“Bram …?”
Kudengar seseorang memanggil dengan hati-hati.
Saat perlahan mataku membuka, kutemukan tubuhku terbaring dalam ruangan berdinding putih bersih.
Sepi.
“Fajrin,” panggilku lemah, saat melihat seseorang berdiri di dekatku.
“Alhamdulillaah, ente udah siuman.” Fajrin terlihat begitu lega. “Tadi ada orang nelepon ane. Mungkin dia liat nomor ane di hape ente. Dia yang bawa ente ke rumah sakit ini, Sob, tapi mereka nggak tau asal-muasal ente bisa kayak gini. ”
Aku mengangguk-angguk sambil mencoba bergerak, meraba kepalaku yang berat, pusing dan berdenyut-denyut sakit. Tanganku menyentuh perban basah di kepala, juga di beberapa bagian tubuhku yang lain.
“Siapa yang ngelakuin ini, Sob?" Fajrin menggeram penuh emosi.
“Sudahlah, aku nggak apa-apa. Ini cuma salah paham,”
“Nggak! Ane nggak bisa tinggal diam lihat sobat ane babak belur kayak gini.
Mendung di atas sana tampak sendu, siang ini. Entah sudah berapa lama kupandangi gumpalan awan gelap berarak-arak di langit melalui jendela kamar rumah sakit ini.Fajrin sedang menemui dokter yang merawatku, sekaligus membicarakan perihal kepulanganku hari ini atau besok. Sebelumnya Fajrin menaruh mangkuk berisi bubur ayam—yang khusus dibawa Elis untukku—di dekatku. Harum bawang goreng dan aroma kaldu ayamnya yang lezat berpadu menggodaku, namun aku masih belum berniat menyantapnya.Ya Robbi, hanya kepada-Mu hamba berlindung. Hanya kepada-Mu hamba memohon. Ampuni aku yang telah buruk sangka pada-Mu, Rob, setiapkali meratapi apa yang menimpaku sementara aku tak siap menerimanya.Wahai Tuhan, telah kuberikan tulus pengabdian, perhatian dan rasa tanggung jawab terhadap murid-muridku saat ini. Mengapa begitu rumit jalan membentang di jalurku, Tuhan? Belum cukupkah rasa sakit ini, pukulan, hantaman dan tendangan ini?Allaahu Robbi, salahkah aku hin
Saat kemudian aku, Elis, dan Asep mulai merajai jalanan di atas sepeda, matahari masih memancarkan sinar yang cukup bersahabat pagi ini. Kukayuh sepeda tua milik Abi. Sementara itu, Asep mengayuh sepedanya agak jauh di belakangku. Elis pun bersepeda dengan gesit, seperti memandu kami menyusuri jalan menuju Situ Gintung. Situ Gintung adalah danau yang pernah jebol hingga memakan korban di tengah-tengah Kota Ciputat, yang kini sudah berhasil direnovasi hingga kembali asri. ”A Bram! Kita balapan, yuk, sampai gerbang Situ Gintung!” teriak Elis. ”Ayooo! Siapa takut?” ”Wah, pada nggak tau Asep, ya? Lihat aja ntar, Asep kan paling jago sepedaan!” teriak Asep pula.Di jalanan yang agak sepi dari lalu-lalang kendaraan itu, kami bersiap untuk berl
“Elis,” panggilku lirih, setelah melirik Asep yang masih tekun mengutak-atik ponsel.“Iya, A?”Dia menatapku sekarang.“Aa masih penasaran pada laki-laki yang pernah Elis ceritakan belum lama ini.” Ungkapku akhirnya.Tiba-tiba aku merasa konyol mendengar pernyataan bodoh itu dari mulutku sendiri. Mulai menyesal, apalagi kulihat Elis seperti kebingungan. "Maaf, A. Elis nggak akan bilang sama Aa.” “Elis nggak mau bilang, pasti karena Elis sendiri masih belum yakin apakah perasaan Elis saat ini hanya sekadar kagum, suka, atau benar-benar cinta. Iya, kan?” Kulihat Elis menarik napas dan mengembuskannya lembut sekali. Kali ini dia tidak lagi melihat ke arahku, melainkan memandang lepas ke peman
“Nggak usah pura-puralah, Pak. Dari kemarin sekolah ini udah heboh. Teman-teman kami, guru-guru dan kepala sekolah, semua sudah tau!” mata Sylla nyalang menatapku. “Coba Bapak lihat di kelas sekarang. Semua orang ngomongin Bapak. Semua kecewa dan benci sama Bapak. Termasuk saya, Pak, orang yang pernah berharap bahwa kita bisa berteman, tapi ternyata …” “Saya memang tidak pantas jadi temanmu, Sylla, seandainya berita itu benar!” sanggahku kesal. Kuhela napas panjang dan mengembuskannya tak sabar. “Saya akan jelaskan bahwa ini semua …” "Terlambat.” Sylla memotong, lalu membalik punggungnya. “Dan mungkin nggak akan ada yang percaya sama Bapak lagi.”Sylla pun melangkah pergi meninggalkanku.Aku semakin bingung. &nbs
