Beranda / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Bab 141 - Bab 150

Semua Bab Gadis Penari Sang Presdir: Bab 141 - Bab 150

298 Bab

141. Itu Aku

Melihat Sahara menangis, sebenarnya Rini pun ingin ikut menangis. Beberapa lama menunggui Novan sendirian di rumah sakit dan hanya berbicara dengan suaminya yang terus memejamkan mata, membuat jiwanya sedikit demi sedikit menjadi lebih rapuh. “Maafkan kalau aku menjadi kasar. Aku juga sedikit pusing. Kamu tau kalau Novan berada di rumah sakit dan belum sadarkan diri? Sebenarnya aku tak boleh mengatakan ini, tapi … Novan belum sadarkan diri karena ulah orang-orang kakakmu. Dia mencoba menyelamatkan rekannya yang bekerja di rumah sakit keluarga Spencer—rumah sakit ayahmu. Dan kalau bukan karena Roy, Novan dan rekannya pasti sudah menjadi mayat saat ditemukan. Apa yang harus kulakukan, Sahara? Menyalahkan Roy atas semua yang terjadi? Meski ini semua termasuk dalam misinya menyudutkan kakak laki-lakimu, tapi Novan punya pilihan untuk tak melakukannya. Suamiku pria dewasa yang memutuskan pilihannya sendiri. Dan saat dia tergeletak di ruang ICU hing
Baca selengkapnya

142. Ayo, makan

Saat tiba di kaki tangga, Rini menoleh ke kiri dan kanannya. Tak sadar, dia menepuk dada dan mengembuskan napas lega. Memaki-maki Roy sesaat yang lalu dan menyemprot Sahara sepuasnya, dia lupa kalau pria itu bisa saja berada di sana menguping pembicaraan mereka.   “Bagaimana? Sahara mau turun?” tanya Clara. “Kau berhasil membujuknya?”   Clara kembali muncul ke ruang makan saat Rini membuka panci kecil berisi sup asparagus.   “Jawab aku,”—menyalakan kompor kecil—“bagaimana caramu membujuknya?” tanya Clara.   “Sepertinya kau juga sangat menyayangi gadis itu, ya? Terlalu mengkhawatirkannya. Aku nggak bisa ngomong lembut ke orang yang menyiksa dirinya sendiri.” Rini mengambil mangkok sup dan mulai mengisinya.   “Orang terdekatnya selama ini hanya seorang pengasuh yang sudah dia anggap sebagai ibu kandung. Dia tumbuh besar dengan keadaan serba terpaksa. Terpaksa mencari uang banyak un
Baca selengkapnya

143. Tugasku Meyakinkanmu

“Mau makan apa? Kamu boleh memakan apa pun yang kamu mau. Tapi ... sebaiknya makan ini dulu, ya.” Roy menyodorkan mangkuk berisi sup ke depan Sahara.   Roy meletakkan sendok di tangan Sahara dan menunggunya dengan hati-hati. Seakan-akan dia sedang mempersiapkan diri kalau gadis itu sewaktu-waktu mencampakkan mangkuknya.   Clara menyodorkan piring kecil berisi beberapa potong bruschetta pada Roy, tanpa suara. Clara juga sepertinya sangat khawatir kalau pergerakannya terlihat oleh Sahara. Roy pun mengambilnya dari tengah meja tanpa menoleh pada Clara. Menyodorkannya perlahan ke dekat mangkuk Sahara.   “Aku bisa menyuapimu kalau mau,” ujar Roy.   “Jangan, aku bisa,” cegah Sahara setengah berbisik.   Rini memperhatikan tingkah Roy dengan seksama. Andai Roy adalah penjahat, kejahatan yang dilakukannya pasti sangat terorganisir sekali, pikirnya. Sahara pasti merasa sedang sangat dilaya
Baca selengkapnya

144. Kau Membuat Perasaanku Lebih Baik

“Kasihan?” Roy berhenti mengupas apel dan meletakkan pisaunya. Menggeser kursinya sendiri lalu kursi Sahara agar posisi mereka berhadapan. “Dengarkan aku,” kata Roy, meraih kedua tangan Sahara dan menggenggamnya di atas pangkuan gadis itu.   “Dulu aku selalu menyesali apa yang terjadi dalam hidupku. Aku selalu bertanya-tanya kenapa semua hal yang kurencanakan untuk masa depanku, tidak ada satu pun yang berjalan lancar. Aku menyalahkan diri sendiri setiap detiknya. Sampai dengan aku melihatmu tidur di sebelahku dengan perasaan yang sama sekali berbeda. Lalu … aku mengingat percakapanku dengan ayahku, Pak Tua Smith. Aku pernah bertanya padanya, bagaimana dia yakin saat menikahi ibuku? Ibuku adalah seorang wanita lokal yang dikenalnya pertama kali saat menginjak negara ini. Kenapa begitu yakin menikahi ibuku dalam jangka waktu yang begitu cepat? Kamu tahu alasan ayahku?”   “Dia jatuh cinta pada pandangan pertama?” tebak Sahara.  
Baca selengkapnya

145. Keagresifanmu

Sedetik permukaan bibirnya menyentuh bibir Sahara, Roy langsung memejamkan mata. Bagaimana caranya mengatakan bahwa dia memikirkan gadis itu setiap saat, sepanjang hari, apakah itu akan terdengar terlalu dibuat-buat dan tidak tulus?   Tapi … apa seorang gadis muda cukup dengan hanya mendengar bahwa dirinya dipikirkan sepanjang hari?   Roy memegang bagian belakang kepala Sahara. Memberi penahan pada gadis itu agar tak terkulai ke belakang. Kelelahan dan kerinduannya berkonspirasi menciptakan tindakan agresif. Bibirnya mengecap, melumat, dan mencicipi rasa bibir Sahara yang sangat hangat. Membasahinya, lalu mendorongnya dengan lidah dengan sedikit memaksa agar mulut gadis itu membuka untuknya.   Saat Roy mendekat tadi, sosok pria itu membuat buncahan kerinduan berubah menjadi denyut liar di beberapa bagian tubuh Sahara. Seharian tanpa sentuhan tangan kekar Roy, turut membuat beberapa bagian tubuhnya memprotes. Dia meraup k
Baca selengkapnya

146. Gairahmu

Dalam suara parau Sahara yang menggoda penuh janji dan gesekan pinggul mereka, Roy mengira kalau bisa mencapai klimaks saat itu juga. Suara Sahara benar-benar membuat darahnya berdesir hebat. Tangannya berpindah ke depan dan mengangkat rok terusan itu sampai ke paha. Menyelipkan tangannya ke balik lapisan pakaian dalam. Sahara mengatakan menginginkannya, tetapi dia membutuhkan bukti. Dia harus merasakannya. Roy ingin menggoda Sahara dengan menyentuh seinci demi seinci—memanjakan sekaligus menyiksa dengan kenikmatan. Tapi dia sudah menghabiskan stok kesabarannya untuk kemarin. Menahan diri begitu hebat untuk tidak menyentuh gadis itu. Roy menangkupkan daerah intim Sahara dengan telapak tangan. Erangan pelan terlontar dari bibirnya. Ternyata benar, Sahara sudah siap untuknya. Bagian tubuh Sahara yang paling feminin sudah panas dan basah serta bergetar oleh sentuhannya. Terasa sangat erotis di bawah telapak tangannya. Satu tangan Roy meng
Baca selengkapnya

147. Sedikit Demi Sedikit

“Tuan Sergio, saya Irma, sekretaris Pak Roy Smith yang tempo hari bertemu Anda di lobi gedung kantor,” jelas Irma dalam bahasa Inggris saat Sergio menghampirinya.   Mata Sergio membulat senang. “Terima kasih karena menepati janji datang ke sini. Apa saya sudah bisa bertemu dengan Talita? Saya tak sabar ingin memberi kabar pada Tuan Spencer,” ujar Sergio.   Irma datang berniat memastikan apakah alamat penginapan yang diberikan Sergio padanya benar. Sedangkan untuk langsung membawa Sergio hari itu untuk bertemu dengan Roy, dia belum sempat. Ada hal penting yang berkaitan dengan kepindahannya yang belum selesai. Dan juga … dia menunggu pesan Roy yang sedikit berbeda untuknya.   Selama dia menghilang, Roy hanya sekali mengirimkan satu pesan padanya. Itu pun hanya berisi pesan yang menanyakan soal pria yang dibawanya masuk ke rumah. Selebihnya tak ada. Selama Roy berada di Brasil menyelesaikan masalahnya dulu, dialah yang mem
Baca selengkapnya

148. Saran Ibu

Gustika duduk di dapur sekaligus ruang makannya dengan wajah berbinar-binar. Dapur kecil bertema rustic itu sangat cantik dengan tambahan penataan meja makan yang spesial dibuat untuk makan malam bersama anak dan menantunya.   “Apa kamu sehat? Mari duduk di sebelah Ibu,” ajak Gustika merentangkan tangannya pada Sahara.   Roy mendahului Sahara dan menarik kursi di sebelah ibunya untuk wanita itu.   “Terima kasih,” ucap Sahara, mendongak menatap Roy yang menarik senyum tipis padanya.   Berada di antara Roy dan ibunya membuat Sahara selalu merasa spesial. Dia menatap wajah ibu Roy yang sedang menyendokkan sup ke mangkuk-mangkuk di depannya. Pandangan Sahara turun menatap kaki Gustika yang terlihat lebih kecil di balik selimut yang menutupinya. Wanita tua di kursi roda ini sangat ceria meski tubuhnya terlihat tak begitu sehat, pikir Sahara.   Kasihan sekali. Roy dan ibunya benar-bena
Baca selengkapnya

149. Obrolan Hati ke Hati

Obrolan dari hati ke hati yang disarankan ibunya sedang coba Roy praktekkan. Dia membantu Sahara memilih pakaian tidur dan membantu mengancingkannya seraya mengobrol.   “Apa yang menjadi ganjalan hatimu? Apa boleh aku tahu? Mulai sekarang aku akan belajar menjadi suami seperti umumnya,” ucap Roy, memungut gaun malam Sahara dan meletakkannya ke keranjang pakaian kotor.   Sahara melihat apa yang dilakukan Roy dan mengucapkan, “Maaf, aku berantakan. Jangan gitu lagi. Biarkan aku membereskan barang-barangku sendiri,” ujar Sahara, berjalan perlahan menuju meja rias.   “Aku senang melakukannya. Jangan larang aku merawat istriku,” ucap Roy, meraih sikat lembut dan menyisir rambut Sahara perlahan.   “Om …,” panggil Sahara.   “Hmmm?” Roy memandang lewat pantulan kaca.   “Bagaimana kalau … Pak Novan tidak bangun lagi? Apa yang akan Om lakukan?” Sahara menatap dengan so
Baca selengkapnya

150. Puncak Kecemburuan

Irma tidak membawa banyak pakaian. Dia mengemas pakaian bersama milik ibunya ke dalam tiga koper besar. Di Pulau Pinang dia sudah menyewa sebuah studio yang letaknya berdekatan dengan rumah sakit. Setelah mengantarkan beberapa surat demi melengkapi berkas pengobatan ibunya, Irma melajukan mobil menuju penginapan Sergio.   Baru saja mematikan mesin mobil di depan penginapan, ponselnya bergetar dan salah satu staf khusus yang biasa berhubungan dengannya menelepon.   “Ada apa?” tanya Irma. Dia menerka kalau Roy belum ada mengatakan apa pun soal ketidakhadirannya di kantor. Pria itu pasti hanya mengatakan soal dia yang izin beberapa hari karena suatu urusan atau sedang sakit. Seperti biasa. Roy tak mau repot-repot terlalu mau tahu urusannya.   “Sepertinya kondisi Irfan kembali menurun. Mereka belum mengabarkan apa pun pada Pak Roy. Menurut Ibu bagaimana? Apa perlu kita kabari sekarang? Saya khawatir kondisi Irfan kali ini be
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
30
DMCA.com Protection Status