Beranda / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Bab 151 - Bab 160

Semua Bab Gadis Penari Sang Presdir: Bab 151 - Bab 160

298 Bab

151. Harusnya Jangan Tinggalkan Aku

“Apa yang sudah kulakukan?” ucap Sahara mengulangi pertanyaan Irma.   “Oh, aku salah pertanyaan. Apa yang bisa kau lakukan lebih tepatnya. Selain … tidur dengan Roy. Apa lagi yang bisa kau lakukan? Apa sekarang kau merasa kalau kau sudah menjadi istri sungguhan? Kau percaya kalau dia mencintaimu? Apa yang sudah dikatakannya untuk meyakinkanmu?”   “Anda tidak perlu tau percakapan suami istri. Itu rahasia,” jawab Sahara, menatap Irma dengan sorot mata yang dingin. “Anda cuma cemburu, Bu. Berapa lama Anda mencintai suamiku? Kenapa Anda tidak pernah mengungkapkannya?” Sahara berjalan mendekati Irma.   “Lakukan sesuatu. Kalau kau ingin berguna untuk Roy, pergi datangi ayahmu dan laporkan apa yang telah dilakukan putranya di negara ini. Atau bisa jadi ayahmu yang berada di balik ini semuanya. Kenapa kau tidak mencari tau? Apa kau sanggup tidur dengan laki-laki yang seluruh keluarganya dicelakai keluargamu? Bahkan misteri kemat
Baca selengkapnya

152. Banyak Duka

Sahara berjalan tertatih membawa tas parasutnya. Tiba di kaki tangga, Clara datang menghampiri dengan wajah bingung.   “Ada apa ini? Siapa laki-laki itu? Untuk apa tas ini?” Clara memegangi tas yang dibawa Sahara. Setengah menahan beban tas itu agar tak terlalu berat buat Sahara.   “Aku mau pergi ikut Bapak itu.” Sahara memandang Sergio. “Dia suruhan ayahku. Aku udah dijemput, Clara. Kurasa aku memang harus bantu suamiku. Aku mau berguna buat Roy. Meski aku memang ditelantarkan ayahku dan nggak pernah dinafkahi, tapi sekarang Roy suamiku. Wajar kalau Roy menanggung hidupku. Aku bukan gelandangan yang dipungut Roy. Kalau ibuku berniat mengambil suami orang, dia pasti udah mengemis agar aku dinafkahi. Atau dia bisa mengantarkanku dari dulu. Atau malah memeras ayahku. Nyatanya ibuku meninggal dalam keadaan miskin.” Sahara menatap tajam pada Irma meski wajahnya berurai air mata.   “Jangan pergi … kumohon Sahara. Tunggu Pak R
Baca selengkapnya

153. Melanggar Janjimu

Seorang staf khusus yang tadi berdiri tak jauh dari dua pengacara yang mengapit ibunda Irfan, sontak menjauh saat melihat Roy menghujani seorang pria yang barusan menjawab dengan ketus.   Herbert yang baru selesai berbicara pada Letta menghambur untuk menangkap atasannya. Tapi ternyata, emosi Roy lagi itu tak bisa dibendung. Roy mengibaskan tangan kirinya yang dipegang Herbert dan asisten pengganti itu terjajar beberapa langkah.   “Pak, Anda bisa membuat kasus baru,” bisik staf khusus saat maju mendekati Roy yang berdiri mengendurkan dasinya seraya menatap tajam seorang pria yang mengusap darah dari mulut.   “Kasus baru? Aku tak sabar menunggu kasus baru yang sedang mereka susun. Aku ingin menambah pekerjaan mereka dengan memberi kasus baru. Lepaskan aku—” Roy kembali mengibaskan tangannya agar dilepaskan. “Kau … berdiri!”   “Pasal penganiayaan. Anda menambah urusan ini semakin lebih rumit.” Suara se
Baca selengkapnya

154. Menyelesaikan Irma

Roy berangkat mengantarkan jenazah Irfan bersama ibunya bersama dua staf khusus dan Herbert yang mendampingi. Pukul empat sore jenazah pria itu dimakamkan dengan hanya dihadiri oleh segelintir orang terdekat.   Irfan berasal dari keluarga sederhana yang merantau ke ibukota untuk mengubah nasib keluarga. Keberaniannya bekerja dengan resiko dan bayaran besar ternyata terdesak kebutuhan ekonomi keluarga. Dia meninggal di usia dua puluh delapan tahun. Sangat muda, belum menikah, meninggalkan seorang ibu dan dua orang adik perempuan.   Herbert menyerahkan sebuntalan kertas yang berisi dokumen bank bantuan dari perusahaan, bayaran Irfan untuk pekerjaan yang dianggap selesai, serta surat-surat proses pencairan tiga asuransi yang dibayarkan Roy sekaligus untuk orang tua dan adik-adiknya.   Selama Herbert berbicara dengan orang tua Irfan di rumahnya, Roy masih berdiri di depan makam yang tanahnya masih basah. Pikirannya melayang
Baca selengkapnya

155. Sasaran Patah Hati

Tak disangka, Irma mulai menangis tersedu-sedu. Wajah kesal yang diperlihatkannya di awal tadi, berganti dengan ekspresi kesedihan luar biasa. Pak Wandi datang tergopoh-gopoh bersama Clara dan dua orang teknisi yang menenteng sekotak peralatan. Suara ledakan tadi membuat mereka mengira ada sesuatu yang meledak dan segera memerlukan perbaikan.   “Pak?” Pak Wandi menatap ngeri pada Roy yang berdiri memegang senjata api di depan sekretarisnya yang sedang menangis.   “Aku tak apa-apa. Katakan pada semua orang, untuk tak terlihat malam ini. Aku sedang menanti tamu penting. Jangan ada yang keluar sampai besok pagi,” sahut Roy tanpa menoleh pada Pak Wandi.   Clara menyingkir dari ruangan itu setelah Pak Wandi menyeret tangannya. Dua teknisi tak ingin membahas kejadian barusan. Membereskan lantai yang rusak bukan bagian mereka. Mereka bisa kembali ke gedung pegawai dan melanjutkan tidur.   “Irma … pertama-ta
Baca selengkapnya

156. Aku Tidak Menerima Pamrih

Hampir tengah malam, Irma duduk di ruang makan rumah Roy dengan jantung berdebar. Roy memintanya bersikap santai, yang mana tak mungkin dia lakukan. Malam itu, bisa saja terjadi pembunuhan. Dony adalah pecandu yang amarahnya tak terkendali. Kemarahannya meledak-ledak, tapi Irma terkadang menyukai kemarahan pria itu pada Roy.   Itu sebabnya dia merasa tak perlu memberitahu perihal siapa dalang kecelakaan di jalan tol pada Roy. Yang terpenting baginya, dia tak ada campur tangan sama sekali soal kecelakaan itu. Dia hanya mendengar Dony pernah mengatakan saat marah karena orangnya gagal menculik Sahara.   Dalam hatinya yang dipenuhi amarah kecemburuan, Irma senang kalau Sahara diambil dari Roy. Tapi dia juga senang saat melihat Dony marah dan mau tak mau mengakui ketangguhan Roy berkelahi. Rasanya dia makin tergila-gila membayangkan Roy yang pastinya sangat jantan saat menghajar orang suruhan Dony.   Sudah lama angan malamny
Baca selengkapnya

157. Penyelesaian Untuk Kalian

“Bawa yang kau pegang itu dan berjalanlah keluar ruangan. Kau seperti tikus yang terpancing hanya dengan sepotong keju.” Roy tertawa mengejek. Menggerakkan pistolnya untuk mengajak Dony keluar dengan segera.   Dony menuruti perintah Roy untuk membawa potongan kertas keluar dari balik meja. Roy melangkah mundur dengan satu tangan berada di saku dan tangan lainnya menggenggam pistol.   “Ayo—ayo, cepat. Pergi ke ruang makan dan temui sekutumu.” Roy menunjuk ruang makan dengan pistolnya.   “Pelacur berengsek!” sergah Dony saat tatapannya beradu dengan Irma. Wanita itu tak menjawab. Hanya melemparkan tatapan siaga pada Roy yang kini kembali memasang raut dingin.   “Lepaskan jaketmu dan keluarkan benda yang kau simpan di balik punggung. Aku tahu kau membawa sesuatu. Mustahil kau kembali ke sini dengan hanya melenggang. Kalau kulihat dari penampilanmu, kau tak akan sanggup membeli sebuah pistol, meski seked
Baca selengkapnya

158. Ikuti Perintahku

Roy merogoh saku kiri piyamanya dan mengeluarkan ponsel. “Orang-orangmu? Orang-orangmu kau bilang? Aku akan tunjukkan padamu bahwa aku tak perlu orang-orangku hanya untuk menyingkirkan seekor serangga sepertimu.”   Nama seseorang yang sudah dihubunginya beberapa saat yang lalu seusai mandi, tertera di layar.   “Halo? Donald? Sebentar,” ucap Roy, kembali menekan lutut Dony dengan kakinya. “Bersuaralah,” pinta Roy.   “Aaarrrghhh,” pekik Dony.   “Bagus,” sahut Roy. “Kau dengar? Semoga sekarang kau sudah percaya. Setelah menelepon beberapa orang, akhirnya aku tahu siapa yang memegang bisnis harammu itu. Karena kebetulan dia bawahanmu, dan kau membutuhkan sesuatu dariku, bagaimana kalau kita menjalankan kesepakatan yang kita bicarakan tadi?” Roy mengangkat kakinya dari lutut Dony dan mundur beberapa langkah.   “Beri jaminan bahwa bawahanmu ini tidak mengganggu orang-orangku lagi. Kala
Baca selengkapnya

159. Mencuri Dengar

Roy baru saja mau melepaskan headset dari telinganya. Tapi topik pembicaraan di kantor Thomas tiba-tiba berubah. Lawan bicara Thomas yang diduga Roy sebagai Edward mendadak keluar ruangan karena masuknya seseorang.   “Aku ingin bicara denganmu,” ucap wanita itu.   Roy lanjut mencuri dengar pembicara Thomas. Dia mengetatkan headset dan menegakkan duduknya. Matanya sejak tadi tertuju pada wajah Sahara di layar besar.   “Ini masih pagi. Aku bahkan belum minum kopi. Apa yang membuatmu datang sepagi ini?” tanya Thomas. Roy menajamkan pendengarannya.   “Aku diusir dari penthouse yang kau minta tempati minggu lalu. Tiga orang pria dan pengelola gedung datang mengatakan kalau aku menempati properti orang lain. Sebenarnya apa yang kau lakukan, Thomas? Milik siapa penthouse itu? Kenapa mereka menyebut-nyebut nama Anna? Apa itu milik istrimu?”   BRAKK   Roy sedikit ters
Baca selengkapnya

160. Kedatangan dan Keberangkatan

Sahara merasa lehernya sedikit kaku dan punggungnya pegal. Walau menempati kursi kelas bisnis yang bisa meluruskan kaki saat tidur, tetap saja rasanya beda dengan ranjang. Pramugari baru saja mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat sesaat lagi. Pandangannya beralih ke luar jendela. Hanya terlihat tumpukan awan yang menyerupai ranjang.   Menyerupai ranjang?   Sahara mengembuskan napas panjang, seraya melipat selimut yang sudah selesai dia gunakan. Membenarkan letak tas yang dipangkunya, lalu kembali memandang ke luar jendela. Tangannya mengusap perut perlahan. Sergio di sebelahnya juga sedang memandang ke luar jendela dengan sisi yang berbeda. Sahara menyukai pria itu. Tak banyak bicara dan melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati.   Pikirannya kembali ke kamar Roy. Dia rindu ranjang besar tempatnya biasa bergulung dan memandangi Roy yang berdiri telanjang di balik kaca kamar mandi buram karena uap air hangat yang sedan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1415161718
...
30
DMCA.com Protection Status