Semua Bab Insya Allah Ada Jalan, Nak!: Bab 21 - Bab 30

76 Bab

21. Muridku Itu Bernama Syilla

Aku tertegun mengetahui tekad dan keinginan Fajrin. Apalagi, dia mengucapkannya dengan mimik serius tanpa aksen Jawa seperti biasanya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti dia: seseorang yang tangguh, punya karakter, kepribadiannya khas, dan tidak suka ikut-ikutan. Selama dekatnya dengannya pun, aku merasa dalam diri ini ada beberapa hal yang berubah ke arah yang lebih baik.Fajrin memberiku pengalaman berharga bukan melalui ceramah-ceramah atau dengan cara terang-terangan mengajakku memperdalam agama. Salah satu cara Fajrin yang membuatku tersentuh adalah saat dia mengajakku berlibur ke kampung halamannya di Bumi Jawa, di kawasan sekitar Gunung Slamet yang berpanorama alam sangat indah, yang begitu sejuk dengan banyaknya kebun-kebun stroberi. Aku diperkenalkan pada para santri sahabat-sahabat Fajrin. Melalui obrolan dan diskusi ringan kami seputar agama, semakin bertambahlah wawasanku mengenai Islam dan bagaimana menjadi muslim yang sesungguhnya.“Dari dulu pu
Baca selengkapnya

22. Mencari Syilla

”Ya, saya sering lihat Sylla dan teman-temannya sesama pengamen di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Pak.” Ungkap Nelwan siang itu. “Dia memang sempat cerita sama saya tentang kerjaannya itu. Kadang dia ngamen di metromini jurusan Blok M, kadang di bus Mayasari jurusan Bekasi dan Cikarang.”Saat ini sudah jam istirahat. Nelwan kuminta datang menemuiku di kantin sekolah. Kami memang mulai akrab sejak sama-sama ‘berdamai’ dengan Marsel beberapa waktu lalu.”Kamu bisa antar saya ke tempat Sylla mengamen?””Bisa, Pak, kebetulan hari saya bawa motor. Nanti Pak Bram aja ya, yang nyetir motornya,”Tak kusia-siakan kesempatan itu. Selepas maghrib, begitu jam belajar berakhir, Nelwan benar-benar menepati janjinya mengantarku mencari Sylla.Di luar dugaanku, suasana petang menjelang malam ternyata tak membuat kami kesulitan menemukan gadis itu di antara para pengamen jalanan. Ya, kami menemukan Sylla. Dalam
Baca selengkapnya

23. Nayya VS Syilla

Esoknya di sekolah, sebuah insiden kecil kembali menyeret langkahku cepat menuju ruang kelas XI IPA. Sebuah pemandangan tak menyenangkan tersaji di depan mata, seperti drama remaja yang tak layak ditonton anak-anak yang membuatku lagi-lagi beristighfar dan menarik napas berat. Kejadian semacam ini seakan telah menjadi ‘makanan’ sehari-hariku di tempat ini, yang suka atau tidak suka harus kubereskan. "Ayo! Lawan! Kamu pasti menang, Nay!” “Hahaha! Syllaa, ayoo tunjukkin jiwa preman elo! Masa kalah sih?!”  Di tengah-tengah kelas, tampak Nayyara dan Syilla tengah berseteru. Saling memaki, mengumpat, saling berjambak rambut ‘lawannya’ satu sama lain. Herannya tak satu pun teman-teman mereka berusaha melerai. Seisi kelas malah menambah suasana kian panas dengan menyorakkan dukungan. “Piting dia, Nayya! Elo mah kereeen! Hahaha!” “Ayo, Sylla! Makan tu jablai!”  Aku tidak tahan lagi. Kugebrak-gebrak meja di dekatku. "Nayya! Sy
Baca selengkapnya

24. Lagu yang Dinyanyikannya

Aku masih harus menunggu azan maghrib berkumandang. Menunaikan sholat tiga rokaat, barulah bisa bergerak menuntaskan misi hari ini. Mencari Syilla.Suasana Pasar Jumat di Lebak Bulus masih persis seperti kemarin petang saat Nelwan mengantarku mencari Sylla. Intuisiku bicara bahwa Sylla berada di sini sejak siang tadi begitu kabur dari sekolah. Kukelilingi tempat yang sama seperti kemarin, mencoba menyeruak kerumunan orang dan mengamati para pengamen yang bergerombol di sana. Tidak ada. Tak kutemukan muridku yang berambut pendek itu. Saat raga mulai letih, tiba-tiba mataku memergoki sesosok pengamen—masih muda dan tampak kumal—yang seingatku kemarin dia memberikan gitar kepada Sylla. Ketika dia melihat ke arahku, tak kusia-siakan kesempatan itu. "Maaf, Mas, saya mencari Syilla. Apa dia ke sini?" "Oh, tadi dia naik bus jurusan Bekasi, Mas,” sahut pengamen itu sambil membetulkan senar gitarnya yang mengendur."Mas t
Baca selengkapnya

25. Entah Apa Dalam Pikirannya

Aku tertegun melihatnya beraksi di depan para penumpang, di atas bus yang melaju. Syilla, indah suaramu! Tuhan memberimu anugerah luar biasa, dan kaumanfaatkan itu untuk memperjuangkan sekolahmu. Aku nyaris kehilangan kata-kata yang mewakilkan kekagumanku padamu.Sebuah lagu yang cukup populer berlirik bahasa Inggris selesai dia nyanyikan atas permintaan seorang penumpang di barisan depan. Aku berdiri perlahan dari duduk, dan berjalan merambat ke arahnya. Memergoki keberadaanku di dalam bus, Syilla terlihat ingin menghindar dari kejaranku. Sayang sekali gerakannya masih terlalu lamban, karena dengan sigap aku lebih dulu meraih gitar dalam genggamannya.Apa mau Bapak sebenarnya? Mungkin itu yang ingin dia ungkapkan melalui tatap tajam matanya saat gitar itu berpindah ke tanganku."Kasih Bapak kesempatan berduet denganmu. Satu lagu.” Ucapku, kubalas tatap tajamnya dengan senyum. “Jika gagal, Bapak tak akan mengganggumu lagi. Tapi kalau Bapak b
Baca selengkapnya

26. Kesedihannya di Hari Itu

Syilla menolak kutemani hingga larut malam. Selain lebih nyaman bersama teman-teman pengamennya itu, mungkin dia canggung ada aku di dekatnya. Karenanya aku memutuskan pulang setelah menyempatkan diri sholat Maghrib di perjalanan.Perasaan tak enak mengusikku begitu sampai di rumah indekos. Tidak biasanya umi Elis duduk di teras depan selepas maghrib begini, apalagi dengan wajah murung seperti itu. Dia seperti sengaja menunggu kepulanganku.“Assalaamualaikum, Umi,” sapaku sekaligus bersalam.Melihatku sudah ada di dekatnya, umi Elis bergegas bangkit. Benar, tidak seperti biasanya dia segelisah ini. “Waalaikum salaam. Alhamdulillaah kamu pulang. Tolong Elis, Bram!”“Elis kenapa, Umi?”            “Sebelum maghrib tadi Elis nelepon dari kampus, katanya dia mendadak demam dan nggak kuat bawa motor. Umi sudah berkali-kali telepon Abi, bilang mau jemput ke sana t
Baca selengkapnya

27. Siapa Lelaki yang Dicintainya Itu?

“Lis," panggilku, begitu mengkhawatirkan keadaannya. “Kamu mau cerita sama Aa?”Elis tampak menggigit bibirnya, mungkin agar air matanya tidak terus-menerus tumpah. “Elis merasa berdosa, A. Elis malu ngomongin hal ini ke Aa,”“Dosa? Kamu ini sebenarnya mau ngomong apa, Lis?”“Iya, A, Elis takut pada apa yang udah Elis alami.” Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.Makin cemaslah aku dibuatnya. Ada apa ini? “Sebaiknya kamu cerita sama Aa, Lis. Nggak baik dipendam sendiri!”"Elis … Elis lagi suka sama seseorang, A. Mungkin malah Elis bener-bener suka banget sama dia.” Ungkapnya, mengejutkanku. “Elis merasa berdosa karena perasaan ini nggak pada waktunya dan bukan pada tempatnya. Rasa bersalah ini yang menyita pikiran Elis, Aa. Elis takut. Elis bingung harus gimana.”Gadis di sebelahku seolah sedang membongkar isi hatinya dengan jujur dan apa ada
Baca selengkapnya

28. Surat Rahasia

Hampir jam 21.00 kami sampai di rumah Elis. Setelah pamit pada uminya aku pun pulang ke rumah sebelah, ke tempat indekosku bersama Fajrin. Campur aduk rasanya kondisiku malam ini. Capek, pusing, panas, sekaligus gelisah tak berkesudahan. Pikiranku pun kemana-mana.Cinta? Topik yang lebih sering tidak menariknya bagiku. Entah kenapa tiba-tiba aku memikirkan yang satu ini. Siapa sih laki-laki yang disayangi Elis? Ada apa ini? Kenapa juga aku harus merisaukan laki-laki yang Elis sukai? Lalu kenapa aku tiba-tiba mempertanyakan perasaanku terhadap Elis? Benar-benar aneh!Pikiranku melayang pada hal-hal yang menimpa teman-teman di kampus. Mereka seringkali dibutakan dan sering dirugikan oleh urusan cinta. Seperti nila yang merusak susu sebelanga. Inikah yang mereka alami? Kalau aku terus larut terbawa perasaan ini, siapkah aku jadi korbannya? Mampukah fokus utamaku tetap pada kuliah dan mengajar, dengan membuang jauh-jauh pikiran galau tak karuan seperti ini? Urusan dengan m
Baca selengkapnya

29. Hadiah dari Marsel

Sinar matahari menjelang sore yang hangat menyeruak dari celah-celah pepohonan di sekolah. Kontras dengan suasana semalam, siang ini terlihat cerah dan indah saat kutemukan beberapa wajah penuh senyum hangat di kelas XI IPA.Walaupun tak ada semangat seperti hari-hari lalu, rutinitas mengajar tetap kumulai dengan mengecek absensi siswa. Kejutan besar rupanya menungguku sejak tadi. Kulihat Marsel tersenyum melihat kedatanganku. Sylla pun hadir dan sudah duduk manis di bangkunya. Wajahnya segar, tidak lesu seperti biasanya.“Oke, untuk hari ini silakan bergabung dengan kelompok kalian.” Kataku di depan kelas, mengawali pelajaran. “Seperti yang sudah kita ketahui, pementasan seni teater sekolah sudah semakin dekat. So, selama dua jam ke depan let’s open your mind, segarkan ingatan pada teori artikulasi, pelafalan, penghayatan, dan blocking minggu lalu. Hari ini juga kita akan mulai berlatih blocking
Baca selengkapnya

30. Gara-Gara Nayyara

Dalam perjalanan pulang, pikiranku masih galau tak menentu. Satu-dua masalah seolah berloncatan tiada henti di depan mata. Konsentrasi mengajarku pecah! Kenapa hari ini seolah jadi hari yang paling buruk bagiku?  Ya Allaah, kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan Elis dan surat kaleng berisi ungkapan cinta yang diterima Fajrin? Kenapa ini seperti misteri besar yang harus segera kuselesaikan?            Gelisah dan lelah kian menyerbuku begitu sampai tujuan. Kutuju pintu depan dengan langkah lemas. Di tanganku terjinjing tas yang juga berisi dus handphone baruku.            “Pak Bram!”            Mataku yang lelah terbuka lebar seketika. Aku hafal suara itu.            “Nayya? Ngapain di rumahku?”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status