langkahnya sedikit terburu-buru karena pukul sepuluh pagi itu mereka akan melakukan rapat subkontraktor dan dia belum bertemu Roy sejak beberapa hari karena atasannya terlalu sibuk dengan urusan pribadi. Saat menginjak teras gedung, seorang petugas parkir valet langsung mendekatinya. “Bu, ada laki-laki yang mencari Pak Roy.” Petugas Valet melongokkan kepalanya memandang ke balik pintu kaca. “Yang mana? Pria dengan kemeja biru?” tanya Irma, menatap seorang pria yang penampilan dan wajahnya terlihat jelas bahwa ianya bukan orang lokal. “Benar, Bu.” “Oke, aku masuk sekarang,” ujar Irma, masuk ke dalam dan langsung menuju pria yang wajahnya lelah dan bajunya terlihat kusut. “Morning,” sapa Irma. Pria itu mendongak. Beberapa saat
Read more

130. Lembaran Berikutnya

“Jangan macam-macam. Kau duduk diam dan biarkan aku mengemudi.” Irma memperingatkan pria di sebelahnya. “Roy akan membunuhmu kalau tau apa yang sudah kau lakukan,” sengit Irma dari belakang kemudi.   “Tapi kau tau apa yang aku lakukan,” sambung pria di sebelahnya.   “Aku tidak tau apa yang kau lakukan sampai kau yang mengatakannya. Berhenti menjadikanku bagian dari rencanamu hanya karena kau bisa melukai keluargaku. Kau bajingan pemeras!” seru Irma. Pegangannya di kemudi mobil semakin bergetar karena amarah.   Pria di sebelah Irma mengeluarkan sesuatu dari balik jaket dan meletakkannya di pinggang Irma. “Mengemudilah dengan tenang. Seseorang sedang menunggu di depan kantor Roy untuk memastikan aku kembali baik-baik saja. Pisau ini bisa menembus kulitmu sesenti dan tak akan membunuh. Tapi bagi wanita pasti sangat menyakitkan.”   “Kau laki-laki berengsek,” geram Irma, terus melajukan kendaraan ke rumah
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
30
DMCA.com Protection Status