Gustika duduk di dapur sekaligus ruang makannya dengan wajah berbinar-binar. Dapur kecil bertema rustic itu sangat cantik dengan tambahan penataan meja makan yang spesial dibuat untuk makan malam bersama anak dan menantunya.
“Apa kamu sehat? Mari duduk di sebelah Ibu,” ajak Gustika merentangkan tangannya pada Sahara.
Roy mendahului Sahara dan menarik kursi di sebelah ibunya untuk wanita itu.
“Terima kasih,” ucap Sahara, mendongak menatap Roy yang menarik senyum tipis padanya.
Berada di antara Roy dan ibunya membuat Sahara selalu merasa spesial. Dia menatap wajah ibu Roy yang sedang menyendokkan sup ke mangkuk-mangkuk di depannya. Pandangan Sahara turun menatap kaki Gustika yang terlihat lebih kecil di balik selimut yang menutupinya. Wanita tua di kursi roda ini sangat ceria meski tubuhnya terlihat tak begitu sehat, pikir Sahara.
Kasihan sekali. Roy dan ibunya benar-bena
Obrolan dari hati ke hati yang disarankan ibunya sedang coba Roy praktekkan. Dia membantu Sahara memilih pakaian tidur dan membantu mengancingkannya seraya mengobrol. “Apa yang menjadi ganjalan hatimu? Apa boleh aku tahu? Mulai sekarang aku akan belajar menjadi suami seperti umumnya,” ucap Roy, memungut gaun malam Sahara dan meletakkannya ke keranjang pakaian kotor. Sahara melihat apa yang dilakukan Roy dan mengucapkan, “Maaf, aku berantakan. Jangan gitu lagi. Biarkan aku membereskan barang-barangku sendiri,” ujar Sahara, berjalan perlahan menuju meja rias. “Aku senang melakukannya. Jangan larang aku merawat istriku,” ucap Roy, meraih sikat lembut dan menyisir rambut Sahara perlahan. “Om …,” panggil Sahara. “Hmmm?” Roy memandang lewat pantulan kaca. “Bagaimana kalau … Pak Novan tidak bangun lagi? Apa yang akan Om lakukan?” Sahara menatap dengan so
Irma tidak membawa banyak pakaian. Dia mengemas pakaian bersama milik ibunya ke dalam tiga koper besar. Di Pulau Pinang dia sudah menyewa sebuah studio yang letaknya berdekatan dengan rumah sakit. Setelah mengantarkan beberapa surat demi melengkapi berkas pengobatan ibunya, Irma melajukan mobil menuju penginapan Sergio. Baru saja mematikan mesin mobil di depan penginapan, ponselnya bergetar dan salah satu staf khusus yang biasa berhubungan dengannya menelepon. “Ada apa?” tanya Irma. Dia menerka kalau Roy belum ada mengatakan apa pun soal ketidakhadirannya di kantor. Pria itu pasti hanya mengatakan soal dia yang izin beberapa hari karena suatu urusan atau sedang sakit. Seperti biasa. Roy tak mau repot-repot terlalu mau tahu urusannya. “Sepertinya kondisi Irfan kembali menurun. Mereka belum mengabarkan apa pun pada Pak Roy. Menurut Ibu bagaimana? Apa perlu kita kabari sekarang? Saya khawatir kondisi Irfan kali ini be
“Apa yang sudah kulakukan?” ucap Sahara mengulangi pertanyaan Irma. “Oh, aku salah pertanyaan. Apa yang bisa kau lakukan lebih tepatnya. Selain … tidur dengan Roy. Apa lagi yang bisa kau lakukan? Apa sekarang kau merasa kalau kau sudah menjadi istri sungguhan? Kau percaya kalau dia mencintaimu? Apa yang sudah dikatakannya untuk meyakinkanmu?” “Anda tidak perlu tau percakapan suami istri. Itu rahasia,” jawab Sahara, menatap Irma dengan sorot mata yang dingin. “Anda cuma cemburu, Bu. Berapa lama Anda mencintai suamiku? Kenapa Anda tidak pernah mengungkapkannya?” Sahara berjalan mendekati Irma. “Lakukan sesuatu. Kalau kau ingin berguna untuk Roy, pergi datangi ayahmu dan laporkan apa yang telah dilakukan putranya di negara ini. Atau bisa jadi ayahmu yang berada di balik ini semuanya. Kenapa kau tidak mencari tau? Apa kau sanggup tidur dengan laki-laki yang seluruh keluarganya dicelakai keluargamu? Bahkan misteri kemat
Sahara berjalan tertatih membawa tas parasutnya. Tiba di kaki tangga, Clara datang menghampiri dengan wajah bingung. “Ada apa ini? Siapa laki-laki itu? Untuk apa tas ini?” Clara memegangi tas yang dibawa Sahara. Setengah menahan beban tas itu agar tak terlalu berat buat Sahara. “Aku mau pergi ikut Bapak itu.” Sahara memandang Sergio. “Dia suruhan ayahku. Aku udah dijemput, Clara. Kurasa aku memang harus bantu suamiku. Aku mau berguna buat Roy. Meski aku memang ditelantarkan ayahku dan nggak pernah dinafkahi, tapi sekarang Roy suamiku. Wajar kalau Roy menanggung hidupku. Aku bukan gelandangan yang dipungut Roy. Kalau ibuku berniat mengambil suami orang, dia pasti udah mengemis agar aku dinafkahi. Atau dia bisa mengantarkanku dari dulu. Atau malah memeras ayahku. Nyatanya ibuku meninggal dalam keadaan miskin.” Sahara menatap tajam pada Irma meski wajahnya berurai air mata. “Jangan pergi … kumohon Sahara. Tunggu Pak R
Seorang staf khusus yang tadi berdiri tak jauh dari dua pengacara yang mengapit ibunda Irfan, sontak menjauh saat melihat Roy menghujani seorang pria yang barusan menjawab dengan ketus. Herbert yang baru selesai berbicara pada Letta menghambur untuk menangkap atasannya. Tapi ternyata, emosi Roy lagi itu tak bisa dibendung. Roy mengibaskan tangan kirinya yang dipegang Herbert dan asisten pengganti itu terjajar beberapa langkah. “Pak, Anda bisa membuat kasus baru,” bisik staf khusus saat maju mendekati Roy yang berdiri mengendurkan dasinya seraya menatap tajam seorang pria yang mengusap darah dari mulut. “Kasus baru? Aku tak sabar menunggu kasus baru yang sedang mereka susun. Aku ingin menambah pekerjaan mereka dengan memberi kasus baru. Lepaskan aku—” Roy kembali mengibaskan tangannya agar dilepaskan. “Kau … berdiri!” “Pasal penganiayaan. Anda menambah urusan ini semakin lebih rumit.” Suara se
Roy berangkat mengantarkan jenazah Irfan bersama ibunya bersama dua staf khusus dan Herbert yang mendampingi. Pukul empat sore jenazah pria itu dimakamkan dengan hanya dihadiri oleh segelintir orang terdekat. Irfan berasal dari keluarga sederhana yang merantau ke ibukota untuk mengubah nasib keluarga. Keberaniannya bekerja dengan resiko dan bayaran besar ternyata terdesak kebutuhan ekonomi keluarga. Dia meninggal di usia dua puluh delapan tahun. Sangat muda, belum menikah, meninggalkan seorang ibu dan dua orang adik perempuan. Herbert menyerahkan sebuntalan kertas yang berisi dokumen bank bantuan dari perusahaan, bayaran Irfan untuk pekerjaan yang dianggap selesai, serta surat-surat proses pencairan tiga asuransi yang dibayarkan Roy sekaligus untuk orang tua dan adik-adiknya. Selama Herbert berbicara dengan orang tua Irfan di rumahnya, Roy masih berdiri di depan makam yang tanahnya masih basah. Pikirannya melayang
Tak disangka, Irma mulai menangis tersedu-sedu. Wajah kesal yang diperlihatkannya di awal tadi, berganti dengan ekspresi kesedihan luar biasa. Pak Wandi datang tergopoh-gopoh bersama Clara dan dua orang teknisi yang menenteng sekotak peralatan. Suara ledakan tadi membuat mereka mengira ada sesuatu yang meledak dan segera memerlukan perbaikan. “Pak?” Pak Wandi menatap ngeri pada Roy yang berdiri memegang senjata api di depan sekretarisnya yang sedang menangis. “Aku tak apa-apa. Katakan pada semua orang, untuk tak terlihat malam ini. Aku sedang menanti tamu penting. Jangan ada yang keluar sampai besok pagi,” sahut Roy tanpa menoleh pada Pak Wandi. Clara menyingkir dari ruangan itu setelah Pak Wandi menyeret tangannya. Dua teknisi tak ingin membahas kejadian barusan. Membereskan lantai yang rusak bukan bagian mereka. Mereka bisa kembali ke gedung pegawai dan melanjutkan tidur. “Irma … pertama-ta
Hampir tengah malam, Irma duduk di ruang makan rumah Roy dengan jantung berdebar. Roy memintanya bersikap santai, yang mana tak mungkin dia lakukan. Malam itu, bisa saja terjadi pembunuhan. Dony adalah pecandu yang amarahnya tak terkendali. Kemarahannya meledak-ledak, tapi Irma terkadang menyukai kemarahan pria itu pada Roy. Itu sebabnya dia merasa tak perlu memberitahu perihal siapa dalang kecelakaan di jalan tol pada Roy. Yang terpenting baginya, dia tak ada campur tangan sama sekali soal kecelakaan itu. Dia hanya mendengar Dony pernah mengatakan saat marah karena orangnya gagal menculik Sahara. Dalam hatinya yang dipenuhi amarah kecemburuan, Irma senang kalau Sahara diambil dari Roy. Tapi dia juga senang saat melihat Dony marah dan mau tak mau mengakui ketangguhan Roy berkelahi. Rasanya dia makin tergila-gila membayangkan Roy yang pastinya sangat jantan saat menghajar orang suruhan Dony. Sudah lama angan malamny
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov