Home / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Kabanata 161 - Kabanata 170

Lahat ng Kabanata ng Gadis Penari Sang Presdir: Kabanata 161 - Kabanata 170

298 Kabanata

161. Tugas Rini

Rini berjalan hilir mudik di depan ruang ICU dengan sebuah laptop milik Novan yang diletakkannya di kursi besi. Sesekali dia berjongkok dan mengetikkan sesuatu di laptop. Setelah melihat layar kembali melakukan penolakan, dia kembali berdiri dan mengumpat.   Kemarin Roy mengiriminya file yang berisi beberapa lembar rincian rencana yang disusun pria itu secara mendadak. Pada akhir pesan Roy, pria itu menyertakan sederet angka kombinasi untuk membuka laptop Novan.   Rini tak tahu dari mana Roy mendapatkan angka-angka itu. Saat mencobanya satu persatu, otaknya ikut bekerja dengan menebak angka apa yang dijadikan Roy sebagai ide. Beberapa terlihat seperti tanggal. Dia kembali berpikir keras. Adakah hari-hari spesial yang dilalui Roy bersama Novan yang tidak dia ketahui?   Lebih selusin mengetik angka yang disarankan Roy, Rini kembali bersungut-sungut pada laptop Novan. Dia menutup agenda dan membantingnya ke kursi dengan rau
Magbasa pa

162. Kalian Baik-baik Saja?

“Selamat datang di Sao Paulo. Kita akan langsung menuju hotel di mana kantor Tuan Thomas Sebastian Spencer berada. Jangan kecewa karena hotel ini bukan berada di Avenida Paulista. Meski jauh dari distrik bisnis terbesar di kota ini, hotel orang tua Anda cukup terkenal dan megah di Santo Andre.”   Seorang pria yang duduk di sebelah supir berbicara dalam bahasa Inggris yang sedikit dimengerti oleh Sahara. Bersyukur karena Roy menyekolahkannya di sekolah swasta terbaik yang cukup mahal.   Sahara mengabaikan penjelasan soal kota yang baru disebutkan oleh pria di depannya. Awal tadi, dia mengira kalau kedua pria itu adalah suruhan ayahnya. Tapi ternyata, penyebab perdebatan Sergio beberapa saat yang lalu sudah terjelaskan.   “Simpan ponselmu, Sergio. Jangan hubungi Tuan Spencer sebelum Tuan Thomas berbicara dengan adiknya. Katanya dia tak sabar ingin reuni keluarga. Tuan Thomas akan membawa adiknya pulang dan memperkenalkanny
Magbasa pa

163. Kabar Novan

“Ini gila—gila,” bisik Rini, membuka semua email dari mendiang Irfan. Dia mengunduh semua berkas dan menyimpannya ke dalam sebuah folder di cloud.   “Lalu—lalu? Apa lagi yang diminta Roy tadi?” Rini merasa seluruh tubuhnya gatal-gatal karena rasa panik diburu waktu. “Oh, lihat rencana—lihat rencana,” ucap Rini sendirian, merogoh kantong sweater-nya lagi.   “Bu Rini, diminta Pak Novan masuk ke dalam," seru perawat dari pintu ruang ICU.   “Novan? Sudah selesai diperiksa? Bagaimana, Sus? Mana dokternya?” Rini melongok ke balik dinding kaca dan tak melihat dokter yang memeriksa Novan tadi.   “Dokter baru keluar. Hasil pemeriksaan Pak Novan semuanya baik. Tidak linglung. Sadar situasi sekeliling dan bisa menceritakan kejadian terakhir yang menimpanya. Selesai masa observasi, Pak Novan bakal dipindahkan ke ruang rawat biasa. Sekarang Pak Novan mau bertemu istrinya,” jelas Perawat.   Pe
Magbasa pa

164. Memilih Rencana

“Biar aku yang mengerjakan. Kamu belum pulih. Lebih baik berkonsentrasi menumbuhkan rambutmu yang dicukur karena operasi itu,” kata Rini, menarik laptop dari pangkuan Novan.   “Aku bisa. Harus aku yang mengerjakannya. Urutan rencana ini tertulis sampai PLAN D.” Novan mengetuk layar laptop. “Kamu tahu sendiri Pak Roy pasti memikirkan semua kemungkinan sampai ke hal terkecil. Dan aku masuk dalam PLAN A, Rin. Sebelum berangkat dia masih berharap penuh aku segera bangun. Jadi … harus aku yang mengerjakannya.” Novan kembali mengambil laptop dan memangkunya.   “Apa yang dilakukan Pak Roy pertama kali? Menjemput Sahara? Di mana?” Rini menjengukkan kepalanya memandang layar.   “Sabar. Aku harus menyusun kronologi kejadian dari awal sampai akhir. Disertai dengan bukti-bukti lengkap yang kita peroleh dari Irfan,” kata Novan.   “Kalau kamu nggak bangun dan laptop belum bisa dibuka, apa bukti yang harus aku sert
Magbasa pa

165. Thomas Yang Terkecoh

Gerbang terbuka, mobil terus berjalan perlahan melewati halaman. Melewati bangunan besar dan melewati taman belakang yang sangat luas. Mobil belum juga berhenti. Sahara menoleh sekeliling. Melihat berapa lapis gerbang yang mereka lewati, sampai tiba di depan sebuah air mancur kecil dengan patung cupid yang menumpahkan air dari mulutnya. “Turunlah,” pinta pria yang berada di belakang kemudi. “Talita, ayo.” Sergio menggamit lengan Sahara dan cepat-cepat turun. Memutari mobil dan menuju bagasi mengambil tas pakaian mereka. “Ayo—ayo, cepat.” Sergio mendahului Sahara seolah khawatir dua pria di belakang mereka akan berubah pikiran. Sahara melirik tas pakaiannya yang tak tertutup rapat. Entah apa yang dicari Thomas di antara barang bawaannya. Sergio berjalan cepat melewati seorang pria di ruang depan. Pria itu sontak berdiri saat mereka masuk.
Magbasa pa

166. Ikuti Permainanku

Roy dan orang-orangnya, keluar satu persatu dari bandara dan menumpangi taksi yang berbeda. Mereka berusaha tampak tidak saling mengenal satu sama lain. Roy juga hanya mengabari segelintir pegawai soal kedatangannya.   Para pekerja penduduk asli di proyeknya, tak pernah tahu siapa pemilik gedung yang sedang mereka kerjakan. Sedikit isu yang dihembuskan Ramos adalah, bahwa proyek gedung itu milik kerabat Jorge Saverin.   Saat berada di dalam taksi, Roy mengeluarkan ponsel dan menyalakannya. Pesan pertama yang dilihatnya adalah pesannya untuk Sahara. Belum terkirim. Roy memutuskan tak menghubungi istrinya lagi. Khawatir kalau teleponnya malah membahayakan wanita itu.   Pesan kedua yang dilihatnya dari bawah adalah pesan dari Novan. “Oh, akhirnya … plan C? Oke,” bisik Roy, mengetikkan balasan pesan untuk Novan.   ‘Aku akan menjalankan PLAN C untuk merayakan kebangkitanmu.’   Roy men
Magbasa pa

167. Menyiapkan Kejutan

“Sepertinya Anda bukan penduduk asli sini,” kata Christine seusai pertemuan Roy dengan Goulart. Jorge Saverin jalan sambil bercakap-cakap dengan Belchior Marques Goulart mendahului Roy. Sedangkan Roy yang sedang menimbang situasi berikutnya harus bersabar menghadapi pertanyaan Christine, sekretaris Goulart yang ternyata penuh rasa ingin tahu. “Aku penduduk asli yang suka bekerja di balik layar,” sahut Roy, memaksakan seulas senyuman. Dia tiba di Guarulhos dengan setelan jas berwarna cokelat tua dan dasi berwarna krem dengan penjepit berlapis emas. Christine memandangnya seakan tak pernah melihat pria dengan setelan jas sebelumnya. “Bolehkah aku menghubungimu nanti?”—Christine menunjuk mejanya—”aku melihat nomor kontakmu di sana,” ucap Christine. Roy menggaruk dagunya dengan tangan kanan seraya menatap Christine. Bibirnya sedikit mengerucut s
Magbasa pa

168. Kekuatan Hati Anna

“Dad, inikah sebab Sergio keluar dari rumah?” Anna memandang Sahara.   Lucio Spencer mengangguk. “Aku ingin bertemu dengan Talita sebelum aku mati. Umurku pasti tak akan lama lagi, Anna. Aku semakin sulit tidur dan tak memiliki selera makan.”   “Tak boleh mengatakan hal seperti itu. Mmm … Dad, bolehkah aku lihat video itu sekarang?” tanya Anna, memandang ayah mertuanya.   “Kau yakin mau melihatnya sekarang? Aku juga tak ada bayangan video itu tentang apa,” kata Lucio Spencer.   “Itu tentang hal mengerikan, Papa. Mungkin akan sulit bagi iparku,” kata Sahara, memandang ayahnya.   Anna mengangguk, “Aku siap,” ucapnya, berdiri dan berjalan ke balik meja kerja kecil. Ada komputer tua dengan CPU sangat besar yang sudah lama tak pernah dinyalakan. “Kuharap ini masih bisa menyala,” gumam Anna, menyambungkan kabel ke sebuah steker di dinding bagian bawah.   “Anna—”
Magbasa pa

169. Puncak Pertengkaran

Selama ini, Anna mencoba mengabaikan soal Thomas yang hanya sesekali pulang sejak mereka ribut. Anna bertahan berada di rumah untuk mempertahankan hak anak-anaknya akan kebutuhan sebuah keluarga. Tapi melihat video kejahatan masa lalu Thomas, membuat darahnya mendidih. Ditambah dengan telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa seorang pria mengambil mobil yang biasa dipakainya karena itu masih beratasnamakan Thomas. Hatinya sakit luar biasa. Kenapa pria yang sudah hidup belasan tahun dengannya tega melakukan hal itu. Bukan soal harga, karena dia sanggup membeli mobil sepuluh kali lebih baik dari yang digunakannya sekarang. Dalam jangka waktu dekat, Thomas menunjukkan amarahnya dengan mengambil sesuatu yang pernah diberikannya. “Padahal mobil itu kupakai untuk menjemput dan pergi bersama anak-anaknya. Tega sekali kau, Thomas," isak Anna, di luar pintu ruang kerja Lucio. Sudah larut malam, Sah
Magbasa pa

170. Kedatanganku

“Thomas, sebentar lagi matahari terbit. Anak-anakmu akan bangun mencariku. Mereka akan sarapan dan berangkat sekolah. Setidaknya temuilah mereka. Mereka sangat merindukanmu,” ucap Anna dengan suara bergetar.   Thomas menggeleng. “Tidak—tidak, Anna! Kau pasti sudah mengatakan hal-hal buruk tentangku. Mereka pasti membenciku,” kata Thomas, berdiri dengan tangan menunjuk sofa agar Anna dan Sahara kembali duduk.   Langit di luar terlihat mulai menyemburatkan cahaya keemasan dari balik kaca jendela. Terdengar suara pintu dan seorang pria berbicara. Tak lama terdengar suara langkah kaki mengetuk lantai terburu-buru.   Sahara menarik lengan Anna agar cepat-cepat duduk. Khawatir kalau Thomas kembali melemparkan sesuatu pada mereka.   “Pelipismu berdarah,” lirih Anna, menunjuk wajah Sahara.   Sahara hanya mengangguk dengan wajah pucat. Dia tak berani membayangkan luka di pelipisnya. Sedik
Magbasa pa
PREV
1
...
1516171819
...
30
DMCA.com Protection Status