Matahari kian tenggelam menjelang petang ini, namun hawa bumi masih terasa panas. Panasnya terus melekat hingga ke dalam angkot bercat putih yang kutumpangi.Aku masih belum memahami ulah Nayyara yang membuatku kembali diremehkan siswa-siswi di sekolah. Meski aku berusaha mengabaikannya dan berharap keadaan akan segera membaik, hatiku tak urung risau ketika Pak Tris menegurku perihal kabar kurang enak yang beredar di sekolah."Bersihkan namamu, Bram. Perlu diingat, banyak orang-orang yang hancur di kaki sendiri. Mereka berusaha mempertahankan citra diri, namun kadang mereka sendirilah yang menghancurkannya." Kata-kata Pak Tris seperti sebuah tamparan keras untukku. Setidaknya ke depan aku harus lebih berhati-hati. Satu hal yang benar-benar jadi pelajaran berharga, bahwa kadang-kadang ada saja yang salah mengartikan perhatian dan kebaikan yang tulus. Di mana letak salahku saat setulus hati memberi perh
Mungkinkah ini artinya, Allah langsung menjawab sholawat dan doaku?“Bram, ente sering bilang kalau ente nggak punya perasaan khusus buat Elis. Tapi ane tau, Sob, ane bisa membaca sikap ente selama ini. Sekarang terserah ente, Bram. Ente mau mundur, itu hak ente. Maafin ane udah blak-blakan ngomong gini sama ente malam ini. Karena ane nggak mau ente sampai terjatuh dari ketinggian, saat rasa yang ente miliki sudah begitu dalamnya sama Elis.”“Thanks, Sobat.” Kutelan getirnya ludah saat mengucapkannya. Tidak tahu harus bicara apa lagi. “Yaa, sebenarnya, aku cuman anggap Elis … seperti adikku sendiri. Nggak lebih. Kamu tenang aja, ya, nggak usah khawatir."Fajrin tersenyum lega mendengar jawabanku.“Baguslah kalo gitu. Berarti, ane ngomong kayak gini nggak bakalan bikin ente susah tidur, kan? Hehehe!” Fajrin terlihat tenang sekarang. Aku ter
Jalan benar-benar sepi malam itu. Anginnya yang semakin dingin berembus dan seakan menetap hingga ke tulang. Fajrin yang memboncengku di atas Vespa kesayangannya mulai menggigil, tetapi dia terus melaju. Dia lebih memikirkan kecemasan dan ketakutanku akan hal yang belum tentu terjadi.Kami terus melaju menuju Bintaro, setelah lebih dulu menghubungi Sylla lagi untuk memastikan tempat gadis itu bertemu Nayya terakhir kalinya petang tadi. "Kalau tempatnya aja belum jelas gini, ane ragu bisa menemukan murid ente itu, Sob,” cetus Fajrin tanpa bermaksud membuatku makin panik. "Jembatan tol nggak lama lagi, Sob. Kita cek di sana dulu!""Bram! Ane jadi terharu, ente begitu peduli sama murid-murid ente. Kalau benar murid ente punya niatan bunuh diri, mudah-mudahan Allah menyelamatkan dia dari rayuan setan. Ente tau kan, bunuh diri nggak
“Nayya!” Derryl jatuh berlutut di bawah kekasihnya, persis orang yang sudah putus asa. “Nay, asal lo tau, gue sayang banget sama elo. Kalau elo heran, kenapa selama ini gue nggak pernah mau menyentuh elo, itu karena gue bener-bener menghargai sekaligus menjaga kehormatan elo sebagai perempuan, Nay. Kalau memang selama ini gue suka ngatur-ngatur elo, itu cuma sebatas ngurusin sesuatu yang menurut gue nggak bagus dalam diri elo! Gue pengen elo jadi cewek gue yang apa adanya, nggak berlebihan, dan nggak selalu harus kelihatan beda dari cewek-cewek lainnya. Maafin gue, Nay! Please, jangan lakuin itu!”Aku bingung, tak tahu harus berbuat apa.Derryl pun mulai meratap, “Nggak ada lagi yang gue sayang selain elo, Nay. Gue nggak sekolah selama ini bener-bener karena gue nggak mau lihat elo deket-deket Pak Bram! Gue ngaku salah udah ngajakin orang-orang ngebantai Pak Bram! Sekali lagi maafin gue, Nay! Gue emang banyak salah sama e
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu