Sinar matahari menjelang sore yang hangat menyeruak dari celah-celah pepohonan di sekolah. Kontras dengan suasana semalam, siang ini terlihat cerah dan indah saat kutemukan beberapa wajah penuh senyum hangat di kelas XI IPA.
Walaupun tak ada semangat seperti hari-hari lalu, rutinitas mengajar tetap kumulai dengan mengecek absensi siswa. Kejutan besar rupanya menungguku sejak tadi. Kulihat Marsel tersenyum melihat kedatanganku. Sylla pun hadir dan sudah duduk manis di bangkunya. Wajahnya segar, tidak lesu seperti biasanya.
“Oke, untuk hari ini silakan bergabung dengan kelompok kalian.” Kataku di depan kelas, mengawali pelajaran. “Seperti yang sudah kita ketahui, pementasan seni teater sekolah sudah semakin dekat. So, selama dua jam ke depan let’s open your mind, segarkan ingatan pada teori artikulasi, pelafalan, penghayatan, dan blocking minggu lalu. Hari ini juga kita akan mulai berlatih blocking
Dalam perjalanan pulang, pikiranku masih galau tak menentu. Satu-dua masalah seolah berloncatan tiada henti di depan mata. Konsentrasi mengajarku pecah! Kenapa hari ini seolah jadi hari yang paling buruk bagiku? Ya Allaah, kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan Elis dan surat kaleng berisi ungkapan cinta yang diterima Fajrin? Kenapa ini seperti misteri besar yang harus segera kuselesaikan? Gelisah dan lelah kian menyerbuku begitu sampai tujuan. Kutuju pintu depan dengan langkah lemas. Di tanganku terjinjing tas yang juga berisi dus handphone baruku. “Pak Bram!” Mataku yang lelah terbuka lebar seketika. Aku hafal suara itu. “Nayya? Ngapain di rumahku?”
Kutinggalkan jalan raya, kembali ke rumah setelah kendaraan umum itu menghilang di tikungan. Ya, sekalut apa pun Nayya aku tahu dia akan selalu baik-baik saja, lalu bagaimana dengan Elis? Aku tak bisa melupakan ekspresi Elis saat tanpa sengaja memergoki Nayya tengah memelukku. Seakan terbayang di depan mata saat Elis berlalu begitu saja, tak mau mendengarku dan membanting pintu kuat-kuat di depan mataku. Aku sangat mencemaskan Elis. Aku takut sikap Elis berubah padaku setelah ini.Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Bukankah sepantasnya aku lebih memikirkan masalah yang sedang dialami Nayya daripada memikirkan Elis?Apakah aku mencintai Elis, dan Elis juga mencintaiku? Seharusnya Elis tidak perlu mengambek seperti itu jika dia tidak menaruh hati padaku. Kalau benar Elis menginginkan aku, kenapa dia malah mengaku sedang mengagumi laki-laki lain? Kenapa dia malah mengirim surat ungkapan kekaguman pada Fajrin? Sampai pagi tadi aku makin yakin bahwa surat itu memang dari E
Aku memilih terus berpura-pura tidur ketika Fajrin akhirnya pulang setelah lewat jam 20.00 malam itu. Lama benar dua orang itu pergi! Aku mendengar dengan jelas ketika Fajrin sudah masuk ke kamar dan meletakkan sesuatu di atas meja tulisku, sepertinya makanan karena aroma yang tercium dari sana masih sangat kukenali. Ini harum aroma martabak kesukaan Elis!Dalam remang mataku yang tidak benar-benar terpejam, kulihat Fajrin duduk melepas sepatunya sambil melihat ke arahku. “Bram,” Fajrin mulai mengajak bicara. Aku tidak akan menyahut. Aku akan terus diam seakan-akan tertidur pulas. “Ane tahu ente belum tidur! Tuh, ada amunisi dari Elis. Mau nggak? Kalau nggak mau ane abisin sekarang ya!”&nb
“Ah, saya tau,” gadis di sebelahku meraih gitarnya dan langsung menuduhku, “Bapak pasti lagi patah hati!"Aku menggeleng.“Ya udah ini gitarnya! Saya pengen dengerin suara Bapak lagi,” Sylla benar-benar tidak peduli dengan keadaanku saat itu. Diulurkannya gitar padaku.Aku meraihnya dan memain-mainkan jemariku sebentar di atas senar, tidak tahu ingin memainkan nada apa. Entah sesuai atau tidak dengan suasana hati saat ini, tiba-tiba lirik lagu Now and Forever yang pernah hit oleh Richard Marx terucap olehku begitu saja. Jari-jemariku pun refleks memainkan setiap kuncinya. Lalu, suara kami pun tiba-tiba bisa begitu padu.“Whenever I'm weary from the battles that rage in my headYou made sense of madness when my sanity hangs by a treadI lose my way but still you seem to understandNow and forever I will be your man
