“Rini …,” seru Clara dari ruang makan.
Rini mendekat dan juru masak itu langsung menubrukkan tubuhnya memeluk Rini.
“Maafkan aku. Aku belum menjenguk Pak Novan. Bertanya kabarnya sekarang pun, kurasa akan terdengar seperti basa-basi.” Clara melepaskan pelukan dan memandang wajah Rini yang terlihat lelah.
Rini mengangkat bahu, “Yah … untungnya kau mengerti, Clara. Kau bisa lihat kalau wajahku seletih ini. Novan belum pernah tersadar dan rekannya yang bernama Irfan menggunakan alat bantu pernafasan yang lebih serius. Aku tak tahu apa namanya. Katanya … kalau pria itu selamat, paru-parunya akan lemah. Aku sudah capek menangis. Kurasa ibu pria itu pun air matanya sudah kering. Akhir-akhir ini wanita itu nggak nangis lagi. Aku lebih sering melihatnya menunduk dan membaca kitab suci. Aku sering mengajak Novan bicara dan memintanya bangun. Tapi kurasa Novan masih senang beristirahat.” Rini menarik kursi dan duduk menghada
Melihat Sahara menangis, sebenarnya Rini pun ingin ikut menangis. Beberapa lama menunggui Novan sendirian di rumah sakit dan hanya berbicara dengan suaminya yang terus memejamkan mata, membuat jiwanya sedikit demi sedikit menjadi lebih rapuh.“Maafkan kalau aku menjadi kasar. Aku juga sedikit pusing. Kamu tau kalau Novan berada di rumah sakit dan belum sadarkan diri? Sebenarnya aku tak boleh mengatakan ini, tapi … Novan belum sadarkan diri karena ulah orang-orang kakakmu. Dia mencoba menyelamatkan rekannya yang bekerja di rumah sakit keluarga Spencer—rumah sakit ayahmu. Dan kalau bukan karena Roy, Novan dan rekannya pasti sudah menjadi mayat saat ditemukan. Apa yang harus kulakukan, Sahara? Menyalahkan Roy atas semua yang terjadi? Meski ini semua termasuk dalam misinya menyudutkan kakak laki-lakimu, tapi Novan punya pilihan untuk tak melakukannya. Suamiku pria dewasa yang memutuskan pilihannya sendiri. Dan saat dia tergeletak di ruang ICU hing
Saat tiba di kaki tangga, Rini menoleh ke kiri dan kanannya. Tak sadar, dia menepuk dada dan mengembuskan napas lega. Memaki-maki Roy sesaat yang lalu dan menyemprot Sahara sepuasnya, dia lupa kalau pria itu bisa saja berada di sana menguping pembicaraan mereka. “Bagaimana? Sahara mau turun?” tanya Clara. “Kau berhasil membujuknya?” Clara kembali muncul ke ruang makan saat Rini membuka panci kecil berisi sup asparagus. “Jawab aku,”—menyalakan kompor kecil—“bagaimana caramu membujuknya?” tanya Clara. “Sepertinya kau juga sangat menyayangi gadis itu, ya? Terlalu mengkhawatirkannya. Aku nggak bisa ngomong lembut ke orang yang menyiksa dirinya sendiri.” Rini mengambil mangkok sup dan mulai mengisinya. “Orang terdekatnya selama ini hanya seorang pengasuh yang sudah dia anggap sebagai ibu kandung. Dia tumbuh besar dengan keadaan serba terpaksa. Terpaksa mencari uang banyak un
“Mau makan apa? Kamu boleh memakan apa pun yang kamu mau. Tapi ... sebaiknya makan ini dulu, ya.” Roy menyodorkan mangkuk berisi sup ke depan Sahara. Roy meletakkan sendok di tangan Sahara dan menunggunya dengan hati-hati. Seakan-akan dia sedang mempersiapkan diri kalau gadis itu sewaktu-waktu mencampakkan mangkuknya. Clara menyodorkan piring kecil berisi beberapa potong bruschetta pada Roy, tanpa suara. Clara juga sepertinya sangat khawatir kalau pergerakannya terlihat oleh Sahara. Roy pun mengambilnya dari tengah meja tanpa menoleh pada Clara. Menyodorkannya perlahan ke dekat mangkuk Sahara. “Aku bisa menyuapimu kalau mau,” ujar Roy. “Jangan, aku bisa,” cegah Sahara setengah berbisik. Rini memperhatikan tingkah Roy dengan seksama. Andai Roy adalah penjahat, kejahatan yang dilakukannya pasti sangat terorganisir sekali, pikirnya. Sahara pasti merasa sedang sangat dilaya
“Kasihan?” Roy berhenti mengupas apel dan meletakkan pisaunya. Menggeser kursinya sendiri lalu kursi Sahara agar posisi mereka berhadapan. “Dengarkan aku,” kata Roy, meraih kedua tangan Sahara dan menggenggamnya di atas pangkuan gadis itu. “Dulu aku selalu menyesali apa yang terjadi dalam hidupku. Aku selalu bertanya-tanya kenapa semua hal yang kurencanakan untuk masa depanku, tidak ada satu pun yang berjalan lancar. Aku menyalahkan diri sendiri setiap detiknya. Sampai dengan aku melihatmu tidur di sebelahku dengan perasaan yang sama sekali berbeda. Lalu … aku mengingat percakapanku dengan ayahku, Pak Tua Smith. Aku pernah bertanya padanya, bagaimana dia yakin saat menikahi ibuku? Ibuku adalah seorang wanita lokal yang dikenalnya pertama kali saat menginjak negara ini. Kenapa begitu yakin menikahi ibuku dalam jangka waktu yang begitu cepat? Kamu tahu alasan ayahku?” “Dia jatuh cinta pada pandangan pertama?” tebak Sahara.
Sedetik permukaan bibirnya menyentuh bibir Sahara, Roy langsung memejamkan mata. Bagaimana caranya mengatakan bahwa dia memikirkan gadis itu setiap saat, sepanjang hari, apakah itu akan terdengar terlalu dibuat-buat dan tidak tulus? Tapi … apa seorang gadis muda cukup dengan hanya mendengar bahwa dirinya dipikirkan sepanjang hari? Roy memegang bagian belakang kepala Sahara. Memberi penahan pada gadis itu agar tak terkulai ke belakang. Kelelahan dan kerinduannya berkonspirasi menciptakan tindakan agresif. Bibirnya mengecap, melumat, dan mencicipi rasa bibir Sahara yang sangat hangat. Membasahinya, lalu mendorongnya dengan lidah dengan sedikit memaksa agar mulut gadis itu membuka untuknya. Saat Roy mendekat tadi, sosok pria itu membuat buncahan kerinduan berubah menjadi denyut liar di beberapa bagian tubuh Sahara. Seharian tanpa sentuhan tangan kekar Roy, turut membuat beberapa bagian tubuhnya memprotes. Dia meraup k
Dalam suara parau Sahara yang menggoda penuh janji dan gesekan pinggul mereka, Roy mengira kalau bisa mencapai klimaks saat itu juga. Suara Sahara benar-benar membuat darahnya berdesir hebat. Tangannya berpindah ke depan dan mengangkat rok terusan itu sampai ke paha. Menyelipkan tangannya ke balik lapisan pakaian dalam. Sahara mengatakan menginginkannya, tetapi dia membutuhkan bukti. Dia harus merasakannya.Roy ingin menggoda Sahara dengan menyentuh seinci demi seinci—memanjakan sekaligus menyiksa dengan kenikmatan. Tapi dia sudah menghabiskan stok kesabarannya untuk kemarin. Menahan diri begitu hebat untuk tidak menyentuh gadis itu. Roy menangkupkan daerah intim Sahara dengan telapak tangan. Erangan pelan terlontar dari bibirnya. Ternyata benar, Sahara sudah siap untuknya. Bagian tubuh Sahara yang paling feminin sudah panas dan basah serta bergetar oleh sentuhannya. Terasa sangat erotis di bawah telapak tangannya.Satu tangan Roy meng
“Tuan Sergio, saya Irma, sekretaris Pak Roy Smith yang tempo hari bertemu Anda di lobi gedung kantor,” jelas Irma dalam bahasa Inggris saat Sergio menghampirinya. Mata Sergio membulat senang. “Terima kasih karena menepati janji datang ke sini. Apa saya sudah bisa bertemu dengan Talita? Saya tak sabar ingin memberi kabar pada Tuan Spencer,” ujar Sergio. Irma datang berniat memastikan apakah alamat penginapan yang diberikan Sergio padanya benar. Sedangkan untuk langsung membawa Sergio hari itu untuk bertemu dengan Roy, dia belum sempat. Ada hal penting yang berkaitan dengan kepindahannya yang belum selesai. Dan juga … dia menunggu pesan Roy yang sedikit berbeda untuknya. Selama dia menghilang, Roy hanya sekali mengirimkan satu pesan padanya. Itu pun hanya berisi pesan yang menanyakan soal pria yang dibawanya masuk ke rumah. Selebihnya tak ada. Selama Roy berada di Brasil menyelesaikan masalahnya dulu, dialah yang mem
Gustika duduk di dapur sekaligus ruang makannya dengan wajah berbinar-binar. Dapur kecil bertema rustic itu sangat cantik dengan tambahan penataan meja makan yang spesial dibuat untuk makan malam bersama anak dan menantunya. “Apa kamu sehat? Mari duduk di sebelah Ibu,” ajak Gustika merentangkan tangannya pada Sahara. Roy mendahului Sahara dan menarik kursi di sebelah ibunya untuk wanita itu. “Terima kasih,” ucap Sahara, mendongak menatap Roy yang menarik senyum tipis padanya. Berada di antara Roy dan ibunya membuat Sahara selalu merasa spesial. Dia menatap wajah ibu Roy yang sedang menyendokkan sup ke mangkuk-mangkuk di depannya. Pandangan Sahara turun menatap kaki Gustika yang terlihat lebih kecil di balik selimut yang menutupinya. Wanita tua di kursi roda ini sangat ceria meski tubuhnya terlihat tak begitu sehat, pikir Sahara. Kasihan sekali. Roy dan ibunya benar-bena
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov