“Jangan macam-macam. Kau duduk diam dan biarkan aku mengemudi.” Irma memperingatkan pria di sebelahnya. “Roy akan membunuhmu kalau tau apa yang sudah kau lakukan,” sengit Irma dari belakang kemudi.
“Tapi kau tau apa yang aku lakukan,” sambung pria di sebelahnya.
“Aku tidak tau apa yang kau lakukan sampai kau yang mengatakannya. Berhenti menjadikanku bagian dari rencanamu hanya karena kau bisa melukai keluargaku. Kau bajingan pemeras!” seru Irma. Pegangannya di kemudi mobil semakin bergetar karena amarah.
Pria di sebelah Irma mengeluarkan sesuatu dari balik jaket dan meletakkannya di pinggang Irma. “Mengemudilah dengan tenang. Seseorang sedang menunggu di depan kantor Roy untuk memastikan aku kembali baik-baik saja. Pisau ini bisa menembus kulitmu sesenti dan tak akan membunuh. Tapi bagi wanita pasti sangat menyakitkan.”
“Kau laki-laki berengsek,” geram Irma, terus melajukan kendaraan ke rumah
Seperti sebelumnya, Dony masuk ke rumah Roy melalui pintu samping yang dikatakan Irma sebagai tempat yang paling sepi dan paling cepat untuk mencapai ruang kerja Roy yang berada di sudut ruangan lantai itu. Ruang kerja itu jendelanya mengarah ke kebun belakang. Dan Irma mengatakan kalau Clara atau pria yang bernama Pak Wandi jarang berada di daerah sana karena tempat itu hanya ada dua tangga di sisi kanan kirinya. Tangga menuju kamar Roy di bagian depan rumah. Dan tangga menuju kamar Sahara yang jendela belakangnya juga mengarah ke kebun. Karena hari itu dia tak menerobos masuk seperti sebelumnya, Dony merasa sedikit percaya diri. Andai dipergoki, dia bisa mengatakan pada orang di rumah itu kalau Irma memintanya mengambil sesuatu dari ruang kerja Roy. Asisten Roy sedang berada di rumah sakit dan perhatian pria itu sedang terpusat pada kepolisian yang masih terus menyelidiki kasus mobil yang terperosok ke sungai. Do
“Secinta itu pada Shelly,” isak Sahara. Yang tadinya berjongkok, kini dia duduk bersimpuh di atas karpet tebal yang melapisi seluruh ruangan. “Tapi … kenapa harus di Sao Paulo? Apa karena itu kota asalnya?” Sahara membuka lembaran kertas yang berisi rancangan anggaran lengkap dan lokasi pembangunan gedung itu. “Gedung ini menghabiskan biaya yang bisa membiayai anak cucuku,” gumam Sahara. Dia kembali memasukkan semua kertas dan menyingkirkan amplop cokelat ke sebelahnya. Tangannya kemudian meraba amplop cokelat lainnya dan melihat tulisan di atas amplop itu. “Sahara?” Sahara memutar pengait benang yang mengunci amplop dan mengeluarkan kertas. Saat menarik kertas, beberapa lembar foto berukuran kartu pos ikut menyembul keluar. “Ini CV waktu aku ngelamar kerja di club?” Sahara membalik-balik kertas yang dipegangnya. “Ini memang CV yang aku kirim untuk kerja di club. Kenapa
BRAKK Irma yang sedang termenung di dalam mobil tersentak kaget saat Dony masuk terburu-buru dan membanting pintu mobil. “Cepat pergi,” pinta Dony. “Mana? Apa yang berhasil kau ambil di dalam? Kau tidak mendapatkannya juga? Kau harus berhasil! Tidak ada lain kali. Aku tak mau terus kau peras dan kau perintah-perintah!” pekik Irma. “Aku belum mendapatkannya. Lemari besi Roy nggak bisa kubuka. Kau pasti tau angka kuncinya,” sergah Dony, memiringkan tubuhnya menatap tajam pada Irma. “Kalau aku tau, mungkin sudah aku menawarkan diri untuk mengambilnya agar bisa menjejalkannya ke mulutmu.” Irma meraba tongkat persneling. Dony menyergap leher Irma dan mendorongnya sampai kepala wanita itu membentur kaca jendela mobil. “Jangan terus memaki-makiku. Kau sama saja dengan pelacur di dalam tadi. Cepat antar aku keluar dari sini,” pinta Dony, melepaskan cengke
“Jangan ingatkan aku soal makan. Sekarang aku nggak tau mana omongan Om yang benar dan mana yang enggak. Semuanya sama. Sejak awal aku ditipu.” Sahara tersedu-sedu menaiki tangga.“Maafkan aku … kamu harus makan. Rara … kamu sedang hamil. Calon bayi itu bukan kebohongan. Aku akan meminta Clara mengantarkan makan siang,” ucap Roy, merogoh saku celana mengambil ponselnya.“Antarkan makan siang istriku ke kamarnya. Dia sedang tak enak badan. Bukan kamarku. Maksudku antar ke kamar istriku sebelumnya. Terima kasih, Clara.” Roy kembali mengantongi ponselnya seraya tetap mengikuti Sahara.“Jangan ganggu aku,” pinta Sahara lagi saat tiba di depan pintu kamarnya.“Kamar kamu di sebelah sana,” ujar Roy, meletakkan kakinya untuk mengganjal pintu yang akan ditutup Sahara.“Pergi. Aku mau sendiri,” kesal Sah
Roy masih memeluk Sahara seerat-eratnya. Mengabaikan tangan Sahara yang mendorong dan memukulnya dengan sisa tenaga yang gadis itu miliki. Tangisnya yang keras perlahan menjadi sesegukan. Roy khawatir kalau gadis itu akan melukai dirinya sendiri. Walau tenaganya sudah melemah, Sahara masih bersikukuh menjauhkan dirinya dari Roy. Tangan Roy yang tegap, begitu erat melingkari tubuhnya. Telapak tangan pria itu tak henti mengusap kepalanya. Bagian depan kemeja dan jas Roy, basah karena air matanya. Luapan emosi yang dia tumpahkan sejadi-jadinya mulai membuat lemah. Meski dorongan tak bisa menyingkirkan Roy, Sahara tak mau menyentuh pria itu. Dia terisak mencoba menjauhkan wajahnya. Menangkup wajahnya sendiri dengan sepasang tangannya yang terjepit di antara dada Roy. “Lepaskan aku. Biarkan aku sendiri … aku mau sendiri. Aku capek,” ucap Sahara lemah. “Semua ini hanya berawal dari kesalahpahaman.
Roy merasa malu pada dirinya sendiri saat melakukan hal yang dia rasa harus dilakukannya. Mengecek pakaian dalam Sahara. Menyingkap dress wanita yang sedang tak sadarkan diri dan meraba celah di antara kedua pahanya, bukanlah hal yang ingin diceritakannya pada siapa pun.“Tak ada darah atau sejenisnya,” bisik Roy, merapikan dress Sahara dan menutup kaki gadis itu dengan selimut sampai ke batas pinggang.Demi apa pun di dunia ini, dia menginginkan bayi. Melihat Sahara begitu berat menerima penjelasan, rasa bersalahnya semakin menggunung. Dia baru saja meminta dokter pribadinya datang. Baru lewat tengah hari tapi rasanya sudah seharian penuh mereka berada di kamar itu. Baru beberapa jam yang lalu dia meninggalkan Sahara di dapur paviliun belakang. Sedang sarapan, meliriknya malu-malu saat menunjukkan hasil test pack pada ibunya.Tok Tok TokKetukan di pintu kamar membuat Roy langsung mengal
“Kemarilah, istriku memanggilmu,” ucap Roy di telepon. Lalu berjalan menuju dokter yang sedang duduk di depan meja rias dan menuliskan resep. Tubuhnya memang berdiri di sebelah dokter, tapi matanya tak lepas memandang Sahara yang sedang berbaring memunggungi. “Ini semuanya berisi vitamin. Minta istri Anda mengkonsumsi semuanya sesuai dosis. Jangan terlambat makan, banyak minum air putih dan konsumsi buah. Konsumsi proteinnya juga diperhatikan.” Dokter mengulurkan selembar kertas, lalu meraih tasnya dari meja rias. “Saya permisi dulu. Dan … Anda tidak perlu terlalu khawatir. Hormon wanita hamil memang membuat mereka sensitif.” Dokter tersenyum ramah. Sedangkan Roy, hanya bisa meringis kembali. Anda tidak perlu terlalu khawatir? Andai saja dokternya tahu duduk permasalahan, dia yakin ucapan itu tak akan keluar. Sahara adalah gadis yang keras kepala. Dia sudah cukup lama m
“Jangan tidur di sebelahku. Tidur di kuburan aja sana.”Sahara memang menutup sebagian wajahnya dengan selimut. Tapi pendengaran Roy masih cukup sehat untuk mendengar jelas perkataan gadis itu padanya.Roy mengernyit. Ini soal Shelly atau soal kebohongannya? Kenapa jika dicermati ucapan yang ditangkapnya adalah soal kecemburuan? Cemburu pada Shelly?Ponsel yang dikantonginya bergetar. Satu pesan dari ibunya tertera di layar.‘Roy, Ibu memasak makanan banyak dan penuh gizi untuk Rara. Pulang cepat dan bawa dia ke tempat Ibu. Sejak tadi Ibu mengirimi pesan, tapi belum dibalas. Kamu harusnya mengecek keadaan istrimu sesering mungkin. Hartamu sudah cukup banyak. Berhenti terlalu tergila-gila dengan pekerjaan.’Roy melirik Sahara yang masih menutup wajahnya. Sejenak berpikir apa yang akan dikatakannya untuk membalas pesan sang ibu. Saat menggulir ponsel, Sahara
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov