Hampir tengah malam, Irma duduk di ruang makan rumah Roy dengan jantung berdebar. Roy memintanya bersikap santai, yang mana tak mungkin dia lakukan. Malam itu, bisa saja terjadi pembunuhan. Dony adalah pecandu yang amarahnya tak terkendali. Kemarahannya meledak-ledak, tapi Irma terkadang menyukai kemarahan pria itu pada Roy.
Itu sebabnya dia merasa tak perlu memberitahu perihal siapa dalang kecelakaan di jalan tol pada Roy. Yang terpenting baginya, dia tak ada campur tangan sama sekali soal kecelakaan itu. Dia hanya mendengar Dony pernah mengatakan saat marah karena orangnya gagal menculik Sahara.
Dalam hatinya yang dipenuhi amarah kecemburuan, Irma senang kalau Sahara diambil dari Roy. Tapi dia juga senang saat melihat Dony marah dan mau tak mau mengakui ketangguhan Roy berkelahi. Rasanya dia makin tergila-gila membayangkan Roy yang pastinya sangat jantan saat menghajar orang suruhan Dony.
Sudah lama angan malamny
“Bawa yang kau pegang itu dan berjalanlah keluar ruangan. Kau seperti tikus yang terpancing hanya dengan sepotong keju.” Roy tertawa mengejek. Menggerakkan pistolnya untuk mengajak Dony keluar dengan segera. Dony menuruti perintah Roy untuk membawa potongan kertas keluar dari balik meja. Roy melangkah mundur dengan satu tangan berada di saku dan tangan lainnya menggenggam pistol. “Ayo—ayo, cepat. Pergi ke ruang makan dan temui sekutumu.” Roy menunjuk ruang makan dengan pistolnya. “Pelacur berengsek!” sergah Dony saat tatapannya beradu dengan Irma. Wanita itu tak menjawab. Hanya melemparkan tatapan siaga pada Roy yang kini kembali memasang raut dingin. “Lepaskan jaketmu dan keluarkan benda yang kau simpan di balik punggung. Aku tahu kau membawa sesuatu. Mustahil kau kembali ke sini dengan hanya melenggang. Kalau kulihat dari penampilanmu, kau tak akan sanggup membeli sebuah pistol, meski seked
Roy merogoh saku kiri piyamanya dan mengeluarkan ponsel. “Orang-orangmu? Orang-orangmu kau bilang? Aku akan tunjukkan padamu bahwa aku tak perlu orang-orangku hanya untuk menyingkirkan seekor serangga sepertimu.” Nama seseorang yang sudah dihubunginya beberapa saat yang lalu seusai mandi, tertera di layar. “Halo? Donald? Sebentar,” ucap Roy, kembali menekan lutut Dony dengan kakinya. “Bersuaralah,” pinta Roy. “Aaarrrghhh,” pekik Dony. “Bagus,” sahut Roy. “Kau dengar? Semoga sekarang kau sudah percaya. Setelah menelepon beberapa orang, akhirnya aku tahu siapa yang memegang bisnis harammu itu. Karena kebetulan dia bawahanmu, dan kau membutuhkan sesuatu dariku, bagaimana kalau kita menjalankan kesepakatan yang kita bicarakan tadi?” Roy mengangkat kakinya dari lutut Dony dan mundur beberapa langkah. “Beri jaminan bahwa bawahanmu ini tidak mengganggu orang-orangku lagi. Kala
Roy baru saja mau melepaskan headset dari telinganya. Tapi topik pembicaraan di kantor Thomas tiba-tiba berubah. Lawan bicara Thomas yang diduga Roy sebagai Edward mendadak keluar ruangan karena masuknya seseorang. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap wanita itu. Roy lanjut mencuri dengar pembicara Thomas. Dia mengetatkan headset dan menegakkan duduknya. Matanya sejak tadi tertuju pada wajah Sahara di layar besar. “Ini masih pagi. Aku bahkan belum minum kopi. Apa yang membuatmu datang sepagi ini?” tanya Thomas. Roy menajamkan pendengarannya. “Aku diusir dari penthouse yang kau minta tempati minggu lalu. Tiga orang pria dan pengelola gedung datang mengatakan kalau aku menempati properti orang lain. Sebenarnya apa yang kau lakukan, Thomas? Milik siapa penthouse itu? Kenapa mereka menyebut-nyebut nama Anna? Apa itu milik istrimu?” BRAKK Roy sedikit ters
Sahara merasa lehernya sedikit kaku dan punggungnya pegal. Walau menempati kursi kelas bisnis yang bisa meluruskan kaki saat tidur, tetap saja rasanya beda dengan ranjang. Pramugari baru saja mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat sesaat lagi. Pandangannya beralih ke luar jendela. Hanya terlihat tumpukan awan yang menyerupai ranjang. Menyerupai ranjang? Sahara mengembuskan napas panjang, seraya melipat selimut yang sudah selesai dia gunakan. Membenarkan letak tas yang dipangkunya, lalu kembali memandang ke luar jendela. Tangannya mengusap perut perlahan. Sergio di sebelahnya juga sedang memandang ke luar jendela dengan sisi yang berbeda. Sahara menyukai pria itu. Tak banyak bicara dan melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati. Pikirannya kembali ke kamar Roy. Dia rindu ranjang besar tempatnya biasa bergulung dan memandangi Roy yang berdiri telanjang di balik kaca kamar mandi buram karena uap air hangat yang sedan
Rini berjalan hilir mudik di depan ruang ICU dengan sebuah laptop milik Novan yang diletakkannya di kursi besi. Sesekali dia berjongkok dan mengetikkan sesuatu di laptop. Setelah melihat layar kembali melakukan penolakan, dia kembali berdiri dan mengumpat. Kemarin Roy mengiriminya file yang berisi beberapa lembar rincian rencana yang disusun pria itu secara mendadak. Pada akhir pesan Roy, pria itu menyertakan sederet angka kombinasi untuk membuka laptop Novan. Rini tak tahu dari mana Roy mendapatkan angka-angka itu. Saat mencobanya satu persatu, otaknya ikut bekerja dengan menebak angka apa yang dijadikan Roy sebagai ide. Beberapa terlihat seperti tanggal. Dia kembali berpikir keras. Adakah hari-hari spesial yang dilalui Roy bersama Novan yang tidak dia ketahui? Lebih selusin mengetik angka yang disarankan Roy, Rini kembali bersungut-sungut pada laptop Novan. Dia menutup agenda dan membantingnya ke kursi dengan rau
“Selamat datang di Sao Paulo. Kita akan langsung menuju hotel di mana kantor Tuan Thomas Sebastian Spencer berada. Jangan kecewa karena hotel ini bukan berada di Avenida Paulista. Meski jauh dari distrik bisnis terbesar di kota ini, hotel orang tua Anda cukup terkenal dan megah di Santo Andre.” Seorang pria yang duduk di sebelah supir berbicara dalam bahasa Inggris yang sedikit dimengerti oleh Sahara. Bersyukur karena Roy menyekolahkannya di sekolah swasta terbaik yang cukup mahal. Sahara mengabaikan penjelasan soal kota yang baru disebutkan oleh pria di depannya. Awal tadi, dia mengira kalau kedua pria itu adalah suruhan ayahnya. Tapi ternyata, penyebab perdebatan Sergio beberapa saat yang lalu sudah terjelaskan. “Simpan ponselmu, Sergio. Jangan hubungi Tuan Spencer sebelum Tuan Thomas berbicara dengan adiknya. Katanya dia tak sabar ingin reuni keluarga. Tuan Thomas akan membawa adiknya pulang dan memperkenalkanny
“Ini gila—gila,” bisik Rini, membuka semua email dari mendiang Irfan. Dia mengunduh semua berkas dan menyimpannya ke dalam sebuah folder di cloud. “Lalu—lalu? Apa lagi yang diminta Roy tadi?” Rini merasa seluruh tubuhnya gatal-gatal karena rasa panik diburu waktu. “Oh, lihat rencana—lihat rencana,” ucap Rini sendirian, merogoh kantong sweater-nya lagi. “Bu Rini, diminta Pak Novan masuk ke dalam," seru perawat dari pintu ruang ICU. “Novan? Sudah selesai diperiksa? Bagaimana, Sus? Mana dokternya?” Rini melongok ke balik dinding kaca dan tak melihat dokter yang memeriksa Novan tadi. “Dokter baru keluar. Hasil pemeriksaan Pak Novan semuanya baik. Tidak linglung. Sadar situasi sekeliling dan bisa menceritakan kejadian terakhir yang menimpanya. Selesai masa observasi, Pak Novan bakal dipindahkan ke ruang rawat biasa. Sekarang Pak Novan mau bertemu istrinya,” jelas Perawat. Pe
“Biar aku yang mengerjakan. Kamu belum pulih. Lebih baik berkonsentrasi menumbuhkan rambutmu yang dicukur karena operasi itu,” kata Rini, menarik laptop dari pangkuan Novan. “Aku bisa. Harus aku yang mengerjakannya. Urutan rencana ini tertulis sampai PLAN D.” Novan mengetuk layar laptop. “Kamu tahu sendiri Pak Roy pasti memikirkan semua kemungkinan sampai ke hal terkecil. Dan aku masuk dalam PLAN A, Rin. Sebelum berangkat dia masih berharap penuh aku segera bangun. Jadi … harus aku yang mengerjakannya.” Novan kembali mengambil laptop dan memangkunya. “Apa yang dilakukan Pak Roy pertama kali? Menjemput Sahara? Di mana?” Rini menjengukkan kepalanya memandang layar. “Sabar. Aku harus menyusun kronologi kejadian dari awal sampai akhir. Disertai dengan bukti-bukti lengkap yang kita peroleh dari Irfan,” kata Novan. “Kalau kamu nggak bangun dan laptop belum bisa dibuka, apa bukti yang harus aku sert
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov