Operasi Novan baru saja dimulai dan Roy berjalan mondar-mandir dengan sepatu boot tebalnya. Rini yang memang sedang resah, mulai terganggu dengan Roy yang keras kepala. Beberapa saat yang lalu dia sudah meminta pria itu pulang. Tapi ucapannya tidak didengar sama sekali.
“Pak, pulanglah. Kumohon,” ucap Rini. “Penampilan Anda terlihat sangat kacau … saya nggak biasa ngeliatnya. Itu bikin saya makin kalut. Kalau Anda terlihat rapi dan mengkilap seperti biasa, itu bisa membuat perasaan saya lebih baik. Semacam pertanda bahwa semuanya baik-baik aja,” ujar Rini, masih dengan wajah yang basah oleh air mata. Suaranya sengau karena sejak tadi membesut hidungnya tak henti-henti.
Roy menatap Rini tanpa ekspresi. Dia lalu menghela napas dan berjalan ke kursi besi untuk memungut ponselnya. “Aku pulang. Nanti aku kembali lagi.”
“Jangan. Beristirahatlah secukupnya. Saya … mau send
“Om keliatan capek. Aku masih bisa jalan sendiri. Kakiku udah sembuh,” ucap Sahara, mendongak menatap dagu Roy. Mereka baru melewati pintu samping dan Roy menuju tangga ke kamar.“Aku capek, tapi masih sanggup kalau hanya untuk menggendong istriku yang kakinya belum sembuh,” sahut Roy.Pikirannya sedang menimbang-nimbang, akan memulai cerita soal Novan dari mana.“Miss Rini mana? Biasanya pagi-pagi dia udah duduk di ruang makan dan nanya soal rencanaku. Apa dia sakit? Pak Novan juga nggak keliatan,” ucap Sahara.Roy mendorong pintu kamar dengan bahunya. “Duduklah di sini, aku ingin mengatakan sesuatu,” ucap Roy, meletakkan Sahara di tepi ranjang, lalu mengambil tongkat dari tangan gadis itu dan meletakkannya di sebelah nakas.“Ada apa? Jangan buat aku takut,” kata Sahara.Roy berlutut di kaki Sahara
Roy meninggalkan Sahara yang berbaring di ranjang dan menyeret langkahnya ke kamar mandi. Dia bahagia. Sangat bahagia. Tapi ganjalan di hatinya semakin terasa menyumbat.Selama air hangat menyiram kepalanya, dia terus berpikir rencana apa yang harus dia lakukan. Pikirannya kembali buntu tiap mengingat keadaan Novan dan Irfan. Dia juga khawatir kabar kehamilan Sahara akan menyakiti Rini.Usai mandi, dia berbaring di sebelah Sahara dan tertidur. Perutnya tak lapar dan mengabaikan makan siang yang dibawakan Clara ke kamar. Sahara hanya berhasil memaksanya mengunyah sepotong kecil roti. Dia tidur bagai orang mati. Dan ketika tidur pun, ternyata dia tak bisa sepenuhnya keluar dari dunia nyata. Dia kembali memimpikan kejadian saat mobil Novan meluncur dari jembatan.“Van!” pekik Roy, bangkit dari tidurnya dengan napas terengah.“Om mimpi,” kata Sahara, mengusap lengan Roy.&n
“Gimana kalau kita sekalian melihat keadaan Pak Novan? Dokter kandungan yang sedang kita tuju ini, di rumah sakit yang sama, kan?” tanya Sahara saat pagi berikutnya mereka di dalam mobil.“Aku merasa … tidak cukup bijak mengunjungi Rini dalam keadaan seperti ini,” jawab Roy dari belakang kemudi.“Aku nggak akan cerita soal kehamilan. Aku cuma mau tau keadaan Pak Novan. Boleh, kan?” tanya Sahara, memegang punggung tangan Roy yang berada di tongkat persneling.Roy menoleh sedetik karena sentuhan di tangannya. Dia ingin berterima kasih karena pengertian gadis itu yang dinilainya sangat dewasa.“Terima kasih, nanti kita menjenguk Novan.”Pertama kalinya dalam hidup, Roy tak pernah mengira bahwa dia akan menikah dan mengunjungi dokter kandungan dengan seorang gadis muda.Padahal dengan jeans biru dan kemeja pu
Malam itu, tak ada hal lain yang ada di pikiran Sahara selain menghibur suaminya. Bukan hanya menghibur Roy sebagai seorang istri yang memuaskan di ranjang, tapi juga ingin menegaskan pada pria itu, bahwa kakinya sudah sembuh dan berhenti menyalahkan diri. Sahara pernah mendengar dari Clara, kalau musuh Roy banyak dalam berbisnis. Salah satunya bisa saja yang mengemudikan truk dan menabrak mobil sedan yang ditumpanginya dan Rini. Dia sudah paham dan tak menyalahkan siapa pun. Itu hanya musibah. Roy sudah merawatnya dengan sangat baik, dan itu sudah cukup buatnya. Ditambah lagi dengan kecelakaan Novan dan rekan satunya, bukan hanya membuat Roy tersiksa. Dia juga merasa tersiksa. Suasana hati Roy berubah tiap menit. Sejak awal, Sahara tak tahu bagaimana rumah tangga normal seharusnya. Dia tak mau tahu hal mengerikan apa yang sedang terjadi. Dia hanya mau Roy fokus padanya dan bayi mereka. Dia menginginkan rumah tangg
“Aku nggak tersinggung. Kamu sangat realistis dan aku suka.” Roy kembali memijat dada Sahara yang puncaknya basah karena lumatan bibirnya. Obat penenang dari psikiaternya masih teronggok dengan isi penuh. Setelah Sahara tidur di sebelahnya, dia bahkan tak memerlukan alkohol untuk bertahan dari rasa mual. Baginya sekarang, Sahara adalah terapi yang sebenarnya. Gairah muda Sahara yang mudah tersulut. Sorot mata yang berani dan selalu menantangnya. Membangkitkan semua pikiran liar dan mesumnya soal bercinta. Gadis hasil pernikahan campuran yang hidup terlantar telah mengubah perasaan ibanya menjadi cinta. Saat melihat Sahara yang tinggi, berkaki bagus, dan kulitnya yang seputih gading dalam balutan pakaian SMA-nya. Tak sadar dia menjadi serakah. Meminta orang-orangnya untuk menghalangi pemuda mana pun menyentuh gadis itu. Tak sengaja, dia menjaga gadis yang seharusnya dia jadikan alat balas dendam. Dia jatuh cinta pad
Malam itu Roy tertidur tanpa mimpi. Ketenangan yang menghanyutkan menggelayutinya sepanjang malam. Tertidur pulas tanpa busana di balik selimut sambil memeluk Sahara yang memunggunginya. Mereka tidur bagai sepasang sendok yang sejajar.Walau langit pagi belum memunculkan gurat keemasan pertanda datangnya matahari, seperti biasa, Roy sudah terbangun. Kesadaran pertama yang didapatnya adalah saat tangannya tersadar menyentuh perut Sahara. Dia meneruskan sentuhan itu dengan mengusapnya. Sahara mengerang lirih, namun melanjutkan tidur.Roy mengecup kuduk Sahara dan gadis itu semakin bergulung.“Aku masih ngantuk. Kenapa selalu bangun terlalu pagi?” gumam Sahara dengan suara parau.“Sudah terbiasa bangun jam segini. Dan aku mulai terbiasa ada seseorang yang bisa kusentuh bisik Roy, menciumi leher Sahara dan mengusap perut gadis itu dan tangannya terus turun. Menyelip di antara kedua paha
Irma baru saja tiba di kantor dengan mobil pribadinya. Langkahnya sedikit terburu-buru karena pukul sepuluh pagi itu mereka akan melakukan rapat subkontraktor dan dia belum bertemu Roy sejak beberapa hari karena atasannya terlalu sibuk dengan urusan pribadi.Saat menginjak teras gedung, seorang petugas parkir valet langsung mendekatinya.“Bu, ada laki-laki yang mencari Pak Roy.” Petugas Valet melongokkan kepalanya memandang ke balik pintu kaca.“Yang mana? Pria dengan kemeja biru?” tanya Irma, menatap seorang pria yang penampilan dan wajahnya terlihat jelas bahwa ianya bukan orang lokal.“Benar, Bu.”“Oke, aku masuk sekarang,” ujar Irma, masuk ke dalam dan langsung menuju pria yang wajahnya lelah dan bajunya terlihat kusut.“Morning,” sapa Irma.Pria itu mendongak. Beberapa saat
“Jangan macam-macam. Kau duduk diam dan biarkan aku mengemudi.” Irma memperingatkan pria di sebelahnya. “Roy akan membunuhmu kalau tau apa yang sudah kau lakukan,” sengit Irma dari belakang kemudi. “Tapi kau tau apa yang aku lakukan,” sambung pria di sebelahnya. “Aku tidak tau apa yang kau lakukan sampai kau yang mengatakannya. Berhenti menjadikanku bagian dari rencanamu hanya karena kau bisa melukai keluargaku. Kau bajingan pemeras!” seru Irma. Pegangannya di kemudi mobil semakin bergetar karena amarah. Pria di sebelah Irma mengeluarkan sesuatu dari balik jaket dan meletakkannya di pinggang Irma. “Mengemudilah dengan tenang. Seseorang sedang menunggu di depan kantor Roy untuk memastikan aku kembali baik-baik saja. Pisau ini bisa menembus kulitmu sesenti dan tak akan membunuh. Tapi bagi wanita pasti sangat menyakitkan.” “Kau laki-laki berengsek,” geram Irma, terus melajukan kendaraan ke rumah
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov