Beranda / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Bab 131 - Bab 140

Semua Bab Gadis Penari Sang Presdir: Bab 131 - Bab 140

298 Bab

131. Fakta Lama Yang Harus Kuakui

Seperti sebelumnya, Dony masuk ke rumah Roy melalui pintu samping yang dikatakan Irma sebagai tempat yang paling sepi dan paling cepat untuk mencapai ruang kerja Roy yang berada di sudut ruangan lantai itu.   Ruang kerja itu jendelanya mengarah ke kebun belakang. Dan Irma mengatakan kalau Clara atau pria yang bernama Pak Wandi jarang berada di daerah sana karena tempat itu hanya ada dua tangga di sisi kanan kirinya. Tangga menuju kamar Roy di bagian depan rumah. Dan tangga menuju kamar Sahara yang jendela belakangnya juga mengarah ke kebun.   Karena hari itu dia tak menerobos masuk seperti sebelumnya, Dony merasa sedikit percaya diri. Andai dipergoki, dia bisa mengatakan pada orang di rumah itu kalau Irma memintanya mengambil sesuatu dari ruang kerja Roy. Asisten Roy sedang berada di rumah sakit dan perhatian pria itu sedang terpusat pada kepolisian yang masih terus menyelidiki kasus mobil yang terperosok ke sungai.   Do
Baca selengkapnya

132. Alasanmu Membenciku

“Secinta itu pada Shelly,” isak Sahara.   Yang tadinya berjongkok, kini dia duduk bersimpuh di atas karpet tebal yang melapisi seluruh ruangan.   “Tapi … kenapa harus di Sao Paulo? Apa karena itu kota asalnya?” Sahara membuka lembaran kertas yang berisi rancangan anggaran lengkap dan lokasi pembangunan gedung itu. “Gedung ini menghabiskan biaya yang bisa membiayai anak cucuku,” gumam Sahara.   Dia kembali memasukkan semua kertas dan menyingkirkan amplop cokelat ke sebelahnya. Tangannya kemudian meraba amplop cokelat lainnya dan melihat tulisan di atas amplop itu.   “Sahara?” Sahara memutar pengait benang yang mengunci amplop dan mengeluarkan kertas. Saat menarik kertas, beberapa lembar foto berukuran kartu pos ikut menyembul keluar.   “Ini CV waktu aku ngelamar kerja di club?” Sahara membalik-balik kertas yang dipegangnya. “Ini memang CV yang aku kirim untuk kerja di club. Kenapa
Baca selengkapnya

133. Jangan Minta Aku Menjauhimu

BRAKK   Irma yang sedang termenung di dalam mobil tersentak kaget saat Dony masuk terburu-buru dan membanting pintu mobil.   “Cepat pergi,” pinta Dony.   “Mana? Apa yang berhasil kau ambil di dalam? Kau tidak mendapatkannya juga? Kau harus berhasil! Tidak ada lain kali. Aku tak mau terus kau peras dan kau perintah-perintah!” pekik Irma.   “Aku belum mendapatkannya. Lemari besi Roy nggak bisa kubuka. Kau pasti tau angka kuncinya,” sergah Dony, memiringkan tubuhnya menatap tajam pada Irma.   “Kalau aku tau, mungkin sudah aku menawarkan diri untuk mengambilnya agar bisa menjejalkannya ke mulutmu.” Irma meraba tongkat persneling.   Dony menyergap leher Irma dan mendorongnya sampai kepala wanita itu membentur kaca jendela mobil. “Jangan terus memaki-makiku. Kau sama saja dengan pelacur di dalam tadi. Cepat antar aku keluar dari sini,” pinta Dony, melepaskan cengke
Baca selengkapnya

134. Maafkan Aku (Lagi)

“Jangan ingatkan aku soal makan. Sekarang aku nggak tau mana omongan Om yang benar dan mana yang enggak. Semuanya sama. Sejak awal aku ditipu.” Sahara tersedu-sedu menaiki tangga. “Maafkan aku … kamu harus makan. Rara … kamu sedang hamil. Calon bayi itu bukan kebohongan. Aku akan meminta Clara mengantarkan makan siang,” ucap Roy, merogoh saku celana mengambil ponselnya. “Antarkan makan siang istriku ke kamarnya. Dia sedang tak enak badan. Bukan kamarku. Maksudku antar ke kamar istriku sebelumnya. Terima kasih, Clara.” Roy kembali mengantongi ponselnya seraya tetap mengikuti Sahara. “Jangan ganggu aku,” pinta Sahara lagi saat tiba di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sebelah sana,” ujar Roy, meletakkan kakinya untuk mengganjal pintu yang akan ditutup Sahara. “Pergi. Aku mau sendiri,” kesal Sah
Baca selengkapnya

135. Dengarkan Aku

Roy masih memeluk Sahara seerat-eratnya. Mengabaikan tangan Sahara yang mendorong dan memukulnya dengan sisa tenaga yang gadis itu miliki. Tangisnya yang keras perlahan menjadi sesegukan. Roy khawatir kalau gadis itu akan melukai dirinya sendiri.   Walau tenaganya sudah melemah, Sahara masih bersikukuh menjauhkan dirinya dari Roy. Tangan Roy yang tegap, begitu erat melingkari tubuhnya. Telapak tangan pria itu tak henti mengusap kepalanya. Bagian depan kemeja dan jas Roy, basah karena air matanya. Luapan emosi yang dia tumpahkan sejadi-jadinya mulai membuat lemah.   Meski dorongan tak bisa menyingkirkan Roy, Sahara tak mau menyentuh pria itu. Dia terisak mencoba menjauhkan wajahnya. Menangkup wajahnya sendiri dengan sepasang tangannya yang terjepit di antara dada Roy.   “Lepaskan aku. Biarkan aku sendiri … aku mau sendiri. Aku capek,” ucap Sahara lemah.   “Semua ini hanya berawal dari kesalahpahaman.
Baca selengkapnya

136. Sakitmu

Roy merasa malu pada dirinya sendiri saat melakukan hal yang dia rasa harus dilakukannya. Mengecek pakaian dalam Sahara. Menyingkap dress wanita yang sedang tak sadarkan diri dan meraba celah di antara kedua pahanya, bukanlah hal yang ingin diceritakannya pada siapa pun. “Tak ada darah atau sejenisnya,” bisik Roy, merapikan dress Sahara dan menutup kaki gadis itu dengan selimut sampai ke batas pinggang. Demi apa pun di dunia ini, dia menginginkan bayi. Melihat Sahara begitu berat menerima penjelasan, rasa bersalahnya semakin menggunung. Dia baru saja meminta dokter pribadinya datang. Baru lewat tengah hari tapi rasanya sudah seharian penuh mereka berada di kamar itu. Baru beberapa jam yang lalu dia meninggalkan Sahara di dapur paviliun belakang. Sedang sarapan, meliriknya malu-malu saat menunjukkan hasil test pack pada ibunya. Tok Tok Tok Ketukan di pintu kamar membuat Roy langsung mengal
Baca selengkapnya

137. Kamu Yang Keras Kepala

“Kemarilah, istriku memanggilmu,” ucap Roy di telepon. Lalu berjalan menuju dokter yang sedang duduk di depan meja rias dan menuliskan resep.   Tubuhnya memang berdiri di sebelah dokter, tapi matanya tak lepas memandang Sahara yang sedang berbaring memunggungi.   “Ini semuanya berisi vitamin. Minta istri Anda mengkonsumsi semuanya sesuai dosis. Jangan terlambat makan, banyak minum air putih dan konsumsi buah. Konsumsi proteinnya juga diperhatikan.” Dokter mengulurkan selembar kertas, lalu meraih tasnya dari meja rias. “Saya permisi dulu. Dan … Anda tidak perlu terlalu khawatir. Hormon wanita hamil memang membuat mereka sensitif.” Dokter tersenyum ramah.   Sedangkan Roy, hanya bisa meringis kembali.   Anda tidak perlu terlalu khawatir?   Andai saja dokternya tahu duduk permasalahan, dia yakin ucapan itu tak akan keluar. Sahara adalah gadis yang keras kepala. Dia sudah cukup lama m
Baca selengkapnya

138. Makanlah Untuk Kami

“Jangan tidur di sebelahku. Tidur di kuburan aja sana.” Sahara memang menutup sebagian wajahnya dengan selimut. Tapi pendengaran Roy masih cukup sehat untuk mendengar jelas perkataan gadis itu padanya. Roy mengernyit. Ini soal Shelly atau soal kebohongannya? Kenapa jika dicermati ucapan yang ditangkapnya adalah soal kecemburuan? Cemburu pada Shelly? Ponsel yang dikantonginya bergetar. Satu pesan dari ibunya tertera di layar. ‘Roy, Ibu memasak makanan banyak dan penuh gizi untuk Rara. Pulang cepat dan bawa dia ke tempat Ibu. Sejak tadi Ibu mengirimi pesan, tapi belum dibalas. Kamu harusnya mengecek keadaan istrimu sesering mungkin. Hartamu sudah cukup banyak. Berhenti terlalu tergila-gila dengan pekerjaan.’ Roy melirik Sahara yang masih menutup wajahnya. Sejenak berpikir apa yang akan dikatakannya untuk membalas pesan sang ibu. Saat menggulir ponsel, Sahara
Baca selengkapnya

139. Demi Kamu

Belasan tahun fokus mencari sesuatu yang berkaitan dengan dendam lamanya, membuat Roy mengabaikan satu hal yang paling penting dalam hidup. Perasaan.   Matanya terasa memanas. Hantaman gelombang emosional yang sekian lama tak dirasakannya, kembali datang menerpa. Menjelma menjadi rasa sakit karena menyakiti.   Sahara berbaring di ranjang mendekap selimut dan memejamkan mata. Dari sofa, Roy melihat kilauan air mata di pipi gadis itu. Sehari ini saja, sudah begitu banyak Sahara mengeluarkan air mata untuk menangisi kebodohan yang dilakukan suaminya sendiri.   Roy tentu saja menyesal. Tanpa perlu diucapkan lagi, penyesalan itu tiap detik menggerogotinya. Wanita yang mengandung bayinya seharian menangis dan tak makan sama sekali. Dia sudah kehabisan kata-kata.   Terbersit pikiran ingin meminta ibunya datang dan membujuk Sahara. Namun dia yakin urusannya akan semakin panjang. Soal gedung bertuliskan nama
Baca selengkapnya

140. Kenangan Yang Kau Lupakan

“Rini …,” seru Clara dari ruang makan.   Rini mendekat dan juru masak itu langsung menubrukkan tubuhnya memeluk Rini.   “Maafkan aku. Aku belum menjenguk Pak Novan. Bertanya kabarnya sekarang pun, kurasa akan terdengar seperti basa-basi.” Clara melepaskan pelukan dan memandang wajah Rini yang terlihat lelah.   Rini mengangkat bahu, “Yah … untungnya kau mengerti, Clara. Kau bisa lihat kalau wajahku seletih ini. Novan belum pernah tersadar dan rekannya yang bernama Irfan menggunakan alat bantu pernafasan yang lebih serius. Aku tak tahu apa namanya. Katanya … kalau pria itu selamat, paru-parunya akan lemah. Aku sudah capek menangis. Kurasa ibu pria itu pun air matanya sudah kering. Akhir-akhir ini wanita itu nggak nangis lagi. Aku lebih sering melihatnya menunduk dan membaca kitab suci. Aku sering mengajak Novan bicara dan memintanya bangun. Tapi kurasa Novan masih senang beristirahat.” Rini menarik kursi dan duduk menghada
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1213141516
...
30
DMCA.com Protection Status