Selepas sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah, aku diajak Fijrin sarapan nasi uduk di warung yang tak jauh dari situ. Aku sudah tak sabar mendengar penjelasan Fajrin mengenai akhwat yang mengajaknya taaruf."Sob, gimana taarufnya?" tanyaku setelah meneguk teh hangat tawar."Ane bingung, Sob. Ane belum tahu lagi mau lanjut atau tidak. Semalam ane sudah sholat istikharah. Belum ada tanda-tanda jawaban dari Allah." Jawab Fajrin. "Ente sendiri, bagaimana sebenarnya sama Elis?""Nggak usah bahas Elis dulu deh, Sob. Ane mau bahas yang ente dulu nih," ucapku mengikuti gayanya: ber-ane-ente."Ane serius nih, Sob. Kalau ente emang masih ragu sama hati ente terhadap Elis, berarti itu tandanya ane nggak cinta sama dia. Kalau emang begitu, ane ada calon buat ente untuk taaruf." Ucap Fajrin."Taaruf? Maksud kamu, mau serahin calon taarufmu ke aku, gitu?""Bukaaan! Di Tegal, ada gadis belia, cantik, dan insya Allah sholehah. Orang tuanya m
Setelah menguasai keragu-raguanku sejenak, akhirnya kupijit bel rumah di dekat gerbang tinggi itu. Beberapakali, sampai dua orang petugas keamanan membukakan gerbang.“Selamat malam,” sapaku sopan.“Malam. Mau cari siapa?” Aku ditanya dengan sikap waspada.“Maaf, apakah benar ini rumah Pak Hari Suryo, orang tua Derryl? Saya Bram, wali kelas Derryl di sekolah.”“Ada keperluan apa malam-malam Sudah ada janji?”“Tidak ada janji, Pak, hanya melalui surat. Ini kunjungan sekolah biasa, tapi ada hal penting yang harus diketahui Pak Hari Surjo tentang putranya.”Setelah bicara dengan rekannya beberapa saat, salah seorang petugas mengangguk dan membawaku masuk. Kuikuti laki-laki berambut cepak itu melewati taman hingga sampai ke ruang tamu yang luas, terang dan sejuk. Petugas itu pun langsung beranjak ke ruang dalam. Sepertinya dia akan memberitahukan kedatanganku kepada tuan rumah.
“Bram …?”Kudengar seseorang memanggil dengan hati-hati.Saat perlahan mataku membuka, kutemukan tubuhku terbaring dalam ruangan berdinding putih bersih.Sepi.“Fajrin,” panggilku lemah, saat melihat seseorang berdiri di dekatku.“Alhamdulillaah, ente udah siuman.” Fajrin terlihat begitu lega. “Tadi ada orang nelepon ane. Mungkin dia liat nomor ane di hape ente. Dia yang bawa ente ke rumah sakit ini, Sob, tapi mereka nggak tau asal-muasal ente bisa kayak gini. ”Aku mengangguk-angguk sambil mencoba bergerak, meraba kepalaku yang berat, pusing dan berdenyut-denyut sakit. Tanganku menyentuh perban basah di kepala, juga di beberapa bagian tubuhku yang lain.“Siapa yang ngelakuin ini, Sob?" Fajrin menggeram penuh emosi.“Sudahlah, aku nggak apa-apa. Ini cuma salah paham,”“Nggak! Ane nggak bisa tinggal diam lihat sobat ane babak belur kayak gini.
Mendung di atas sana tampak sendu, siang ini. Entah sudah berapa lama kupandangi gumpalan awan gelap berarak-arak di langit melalui jendela kamar rumah sakit ini.Fajrin sedang menemui dokter yang merawatku, sekaligus membicarakan perihal kepulanganku hari ini atau besok. Sebelumnya Fajrin menaruh mangkuk berisi bubur ayam—yang khusus dibawa Elis untukku—di dekatku. Harum bawang goreng dan aroma kaldu ayamnya yang lezat berpadu menggodaku, namun aku masih belum berniat menyantapnya.Ya Robbi, hanya kepada-Mu hamba berlindung. Hanya kepada-Mu hamba memohon. Ampuni aku yang telah buruk sangka pada-Mu, Rob, setiapkali meratapi apa yang menimpaku sementara aku tak siap menerimanya.Wahai Tuhan, telah kuberikan tulus pengabdian, perhatian dan rasa tanggung jawab terhadap murid-muridku saat ini. Mengapa begitu rumit jalan membentang di jalurku, Tuhan? Belum cukupkah rasa sakit ini, pukulan, hantaman dan tendangan ini?Allaahu Robbi, salahkah aku hin