Home / CEO / Suamiku Pangeran Muda / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Suamiku Pangeran Muda: Chapter 51 - Chapter 60

109 Chapters

51. Berpamitan Dengan Iqbal

"Ma, bagaimanapun Zhee adalah istriku. Diterima ataupun tidak dia tetap istriku, Ma. Kami berdua menikah secara agama maupun negara," ujar Muzammil menjelaskan. "Aku tidak peduli, jangan bawa dia pulang ke sini, Zammil!" pesan mamanya. "Apa maksudnya, Ma? Dia istriku berhak mendapat perlakuan yang layak, Ma," bantah Muzammil. "Kalau kamu mau mamamu lekas pergi dari dunia ini, silakan!" sahutnya. "Mama?" pekik Muzammil. "Mama menunggu kepulanganmu secepatnya, tanpa alasan!" ujarnya kemudian menutup teleponnya. Aku mendengarkan semua pembicaraan ibu dan anak itu. Aku merasa bersalah telah menciptakan masalah diantara mereka hanya gara-gara Muzammil menikahiku. "Zhee, maafkan aku ...," kata Muzammil terputus. "Tidak perlu minta maaf, Kak Zammil! Bukankah kita hanya menikah bohongan, Kak Zammil hanya ingin menolongku belaka," ujarku pelan menahan sedih. "Tidak begitu, Zhee, tidak ada yang salah dengan pernikahan kit
Read more

52. Terpaksa Berpisah

Aku malu mendengar kelakar mereka. Bisa-bisanya Muzammil berbicara seperti itu, padahal jangankan menyentuhku tidur saja kita terpisah. Kasihan Muzammil menutupi banyak hal hanya demi aku. "Sudah kalian berdua istirahatlah, besuk operasi kita mulai pukul 09.00!" pesan dr. Fuad.  "Oke, kita cepat istirahat kok dan jangan khawatir sementara aku tidak menyentuh istriku kok," ujarnya sambil mata dan senyumnya menggoda aku. Aku yang tahu maksud kelakar Muzammil segera menunduk menahan malu. Dokter Fuad meninggalkan kamar kita sambil menutup pintu kamarku. Kini di kamar ini tinggal aku sendiri bersama Muzammil. Otomatis karena statusku suami istri Fuad menyediakan satu kamar untuk kita. "Aku tidur bawah saja, Zhee, tidurlah dulu aku masih mainan ponsel," kata Muzammil. "Jangan Kak, tidur di atas di sebelahku nggak papa kok," sahutku. Apapun alasannya dia adalah suamiku, aku harus berbakti kepadanya. Dia berhak atas tubuhku meskipun aku
Read more

53. Operasi Wajah

Sakit rasanya pertama kalinya masuk ruang operasi dimana suasananya sangat mencekam. Aku harus terbaring sendiri tanpa seorang pun menjadi penyemangatku. Aku merasa begitu sepinya hatiku, hidup bagai sebatang kara. Tidak ada tangan yang siap menggenggamku, agar aku kuat dan tidak jatuh. Hanya Muzammil yang selama ini siap melakukannya untukku. Kenapa aku masih ragu dan menyia-nyiakannya? Karena pengaruh dari obat bius, antara sadar dan bermimpi. Anehnya Pangeran Muda Tukasha, Muzammil selalu datang di mimpiku sebagai penunggang kuda putih. Dia datang sebagai penolong aku dan Iqbal. Bukan Faruq yang datang melainkan Muzammil, itu sebagai pertanda dari Allah bahwa Muzammillah jodoh yang dikirim Allah untuk mengangkat diriku dari lembah nista. Tapi kenapa hatiku masih terpaut pada Faruq yang bernafsu iblis. Antara takut, jijik, muak, benci dan rindu. Karena berbagai pertimbangan dokter Fuad harus membius total diriku. Paska operasi pun aku ditempatkan di ruang isolasi.
Read more

54. Muzammil Telah Kembali

Ternyata Muzammil sudah menceritakan tentang keadaanku yang sebenarnya. Bahkan Dokter Fuad juga tahu kalau Muzammil sedang menikah di Tukasha. Sekarang Dokter Fuad mengajak aku pulang ke rumahnya. Walau penuh keraguan aku menurut karena Muzammil yang memintanya. "Masuklah, Zhee!" ajak Fuad begitu sampai di apartemennya. "Baik, Dokter," jawabku. Aku berjalan masuk mengikuti langkah kaki Dokter Fuad. "Ini kamarmu, Zhee, dan sebelahnya kamarku. Bila kamu membutuhkan sesuatu bisa memanggilku," pesan Dokter Fuad. Aku jadi ragu, kamarku berdekatan dengan Fuad, sedang di rumah ini cuma kami berdua. Bagaimana kalau dia khilaf? Rasa trauma karena perbuatan Faruq masih menghantuiku. "Zhee, aku di sini sampai hari Kamis depan.," ujar Dokter Fuad. "Maksud Dokter?" tanyaku meyakinkan.  "Hari Kamis depan aku kembali ke Singapura, Zhee," ujarnya. Aku terdiam, kalau Dokter Fuad kembali ke Singapura apa aku harus menempati
Read more

55. Hermin dan Muzammil Terseret Hukum

Kini Muzammil terperanjat dengan apa yang aku lakukan. Dia terdorong ke belakang beberapa langkah. Aku terperanjat dan menyesal dengan apa yang aku lakukan. Aku mencintainya juga merindukannya, tapi kenapa justru ini yang aku lakukan setelah bertemu. Aku  menyesalinya, tapi semua sudah terlanjur pasti Muzammil sangat kecewa denganku. Bagaimana cara aku memperbaikinya? "Maafkan aku, Kak Zammil!" kataku pelan. "Tidak apa-apa, Zhee. Aku terlalu tergesa-gesa ya? Aku rindu sekali padamu. Aku tidak menyangka Fuad bisa membuat lukisanku menjadi nyata. Kalau orang membuat manusia menjadi lukisan itu adalah hal yang biasa, tapi ini sebaliknya. Fuad bisa membuat lukisan menjadi nyata," kata Muzammil. "Tapi apakah ini tidak haram, Kak Zammil? Aku takut ini adalah  perbuatan dosa besar, " kataku ragu. "Hanya antara kita sama Allah yang tahu, Zhee. Tujuan kita hanya ingin menyelamatkan diri dari niat jahat orang dzolim, Zhee!" kata Muzammil menghiburku.
Read more

56. Kedatangan Sultan Mahmud

Aku tidak berani mengatakan ini pada Muzammil. Aku sudah terlambat tujuh hari, ini membuat perasaanku berdebar tak menentu. Bagaimana kalau aku hamil anaknya Faruq sementara aku sedang jadi istrinya Muzammil. Kini Sultan Mahmud benar-benar datang ke Inagara. Dia bertemu dengan dengan Raja Inagara sebelum menemui Muzammil dan aku. Dari pertemuan kedua orang penguasa itu, semua masalah selesai dan tertutup rapi. Ada negosiasi tentunya, yang orang kecil dan rendahan seperti aku jelas tidak mengerti. Aku mendengar Muzammil sedang telepon dengan papanya, hatinya berbunga-bunga. Dia begitu bahagia, tapi aku hanya menatapnya dari jauh. Ada rasa bersalah dan benci pada diriku sendiri. Kalau sampai Sultan Mahmud tahu aku hanya TKW yang dijadikan budak nafsu majikan dan akhirnya punya anak, bahkan sekarang sedang mengandung anaknya. Tentu ini bukan hanya aib, tapi harga diri kerajaan akan hancur hanya karena Fahim yang hina dan nista ini. "Iya Pa, saya share lokasi ya?
Read more

57. Hamil Anaknya Faruq

Aku akhirnya menuruti keinginan Muzammil untuk membuka cadarku  untuk mengobati rasa penasaran mereka. Sambil membuka cadarku aku memperkenalkan diri. "Hei Kakak, nama saya Zhee Amalia," ujarku sambil membuka cadarku dan menundukkan tubuh tanda hormat. "Wow cantik sekali istrimu, Kak Zammil," ujarnya takjub. "Subhanallah!" lanjutnya. Aku juga menatap Faruq yang penasaran memperhatikan aku sejak awal. Dia pasti sedang curiga kalau wanita yang bersama Muzammil adalah  Fahim. Aku tidak tahan menatap mata Faruq, dia pasti akan mengenaliku bila tahu aku sedang gugup. Maka itu aku harus menghindari tatapan matanya. Aku segera menutup kembali cadarku.  Muzammil memperhatikan aku yang salah tingkah saat di depan Faruq, dia segera meraih tanganku dan merangkul pundakku. "Ih romantis sekali," kata Marwa. Aku hanya mengangguk, aku melihat tangan Faruq merangkul pinggang Marwa mesra juga. Tiba-tiba hati perih dan sesak, apakah ini cemburu?
Read more

58. Restu Sultan Setelah Aku Hamil

Aku menatap Muzammil yang tegang penuh emosi, tapi hebatnya dia bisa menahannya. "Kak Zammil, lekas bantu aku agar segera pulang ke Indonesia. Semakin lama aku di sini hanya akan membuatmu malu. Maafkan aku yang bodoh ini, Kak Zammil," ucapku. Muzammil hanya diam, mungkin kalau papanya tidak sedang disini dia pasti akan meluapkan emosinya. Tapi selama aku bersamanya tidak pernah sekalipun dia marah. "Masakkan sop buntut yang lezat buat papaku!" perintahnya. Kenapa dia tidak merespon kata-kataku sama sekali. Dia pasti terluka sekali, aku berkali-kali menyesalinya, tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Aku menyiapkan makan siang bersama Muzammil. Aneka masakan spesial Tukasha dan Inagara serta sop buntut masakan andalanku dari Indonesia. Menu kesukaan Muzammil dan papanya Kebab daging, Baklava dan Kofte. "Ayo kita makan bersama!" ajak Sultan Mahmud. "Ayo, Zhee!" ajak Muzammil, memaksakan diri berlagak romantis di depan papanya.
Read more

59. Malam Pertama Muzammil

"Hati-hati kamu bicara, Zhee! Di sini banyak telinga, dinding pun ikut mendengarkan," pesan Muzammil sambil telunjuknya menutup bibirku yang sedang berbicara. Kami saling berpandangan, perlahan tanganku meraih tangan Muzammil dan aku mencium tangannya sambil berlutut. "Maafkan aku, Kak Zammil! Jangan tinggalkan aku, ampuni semua kebodohanku," ucapku menangis menyesal. "Apa yang kamu lakukan, Zhee? Berdirilah, jangan buat aku merasa berdosa atas keadaanmu!" perintah Muzammil datar. "Apa yang harus aku lakukan, Kak Zammil? Haruskah kugugurkan bayi ini?" tanyaku berbisik. "Jangan berbuat keji dengan membunuh bayi yang tidak berdosa, Zhee, itu sama halnya dengan Faruq, biadab! Setelah melihat di layar USG tadi, kamu masih bisa berbuat ingin menyingkirkannya?" ketus Muzammil berbisik. "Apa yang harus saya lakukan, Kak Zammil?" tangisku tersedu. "Aku tidak mungkin melakukan kebohongan sebesar ini dan seorang pangeran malah membantuku seperti
Read more

60. Pertemuan Aku dan Iqbal di Pesta

Muzammil mengantarkan aku untuk dirias dan gaun dari desainer ternama.  "Aku hanya ingin kamu percaya diri, Zhee," kata Muzammil dengan pelan. "Aku takut membuat kamu malu, Kak Zammil!" kataku ragu. "Tidak perlu takut! Santai saja, kamu tidak perlu banyak interaksi dengan mereka. Aku akan selalu menemanimu!" janji Muzammil. Dia memberiku keberanian, aku semakin percaya diri. Saat Muzammil menggandeng aku turun dari mobil, aku bahagia sekali. Sorot kamera banyak tertuju kepada kami berdua. Para wartawan mengerumuni kami dan semua pertanyaan dijawab oleh Muzammil dengan sopan dan ramah. Aku hanya tersenyum ramah, dan mengangguk mengiyakan saat Muzammil memandangku lembut. "Apakah istri anda juga seorang putri raja atau seorang keturunan bangsawan?" tanya salah seorang wartawan.  "Dia seorang Cinderella," jawab Muzammil sambil menggenggam tanganku dan tersenyum menatapku. "Hah Cinderella!" ujar para wartawan saling bergu
Read more
PREV
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status