Esoknya di sekolah, sebuah insiden kecil kembali menyeret langkahku cepat menuju ruang kelas XI IPA. Sebuah pemandangan tak menyenangkan tersaji di depan mata, seperti drama remaja yang tak layak ditonton anak-anak yang membuatku lagi-lagi beristighfar dan menarik napas berat. Kejadian semacam ini seakan telah menjadi ‘makanan’ sehari-hariku di tempat ini, yang suka atau tidak suka harus kubereskan.
"Ayo! Lawan! Kamu pasti menang, Nay!”
“Hahaha! Syllaa, ayoo tunjukkin jiwa preman elo! Masa kalah sih?!”
Di tengah-tengah kelas, tampak Nayyara dan Syilla tengah berseteru. Saling memaki, mengumpat, saling berjambak rambut ‘lawannya’ satu sama lain. Herannya tak satu pun teman-teman mereka berusaha melerai. Seisi kelas malah menambah suasana kian panas dengan menyorakkan dukungan.
“Piting dia, Nayya! Elo mah kereeen! Hahaha!”
“Ayo, Sylla! Makan tu jablai!”
Aku tidak tahan lagi. Kugebrak-gebrak meja di dekatku.
"Nayya! Sy
Aku masih harus menunggu azan maghrib berkumandang. Menunaikan sholat tiga rokaat, barulah bisa bergerak menuntaskan misi hari ini. Mencari Syilla.Suasana Pasar Jumat di Lebak Bulus masih persis seperti kemarin petang saat Nelwan mengantarku mencari Sylla. Intuisiku bicara bahwa Sylla berada di sini sejak siang tadi begitu kabur dari sekolah. Kukelilingi tempat yang sama seperti kemarin, mencoba menyeruak kerumunan orang dan mengamati para pengamen yang bergerombol di sana. Tidak ada. Tak kutemukan muridku yang berambut pendek itu.Saat raga mulai letih, tiba-tiba mataku memergoki sesosok pengamen—masih muda dan tampak kumal—yang seingatku kemarin dia memberikan gitar kepada Sylla. Ketika dia melihat ke arahku, tak kusia-siakan kesempatan itu."Maaf, Mas, saya mencari Syilla. Apa dia ke sini?""Oh, tadi dia naik bus jurusan Bekasi, Mas,” sahut pengamen itu sambil membetulkan senar gitarnya yang mengendur."Mas t
Aku tertegun melihatnya beraksi di depan para penumpang, di atas bus yang melaju. Syilla, indah suaramu! Tuhan memberimu anugerah luar biasa, dan kaumanfaatkan itu untuk memperjuangkan sekolahmu. Aku nyaris kehilangan kata-kata yang mewakilkan kekagumanku padamu.Sebuah lagu yang cukup populer berlirik bahasa Inggris selesai dia nyanyikan atas permintaan seorang penumpang di barisan depan. Aku berdiri perlahan dari duduk, dan berjalan merambat ke arahnya. Memergoki keberadaanku di dalam bus, Syilla terlihat ingin menghindar dari kejaranku. Sayang sekali gerakannya masih terlalu lamban, karena dengan sigap aku lebih dulu meraih gitar dalam genggamannya.Apa mau Bapak sebenarnya? Mungkin itu yang ingin dia ungkapkan melalui tatap tajam matanya saat gitar itu berpindah ke tanganku."Kasih Bapak kesempatan berduet denganmu. Satu lagu.” Ucapku, kubalas tatap tajamnya dengan senyum. “Jika gagal, Bapak tak akan mengganggumu lagi. Tapi kalau Bapak b
Syilla menolak kutemani hingga larut malam. Selain lebih nyaman bersama teman-teman pengamennya itu, mungkin dia canggung ada aku di dekatnya. Karenanya aku memutuskan pulang setelah menyempatkan diri sholat Maghrib di perjalanan.Perasaan tak enak mengusikku begitu sampai di rumah indekos. Tidak biasanya umi Elis duduk di teras depan selepas maghrib begini, apalagi dengan wajah murung seperti itu. Dia seperti sengaja menunggu kepulanganku.“Assalaamualaikum, Umi,” sapaku sekaligus bersalam.Melihatku sudah ada di dekatnya, umi Elis bergegas bangkit. Benar, tidak seperti biasanya dia segelisah ini. “Waalaikum salaam. Alhamdulillaah kamu pulang. Tolong Elis, Bram!”“Elis kenapa, Umi?” “Sebelum maghrib tadi Elis nelepon dari kampus, katanya dia mendadak demam dan nggak kuat bawa motor. Umi sudah berkali-kali telepon Abi, bilang mau jemput ke sana t
“Lis," panggilku, begitu mengkhawatirkan keadaannya. “Kamu mau cerita sama Aa?”Elis tampak menggigit bibirnya, mungkin agar air matanya tidak terus-menerus tumpah. “Elis merasa berdosa, A. Elis malu ngomongin hal ini ke Aa,”“Dosa? Kamu ini sebenarnya mau ngomong apa, Lis?”“Iya, A, Elis takut pada apa yang udah Elis alami.” Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.Makin cemaslah aku dibuatnya. Ada apa ini? “Sebaiknya kamu cerita sama Aa, Lis. Nggak baik dipendam sendiri!”"Elis … Elis lagi suka sama seseorang, A. Mungkin malah Elis bener-bener suka banget sama dia.” Ungkapnya, mengejutkanku. “Elis merasa berdosa karena perasaan ini nggak pada waktunya dan bukan pada tempatnya. Rasa bersalah ini yang menyita pikiran Elis, Aa. Elis takut. Elis bingung harus gimana.”Gadis di sebelahku seolah sedang membongkar isi hatinya dengan jujur dan apa ada
Hampir jam 21.00 kami sampai di rumah Elis. Setelah pamit pada uminya aku pun pulang ke rumah sebelah, ke tempat indekosku bersama Fajrin. Campur aduk rasanya kondisiku malam ini. Capek, pusing, panas, sekaligus gelisah tak berkesudahan. Pikiranku pun kemana-mana.Cinta? Topik yang lebih sering tidak menariknya bagiku. Entah kenapa tiba-tiba aku memikirkan yang satu ini. Siapa sih laki-laki yang disayangi Elis? Ada apa ini? Kenapa juga aku harus merisaukan laki-laki yang Elis sukai? Lalu kenapa aku tiba-tiba mempertanyakan perasaanku terhadap Elis? Benar-benar aneh!Pikiranku melayang pada hal-hal yang menimpa teman-teman di kampus. Mereka seringkali dibutakan dan sering dirugikan oleh urusan cinta. Seperti nila yang merusak susu sebelanga. Inikah yang mereka alami? Kalau aku terus larut terbawa perasaan ini, siapkah aku jadi korbannya? Mampukah fokus utamaku tetap pada kuliah dan mengajar, dengan membuang jauh-jauh pikiran galau tak karuan seperti ini? Urusan dengan m
Sinar matahari menjelang sore yang hangat menyeruak dari celah-celah pepohonan di sekolah. Kontras dengan suasana semalam, siang ini terlihat cerah dan indah saat kutemukan beberapa wajah penuh senyum hangat di kelas XI IPA.Walaupun tak ada semangat seperti hari-hari lalu, rutinitas mengajar tetap kumulai dengan mengecek absensi siswa. Kejutan besar rupanya menungguku sejak tadi. Kulihat Marsel tersenyum melihat kedatanganku. Sylla pun hadir dan sudah duduk manis di bangkunya. Wajahnya segar, tidak lesu seperti biasanya.“Oke, untuk hari ini silakan bergabung dengan kelompok kalian.” Kataku di depan kelas, mengawali pelajaran. “Seperti yang sudah kita ketahui, pementasan seni teater sekolah sudah semakin dekat. So, selama dua jam ke depan let’s open your mind, segarkan ingatan pada teori artikulasi, pelafalan, penghayatan, dan blocking minggu lalu. Hari ini juga kita akan mulai berlatih blocking
Dalam perjalanan pulang, pikiranku masih galau tak menentu. Satu-dua masalah seolah berloncatan tiada henti di depan mata. Konsentrasi mengajarku pecah! Kenapa hari ini seolah jadi hari yang paling buruk bagiku? Ya Allaah, kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan Elis dan surat kaleng berisi ungkapan cinta yang diterima Fajrin? Kenapa ini seperti misteri besar yang harus segera kuselesaikan? Gelisah dan lelah kian menyerbuku begitu sampai tujuan. Kutuju pintu depan dengan langkah lemas. Di tanganku terjinjing tas yang juga berisi dus handphone baruku. “Pak Bram!” Mataku yang lelah terbuka lebar seketika. Aku hafal suara itu. “Nayya? Ngapain di rumahku?”
Kutinggalkan jalan raya, kembali ke rumah setelah kendaraan umum itu menghilang di tikungan. Ya, sekalut apa pun Nayya aku tahu dia akan selalu baik-baik saja, lalu bagaimana dengan Elis? Aku tak bisa melupakan ekspresi Elis saat tanpa sengaja memergoki Nayya tengah memelukku. Seakan terbayang di depan mata saat Elis berlalu begitu saja, tak mau mendengarku dan membanting pintu kuat-kuat di depan mataku. Aku sangat mencemaskan Elis. Aku takut sikap Elis berubah padaku setelah ini.Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Bukankah sepantasnya aku lebih memikirkan masalah yang sedang dialami Nayya daripada memikirkan Elis?Apakah aku mencintai Elis, dan Elis juga mencintaiku? Seharusnya Elis tidak perlu mengambek seperti itu jika dia tidak menaruh hati padaku. Kalau benar Elis menginginkan aku, kenapa dia malah mengaku sedang mengagumi laki-laki lain? Kenapa dia malah mengirim surat ungkapan kekaguman pada Fajrin? Sampai pagi tadi aku makin yakin bahwa surat itu memang dari E
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu