Thomas memang bajingan dalam urusan menjadi partner dominan. Awalnya Danielle hanya sedikit menginginkan, tapi lama kelamaan, teknik bercinta ini semakin dinikmatinya. Pemberian Thomas padanya pun tidak sedikit. Walau selalu babak belur tiap kali habis bercinta, Danielle bisa mencairkan cek dalam jumlah besar keesokan harinya.
Dalam setiap percintaan, Danielle selalu kalah telak dari Thomas. Entah berapa dosis obat kuat yang diminum pria itu. Yang jelas, Thomas bisa menyiksanya dari sore hingga tengah malam.
“Oh, lihat! Lututmu bergetar!” pekik Thomas kesenangan.
Payudara Danielle begitu bengkak sehingga dia bisa merasakan denyut nadinya di sana. Putingnya menegang dan terasa sakit. Ingin mendapat perhatian lebih. Dan bagian kewanitaannya terasa lebih parah lagi. Berdenyut hebat, namun Thomas menghunjamnya di bagian lain. Lututnya menghantam tepi ranjang berkali-kali. Danielle ingin mengusap inti tubuhny
“Ngapain, sih, tidur di sini?” ucap Sahara, menatap wajah Roy lekat-lekat. Cahaya lampu kamar masih terang-benderang. Tak ada yang terpikir untuk menyetelnya ke lampu tidur sebelum berbaring nyenyak di ranjang kemarin malam.Melihat Roy tak bereaksi dengan kata-katanya, Sahara menyelipkan satu tangan menjadi bantal dan melanjutkan pengamatannya. “Dia kira dengan tidur di dekatku, itu bakal buat aku berubah pikiran. Jangan harap,” dengus Sahara.Roy bergeming dan berusaha untuk tak membuka mata. Dia ingin mendengar gadis itu mengomelinya beberapa saat.“Siang ini aku akan membereskan semua pakaianku dan pergi dari sini. Tunggu aja surat gugatan cerai yang bakal aku layangkan. Mmmm … tapi kayanya aku perlu cek dulu. Apa pernikahan itu pernah ada atau enggak. Bisa aja itu cuma akal-akalan kalian menipuku. Aku—”Roy membuka mata dan menarik pinggang Sahara
Gadis itu berkali-kali menyiratkan perkataan soal rumah tangga sebenarnya. Soal perasaannya yang kemarin baru dimulai dan sekarang dihentikannya kembali. Awal memikirkan soal memperistri Sahara, Roy menyangka akan bertemu dengan gadis yang keras kepala namun mudah diluluhkan. Dan nyatanya … benar. Sahara mudah diluluhkan, tapi juga mudah kembali keras membeku. Ciri khas remaja yang sedang mencari jati dirinya. “Kamu tunggu sampai aku selesai rapat investor. Tak akan lama,” ucap Roy. Sahara menekuk wajahnya memandang keluar jendela mobil. “Aku pasti bosen,” sahut Sahara dengan nada tak bersemangat. “Tunggu di ruanganku. Hari ini biarkan Rini mengerjakan pekerjaan kantornya yang menumpuk. Dia sudah digaji mahal,” tambah Roy. Di jok depan, Rini mendengus saat mendengar hal itu. Itu kali pertama Sahara memasuki kantor The Smith’s Project. Selama ini,
Roy melepaskan ciumannya dari Sahara. Menatap mata gadis itu, seraya mengusap bagian bawah bibirnya sendiri. “Oke, aku keluar dulu.”Ciuman itu cukup membuat Roy meremang. Beberapa saat yang lalu, ingin rasanya dia mengangkat Sahara dan mendudukkannya ke atas meja. Menuntaskan satu quickie mungkin bisa mendongkrak mood-nya pagi itu. Roy keluar ruangan dengan senyuman nakal atas pikirannya tersebut.“Pak,” sapa Irma di luar pintu.“Oh, kamu masih menunggu. Kupikir kamu langsung menuju ruang rapat,” ucap Roy melanjutkan langkahnya.“Saya mau menyampaikan ini.” Irma menjajari langkah Roy sambil menyodorkan kertas.Roy membaca kertas itu dengan teliti, lalu tersenyum. “Panggil legal staff ke ruang rapat. Minta mereka mengurus pendirian empat perusahaan baru. Aku semakin tak sabar,” ujar Roy, menuju ruang ra
Roy merasa wajah Sahara sedikit berbeda dengan saat dia tinggalkan tadi. Saat berangkat tadi, gadis itu memang masih cemberut. Tapi kekesalannya hanya tersisa sedikit. Namun kini mata indah itu kembali memandangnya dengan kilat amarah. Apa sesulit ini memiliki seorang istri? Roy mengatur mimik wajahnya seramah mungkin. Sedikit mengisyaratkan pada Sahara kalau mereka sedang berada di depan para rekan bisnisnya. Tak ingin semua pria di hadapannya berjabat tangan dengan Sahara, Roy langsung berpamitan. "Baiklah, karena hari ini kita semua pasti sama sibuknya. Saya pamit untuk berangkat lebih dulu. Pagi tadi saya sudah menjanjikan sesuatu pada istri saya. Dan kalian pasti tahu, kalau aku tak mau menerima akibat amarahnya.” Roy terkekeh. Semua pria yang berada di sana mengangguk setuju. Roy mengangguk dan mendahului para rekan bisnisnya. Irma bersama dua orang legal staff menaiki lift utama untuk mengantarkan semua tamu
Di belahan dunia lain. Thomas terbangun dari tidurnya karena suara telepon. Telepon dari Edward yang tidak pernah melihat jam saat menelepon. Masih sangat pagi. “Berita yang kau sampaikan harus penting,” geram Thomas di telepon. “Sangat penting,” sahut Edward di seberang. “Aku sudah rapat bersama dengan para petinggi perusahaanmu di Indonesia. Spencer Hotel & Apartemen sepertinya collapse. Sangat berat untuk bertahan. Ada dua perusahaan yang awalnya menawarkan untuk proses akuisisi. Aku sudah cukup lega. Tapi dua perusahaan itu tiba-tiba membatalkan. Katanya hotel itu terlalu ketinggalan zaman dan manajemennya buruk. Dan kau tak mau melakukan penyuntikan menambah investasi,” jelas Edward. “Bagaimana aku mau menambah investasi ke sana kalau aku tidak bisa memasuki negara itu?” geram Thomas. “Ada satu perusahaan yang menawarkan untuk membeli hotel itu. Tapi harganya sangat rendah.
“Pak, Bu Irma baru saja mengirim email dan memberitahu kalau empat perusahaan baru sudah berdiri. Kita juga sudah memasukkan penawaran sesuai angka yang Bapak berikan.” Novan berbicara di depan pintu mobil yang baru dibukanya untuk Roy. “Irma selalu cekatan,” sahut Roy sedikit tercenung. “Malam nanti kita pasti sudah menerima berita. Aku akan memainkan pion catur dari rumah. Aku masuk ke dalam dulu, Novan. Terima kasih kabar baiknya.” Roy menggandeng Sahara masuk ke lobi mall. “Om yakin mau nonton?” tanya Sahara sedikit tak yakin. “Kenapa? Kamu mau kita pulang saja dan bercumbu? Aku memang lebih suka hal itu,” jawab Roy tersenyum. Sahara berdecak. Roy tertawa, lalu memeluk pinggang Sahara. “Hari ini aku akan menemanimu ke mana pun. Aku sedang menebus kesalahanku. Aku juga mau sepulang dari sini, kita singgah di toko bunga dan meletakkan buket di makam pengasuhm
Di Indonesia sudah malam hari. Roy menggunakan piyama suteranya dan duduk menyilangkan tangan di depan dada. Sebuah kursi besi yang ditempatinya sesekali berputar saat pikirannya sedang berkerja. Rencana untuk mengambil alih hotel milik keluarga Spencer sudah disusunnya selama tiga tahun terakhir. Di masa kejayaannya, hotel itu adalah hotel bintang lima terbesar di lokasi emas dekat pantai. Dulunya orang memerlukan waktu jauh-jauh hari untuk bisa mendapatkan kamar di hotel yang bertuliskan nama Spencer sangat besar di puncaknya itu. Selama menjalankan rencananya, Roy memasukkan orang-orangnya untuk menggantikan manajemen lama, satu-persatu. Posisi pertama yang menjadi targetnya saat itu adalah bagian personalia. Thomas yang tidak pernah lagi berani menginjak Indonesia, lengah akan kontrolnya pada hotel itu. Di lain sisi, Roy memang tidak tahu siapa-siapa saja yang dikirim oleh Thomas untuk mengawasi perusahaannya.
Sudah pukul sepuluh malam. Harusnya Sahara sudah makan, pikir Roy. Gadis itu masih merajuk dan tololnya, dia juga lupa menanyakan soal makan malam karena terlalu antusias menghadapi Thomas. Dia lagi-lagi mengabaikan Sahara. Oh, tidak. Ini bukan mengabaikan, batinnya. Lebih tepatnya menunda untuk mempedulikan gadis itu. Apa Sahara sudah tidur? Kenapa pesannya belum juga dibalas? Roy turun dari ruang kerjanya dan menyeberang ruangan menuju tangga kamar Sahara. Pintu kamar gadis itu tertutup. “Sahara,” panggil Roy. Dia mengetuk dua kali. Tak ada sahutan. Kemarin-kemarin rasanya dia biasa-biasa saja saat menerobos masuk ke sana. Entah kenapa sekarang dia merasa sedikit lancang, kalau melakukan hal itu. Roy mendekatkan telinganya ke pintu dan tak mendengar apa pun dari dalam. Dia memutar handle dan mendorong pintu kamar. Ternyata kosong. “Rara,” panggil Roy, menjengukkan kepalanya ke dala
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov