Semua Bab Insya Allah Ada Jalan, Nak!: Bab 11 - Bab 20

76 Bab

11. Dia Peyejuk Segala Kepenatanku

“Selamat siang, Pak Bram,” selarik senyum dan kalimat sapa yang menyejukkan menyambutku di ruang guru, setelah beberapa lama suasana kelas yang hampir mirip neraka tadi seolah memanggangku.“Selamat siang, Bu,” balasku tak kalah sopan.Dia guru piket yang tadi menggiring siswa-siswiku kembali ke kelas. Ah, akhirnya kami bertemu dalam suasana yang normal, setelah dua-tiga kali aku hanya melihatnya berteriak-teriak gusar.  “Saya Bu Veni.” Katanya memperkenalkan diri. “Selamat datang di sekolah kita. Ini meja kerja Pak Bram. Silakan, selamat bertugas.”Dia menunjukkanku sebuah meja yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Meja yang besar dan rapi. Kursi yang disediakan pun tampak sangat nyaman. Sayang belum saatnya menikmati empuknya kursi itu, karena sorot mataku menangkap bahwa ruang guru mulai ramai. Hanya seorang guru berpakaian olahraga yang masih berdiri di pintu masuk, tengah menggoda beberapa sisw
Baca selengkapnya

12. Kalau Manggilnya Bram Aja Gimana?

Dalam perjalanan pulang, aku memilih diam. Bukan karena tak mau mengobrol lagi dengan Elis, justru bagiku bersamanya malam ini membuatku kembali mendapat semangat baru. Aku sedang teringat Edo dan teman-temannya. Tatap mata Edo yang penuh keraguan, air muka yang penuh ketidakpuasan, membayang jelas dalam ingatan. Ya, besok aku bertekad membungkam mulutnya dengan keberhasilanku menjawab tantangannya.Sanggupkah aku?Perutku kembali terasa lapar, setelah lepas Isya tadi bersama Fajrin melahap martabak pemberian Elis. Saat kutuang teh hangat ke dalam gelas untuk keduakalinya, di atas meja kutemukan beberapa potong martabak telur yang masih menunggu untuk disantap. Kuhabiskan potongan yang tersisa di piring karena kupikir Fajrin tak mungkin lagi memakannya. Dia masih sibuk mempersiapkan materi kuliah besok, bisa-bisa hingga larut malam.Malam ini konsentrasiku terbagi dua. Pertama, menyelesaikan tugas kuliah yaitu melahap novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Baca selengkapnya

13. Nayyara

Kupungut spidol hitam dan mulai menulis dua kata--seni dan rupa—pada white board. Ini langkah awalku untuk mencuri perhatian, cara yang kupelajari dari guru kesenian saat SMK.            ”Saya ingin bertanya, adakah di antara kalian yang menyukai bidang seni yang saya tulis di sini?”            ”Nggak adaaa!” seperti sebuah choir, jawaban atas pertanyaan yang kulontarkan.            “Baik.” Aku mengangguk seraya mengacungkan ibu jari hingga setinggi wajah, berusaha tetap bersikap cool. Walau hati ini mulai bergolak memanas, kepalaku harus tetap dingin. “Sekarang saatnya saya membuat kalian menyukai seni, atau paling tidak menuntaskan kewajiban kalian hari ini dalam hal memahami ilmunya sebagai nilai tambahan rapor kalian
Baca selengkapnya

14. Kepada Marsel

Tiba-tiba, pintu kelas berderak keras dan membuka. Derryl berdiri di depan pintu. Di luar dugaan, anak muda itu melangkah ke depan kelas, meraih eraser di meja guru dan langsung menghapus lukisan di white board.            ”Jangan bikin gue marah!” serunya pada Nayyara yang seolah tak memercayai apa yang dilihatnya barusan.Sepertinya, drama percintaan akan kusaksikan lagi hari ini.            “Dan Pak Bram,” Derryl menuding ke arahku. “Dengar, ya, Pak. Saya nggak suka sama guru yang kegenitan macam Bapak. Saya nggak suka lihat Bapak kecentilan sama Nayya. Apa Bapak tau siapa papa saya? Papa saya seorang perwira tinggi yang kapan saja bisa mengirim pasukannya untuk menghabisi Bapak kalau saya mau!”Setelah menebar ancaman, Derryl pun menuju bangkunya. Dia hanya mengambil tas sekolah lalu menar
Baca selengkapnya

15. Dia Murid yang Blagu, Pak

Tiba di rumah sakit, kami bergegas menuju salah satu kamar VIP dimana Marsel terbaring lemah. Setelah sedikit berbincang dengan kemenakannya, tante Marsel mempersilakanku mendekat ke tempat tidur. Anak itu duduk berselonjor memangku laptop di atas ranjang. Tubuhnya terlihat semakin kurus dengan kelopak mata yang begitu cekung. Sorot matanya terasa dingin menusuk saat melihat kehadiranku.“Bagaimana keadaanmu?” sapaku hati-hati.Marsel diam. Dia malah membuang tatapannya ke luar jendela.“Sebenarnya saya sedikit lega, absenmu di sekolah hari ini bukan karena hal lain. Semoga kondisimu cepat pulih lagi, Marsel, dan bisa kembali ke sekolah.”“Nggak usah sok jadi pahlawan hanya karena nengok aku ke sini.” Potong Marsel. Kulihat dia menutup laptop dan menyingkirkannya. “Aku nggak akan ke sekolah lagi. Aku nggak senang melihat Bapak mengajar di kelas.”“Kamu, nggak kangen sama teman-teman? Jangan pern
Baca selengkapnya

16. Ini Hari Ulang Tahunnya

Aku sampai berdiri dari kursi karena geram. Namun, belum lagi bibirku membuka, anak itu mengeloyor dari hadapanku tanpa permisi. Pak Tris yang sedari tadi memerhatikan kami dari depan ruangannya, bangkit mendekat padaku dan menepuk bahuku pelan. Beberapa rekan guru pun hanya saling pandang dengan bingung.“Namanya Anton, ‘penguasa’ kelas XII IPA.” Kata Pak Tris sambil tersenyum menyabarkanku. “Temuilah mereka, dan bicarakan baik-baik.”            Kuembuskan perlahan napas berat yang sejak jadi tertahan, mengangguk dan tersenyum lega menerima dukungan moral dari Pak Tris. Langkahku pun mantap menuju kelas XII IPA, kelas yang memiliki situasi dan kondisi tak jauh beda dengan kelas yang kupegang. Ruangan yang besar itu tengah riuh-rendah oleh kelompok-kelompok kecil yang saling beradu mulut, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Mengetahui bahwa jam pelajaran belum dimulai kembali, ak
Baca selengkapnya

17. Sebuah Lagu Untuknya

Hari ini Elis ulang tahun? Kupandangi kalender di dinding ruang tamu. Tanggal tujuh di bulan Agustus. Benar!Kutepuk keningku. Kenapa aku bisa lupa begini? Kesibukan kuliah dan mengajar sesudahnya membuatku tidak lagi memikirkan hal-hal semacam ini. Apa yang harus kulakukan sekarang? Di saat bingung begini, aku malah melihat bayangan Elis di kamarnya melalui tirai. Kurasa dia mencoba mencuri dengar obrolanku dengan Asep sejak tadi.“Abi sama Umi lagi ke mana?” tanyaku.“Lagi pergi ke undangan kawinan, A. Dari habis maghrib tadi belum pulang-pulang juga.”“Hmm, kalau gitu Aa pulang dulu, ya,”“Kok Aa pulang?”“Sssstt. Mau nyiapin sesuatu buat Teteh,” bisikku pula.Asep mengangguk senang. Kutinggalkan anak itu dan pulang ke rumah.Kulihat Fajrin di kamar masih membuka-buka bukunya. Saat melihatku memungut gitar di kamar, Fajrin hanya menoleh. Konsentrasi belajarnya tak t
Baca selengkapnya

18. Pesan Dari Marsel

Keceriaanku semalam terbawa hingga pagi hari saat di kampus. Entahlah, setiap kebersamaan yang kulalui bersama Elis dari satu momen ke momen lainnya seakan terus me-recharge hidupku. Mindset-ku terhadap tugas-tugas kuliah pun makin cenderung ke arah yang lebih positif. Siang ini diskusiku dengan dosen di kelas terasa begitu bergairah dan semangatku seakan meletup untuk segera menyelesaikan tugas-tugas makalah.Sebenarnya aku tidak berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Kuakui, para dosen seakan-akan tak punya hati dengan membanjiri kami dengan banyaknya tugas setiap harinya. Namun, setiapkali jenuh menyapa—apalagi sejak merasakan ‘sensasi’ menjadi guru di SMU Insan Kamil—aku kembali pada pola pikirku: bahwa dosen memiliki tujuan tersendiri saat membombardir mahasiswanya dengan tugas makalah. Bukankah untuk menyusun makalah yang baik selalu membutuhkan referensi? Untuk mendapat referensi itulah, mahasiswa dituntut kreatif dan rajin men
Baca selengkapnya

19. Surat Dari Marsel

Untuk Pak Bram di tempat.Assalaamualaikum, Pak. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Bapak. Kartu-kartu penyemangat dari teman-teman telah membuat saya menangis haru. Saya menjadi lebih hidup, yang selama ini saya merasa tak ada yang peduli dengan saya. Kartu-kartu itu membuat saya bersemangat, ternyata saya memang tidak sendirian di dunia ini. Terima kasih, Pak. Ini sudah cukup menunjukkan pada saya bahwa Bapak bukan guru biasa. Maafkan kelancangan saya terhadap Bapak, saya sadar itu sangat salah.                  Saya tak mau bersedih lagi akan masalah keluarga yang saya hadapi. Saya tak mau bersedih lagi akan penyakit yang saya derita. Bapak bena
Baca selengkapnya

20. Katanya Ini Virus Cinta

Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.Harap dan cemas meliputi hati dan langkah-langkah kami saat menyusuri lorong-lorong panjang menuju kamar dimana Marsel terbaring saat ini. Saat suster yang menjaga ruangan mengatakan bahwa Marsel telah dibawa ke kamar operasi, bersama 20 orang muridku kami segera menuju ke sana.Sungguh ruang tunggu yang mencekam. Dingin. Sepi. Hanya di deretan bangku panjang inilah kami diperbolehkan menunggu hingga operasi dinyatakan selesai, persis di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Tante Marsel saat ini ada bersama kami. Di sebelahnya duduk seorang pria gagah setengah baya—papa Marsel—yang juga terlihat muram.Satu per satu dari kami menyalami kedua orang itu.”Kami mohon doa dari Bapak, dan murid-murid Bapak semuanya,” pinta papa Marsel, tersendat-sendat. Wajah pria berpakaian necis itu terlihat berduka. “Doakan, mohon doakan anak saya,”Sekuat tenaga papa Marcel berusaha
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status