Hari ini Elis ulang tahun? Kupandangi kalender di dinding ruang tamu. Tanggal tujuh di bulan Agustus. Benar!
Kutepuk keningku. Kenapa aku bisa lupa begini? Kesibukan kuliah dan mengajar sesudahnya membuatku tidak lagi memikirkan hal-hal semacam ini. Apa yang harus kulakukan sekarang? Di saat bingung begini, aku malah melihat bayangan Elis di kamarnya melalui tirai. Kurasa dia mencoba mencuri dengar obrolanku dengan Asep sejak tadi.
“Abi sama Umi lagi ke mana?” tanyaku.
“Lagi pergi ke undangan kawinan, A. Dari habis maghrib tadi belum pulang-pulang juga.”
“Hmm, kalau gitu Aa pulang dulu, ya,”
“Kok Aa pulang?”
“Sssstt. Mau nyiapin sesuatu buat Teteh,” bisikku pula.
Asep mengangguk senang. Kutinggalkan anak itu dan pulang ke rumah.
Kulihat Fajrin di kamar masih membuka-buka bukunya. Saat melihatku memungut gitar di kamar, Fajrin hanya menoleh. Konsentrasi belajarnya tak t
Keceriaanku semalam terbawa hingga pagi hari saat di kampus. Entahlah, setiap kebersamaan yang kulalui bersama Elis dari satu momen ke momen lainnya seakan terus me-recharge hidupku. Mindset-ku terhadap tugas-tugas kuliah pun makin cenderung ke arah yang lebih positif. Siang ini diskusiku dengan dosen di kelas terasa begitu bergairah dan semangatku seakan meletup untuk segera menyelesaikan tugas-tugas makalah.Sebenarnya aku tidak berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Kuakui, para dosen seakan-akan tak punya hati dengan membanjiri kami dengan banyaknya tugas setiap harinya. Namun, setiapkali jenuh menyapa—apalagi sejak merasakan ‘sensasi’ menjadi guru di SMU Insan Kamil—aku kembali pada pola pikirku: bahwa dosen memiliki tujuan tersendiri saat membombardir mahasiswanya dengan tugas makalah. Bukankah untuk menyusun makalah yang baik selalu membutuhkan referensi? Untuk mendapat referensi itulah, mahasiswa dituntut kreatif dan rajin men
Untuk Pak Bram di tempat.Assalaamualaikum, Pak. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Bapak. Kartu-kartu penyemangat dari teman-teman telah membuat saya menangis haru. Saya menjadi lebih hidup, yang selama ini saya merasa tak ada yang peduli dengan saya. Kartu-kartu itu membuat saya bersemangat, ternyata saya memang tidak sendirian di dunia ini. Terima kasih, Pak. Ini sudah cukup menunjukkan pada saya bahwa Bapak bukan guru biasa. Maafkan kelancangan saya terhadap Bapak, saya sadar itu sangat salah. Saya tak mau bersedih lagi akan masalah keluarga yang saya hadapi. Saya tak mau bersedih lagi akan penyakit yang saya derita. Bapak bena
Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.Harap dan cemas meliputi hati dan langkah-langkah kami saat menyusuri lorong-lorong panjang menuju kamar dimana Marsel terbaring saat ini. Saat suster yang menjaga ruangan mengatakan bahwa Marsel telah dibawa ke kamar operasi, bersama 20 orang muridku kami segera menuju ke sana.Sungguh ruang tunggu yang mencekam. Dingin. Sepi. Hanya di deretan bangku panjang inilah kami diperbolehkan menunggu hingga operasi dinyatakan selesai, persis di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Tante Marsel saat ini ada bersama kami. Di sebelahnya duduk seorang pria gagah setengah baya—papa Marsel—yang juga terlihat muram.Satu per satu dari kami menyalami kedua orang itu.”Kami mohon doa dari Bapak, dan murid-murid Bapak semuanya,” pinta papa Marsel, tersendat-sendat. Wajah pria berpakaian necis itu terlihat berduka. “Doakan, mohon doakan anak saya,”Sekuat tenaga papa Marcel berusaha
Aku tertegun mengetahui tekad dan keinginan Fajrin. Apalagi, dia mengucapkannya dengan mimik serius tanpa aksen Jawa seperti biasanya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti dia: seseorang yang tangguh, punya karakter, kepribadiannya khas, dan tidak suka ikut-ikutan. Selama dekatnya dengannya pun, aku merasa dalam diri ini ada beberapa hal yang berubah ke arah yang lebih baik.Fajrin memberiku pengalaman berharga bukan melalui ceramah-ceramah atau dengan cara terang-terangan mengajakku memperdalam agama. Salah satu cara Fajrin yang membuatku tersentuh adalah saat dia mengajakku berlibur ke kampung halamannya di Bumi Jawa, di kawasan sekitar Gunung Slamet yang berpanorama alam sangat indah, yang begitu sejuk dengan banyaknya kebun-kebun stroberi. Aku diperkenalkan pada para santri sahabat-sahabat Fajrin. Melalui obrolan dan diskusi ringan kami seputar agama, semakin bertambahlah wawasanku mengenai Islam dan bagaimana menjadi muslim yang sesungguhnya.“Dari dulu pu
”Ya, saya sering lihat Sylla dan teman-temannya sesama pengamen di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Pak.” Ungkap Nelwan siang itu. “Dia memang sempat cerita sama saya tentang kerjaannya itu. Kadang dia ngamen di metromini jurusan Blok M, kadang di bus Mayasari jurusan Bekasi dan Cikarang.”Saat ini sudah jam istirahat. Nelwan kuminta datang menemuiku di kantin sekolah. Kami memang mulai akrab sejak sama-sama ‘berdamai’ dengan Marsel beberapa waktu lalu.”Kamu bisa antar saya ke tempat Sylla mengamen?””Bisa, Pak, kebetulan hari saya bawa motor. Nanti Pak Bram aja ya, yang nyetir motornya,”Tak kusia-siakan kesempatan itu. Selepas maghrib, begitu jam belajar berakhir, Nelwan benar-benar menepati janjinya mengantarku mencari Sylla.Di luar dugaanku, suasana petang menjelang malam ternyata tak membuat kami kesulitan menemukan gadis itu di antara para pengamen jalanan. Ya, kami menemukan Sylla. Dalam
Esoknya di sekolah, sebuah insiden kecil kembali menyeret langkahku cepat menuju ruang kelas XI IPA. Sebuah pemandangan tak menyenangkan tersaji di depan mata, seperti drama remaja yang tak layak ditonton anak-anak yang membuatku lagi-lagi beristighfar dan menarik napas berat. Kejadian semacam ini seakan telah menjadi ‘makanan’ sehari-hariku di tempat ini, yang suka atau tidak suka harus kubereskan. "Ayo! Lawan! Kamu pasti menang, Nay!” “Hahaha! Syllaa, ayoo tunjukkin jiwa preman elo! Masa kalah sih?!” Di tengah-tengah kelas, tampak Nayyara dan Syilla tengah berseteru. Saling memaki, mengumpat, saling berjambak rambut ‘lawannya’ satu sama lain. Herannya tak satu pun teman-teman mereka berusaha melerai. Seisi kelas malah menambah suasana kian panas dengan menyorakkan dukungan. “Piting dia, Nayya! Elo mah kereeen! Hahaha!” “Ayo, Sylla! Makan tu jablai!” Aku tidak tahan lagi. Kugebrak-gebrak meja di dekatku. "Nayya! Sy
Aku masih harus menunggu azan maghrib berkumandang. Menunaikan sholat tiga rokaat, barulah bisa bergerak menuntaskan misi hari ini. Mencari Syilla.Suasana Pasar Jumat di Lebak Bulus masih persis seperti kemarin petang saat Nelwan mengantarku mencari Sylla. Intuisiku bicara bahwa Sylla berada di sini sejak siang tadi begitu kabur dari sekolah. Kukelilingi tempat yang sama seperti kemarin, mencoba menyeruak kerumunan orang dan mengamati para pengamen yang bergerombol di sana. Tidak ada. Tak kutemukan muridku yang berambut pendek itu.Saat raga mulai letih, tiba-tiba mataku memergoki sesosok pengamen—masih muda dan tampak kumal—yang seingatku kemarin dia memberikan gitar kepada Sylla. Ketika dia melihat ke arahku, tak kusia-siakan kesempatan itu."Maaf, Mas, saya mencari Syilla. Apa dia ke sini?""Oh, tadi dia naik bus jurusan Bekasi, Mas,” sahut pengamen itu sambil membetulkan senar gitarnya yang mengendur."Mas t
Aku tertegun melihatnya beraksi di depan para penumpang, di atas bus yang melaju. Syilla, indah suaramu! Tuhan memberimu anugerah luar biasa, dan kaumanfaatkan itu untuk memperjuangkan sekolahmu. Aku nyaris kehilangan kata-kata yang mewakilkan kekagumanku padamu.Sebuah lagu yang cukup populer berlirik bahasa Inggris selesai dia nyanyikan atas permintaan seorang penumpang di barisan depan. Aku berdiri perlahan dari duduk, dan berjalan merambat ke arahnya. Memergoki keberadaanku di dalam bus, Syilla terlihat ingin menghindar dari kejaranku. Sayang sekali gerakannya masih terlalu lamban, karena dengan sigap aku lebih dulu meraih gitar dalam genggamannya.Apa mau Bapak sebenarnya? Mungkin itu yang ingin dia ungkapkan melalui tatap tajam matanya saat gitar itu berpindah ke tanganku."Kasih Bapak kesempatan berduet denganmu. Satu lagu.” Ucapku, kubalas tatap tajamnya dengan senyum. “Jika gagal, Bapak tak akan mengganggumu lagi. Tapi kalau Bapak b
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu