Semua Bab Misteri Bulan Sabit Berdarah: Bab 1 - Bab 10

15 Bab

Janji

Arwen Marine Raymon berbalik menuruni tangga. Tubuhnya dipenuhi gelayar kebahagiaan ketika Trinita, sang kakak memanggilnya untuk berbicara dengan orangtuanya di telepon. Dia turun menghambur seperti angin ribut menghampiri kakaknya yang sedang memegang gagang telepon sambil terus bicara.“Mmm, baiklah. Nggak apa-apa. Aku mengerti kok, Pa. Salam buat Mama. Dan ini Arwen mau bicara.” Trinita memberikan gagang telepon kepada adiknya.“Halo, Papa.” Arwen berbicara sembari nyengir ke arah Trinita.“Arwen sayang, maaf baru bisa menghubungimu. Bagaimana dengan kabarmu?” jawab Papa dengan suara parau dari seberang sana.“Aku baik-baik saja. Tapi kenapa dengan suara Papa? Papa sakit?”“Papa… Papa baik-baik saja Arwen. Nggak usah khawatir.” Suara Papa terdengar makin seperti orang yang terkena flu. “Papa cuma mau bilang kalau Papa sama Mama pulang hari Rabu.”“Rabu? Kenapa nggak
Baca selengkapnya

Ingin Tahu (Part 1)

Tiga gundukan tanah merah basah bertabur bunga dikelilingi orang-orang berpakaian hitam. Semua menunduk sedih dan mengusap air mata, kemudian satu persatu orang-orang itu mulai meninggalkannya.Mereka meremas bahu Arwen dan Trinita seakan remasan itu mampu menguatkannya. Arwen menahan tangis ketika tangan hangat terakhir sahabatnya meremas bahunya. Trinita masih terisak. Kehilangan tiga orang sekaligus membuat mereka seperti dipukul benda berat yang tak terlihat. Membetot ulu hatinya, membekukan darah dalam pembuluhnya dan membuat hidungnya serasa dibekap hingga sulit bernafas.Arwen mengangkat badan kakaknya yang lemas hampir pingsan kemudian bangkit perlahan-lahan menuju mobil. Dia menyetir tanpa fokus yang anehnya, mobil terasa berjalan tanpa dikendalikan. Terangnya matahari di siang hari tak mampu menerangi hati mereka berdua yang sedang diselimuti mendung.Trinita terisak makin keras dan Arwen hanya meremas kedua tangannya tanpa mampu berkata-kata. Kerongkonganny
Baca selengkapnya

Ingin Tahu (Part 2)

Ketika Arwen terbangun, kamar terlihat gelap gulita. Dia bangkit dan berjalan menyusuri tembok mencari saklar lampu. Setelah menemukannya, dia menekannya, seketika ruangan menjadi terang benderang dalam sekejap.Arwen menuju ke lemari pakaian untuk mencari gaun rumah ibunya. Dia membukanya dan memandang gantungan-gantungan baju milik orang tuanya. Hatinya berdesir perih ketika mengingat semua pakaian itu tak mungkin dipakai mereka lagi. Dia memilih gaun rumah bermotif bunga-bunga cantik. Ketika menariknya dia melihat laci dalam lemari yang tak bisa menutup sepenuhnya karena tersangkut buku warna hitam.Arwen mendekatinya dan mengambilnya. Rupanya itu adalah buku agenda Papa. Dia membuka laci itu penuh-penuh dan menemukan satu lagi buku agenda milik ibunya. Dia membukanya dan mulai membacanya. Rupanya semua isinya sama, hanya beda satu dua kegiatan ke salon dan main golf. Selain itu tampaknya semua kegiatan bisnis mereka dilakukan bersama-sama. Tampak catatan akhir di
Baca selengkapnya

Ingin Tahu (part 3)

Esoknya setelah Arwen sarapan, dia bergegas turun ke lobi karena taksi yang dipesannya sudah menunggu. Taksi mulai meluncur setelah Arwen mengatakan tujuannya. Lalu lintas benar-benar macet dan perlu waktu yang lama untuk sampai ditujuan.Matahari mulai terasa panas ketika taksi berada dalam jalanan sempit ke arah kampung di pinggiran kota. Lama kemudian taksi mulai melambat dan berhenti di depan sebuah gang. Karena mobil tak bisa memasukinya, Arwen turun dan masuk ke dalam gang sendirian.Perkampungan itu kumuh, tak terawat dan di bawah garis kemiskinan. Seorang ibu-ibu duduk santai di depan rumah kecil yang tak kalah kumuhnya. Arwen menanyakan alamatnya ke ibu itu, dia menunjukkan arah di belakang punggungnya yang berarti alamat itu masih jauh masuk ke dalam. Setelah bolak-balik bertanya ke orang-orang, Arwen sampai juga ke sebuah rumah bobrok dari kayu yang tampak habis terbakar, gentengnya sudah melorot, kaca-kacanya pecah dan hancur. Lantai tanahnya penuh ditumbuhi ru
Baca selengkapnya

Perkiraan (part 1)

“Arwen, kamu mendengarku?” Trinita berdiri sebal di samping Arwen. Ketika itu Arwen sedang duduk di kursi taman memandang senja seperti Oma waktu itu. “Aku lagi bicara sama kamu Awen.” Trinita sebal. “Kamu kenapa sih? Sejak pulang dari Jakarta, kamu kembali mengunci diri dalam kamar. Kamu sudah lupa janjimu waktu itu?”Arwen mendongak memandang kakaknya kemudian berkata. “Aku masih ingat Trinita, astaga. Aku nggak melupakan janjiku. Aku cema sedang memikirkan sesuatu. Dan jangan pandang aku seperti itu,” ucapnya ketika Trinita melotot ke arahnya.“Arwen, aku juga masih merasa sangat kehilangan, tapi tolonglah tetap tegar,” ujar Trinita. Suaranya melembut. “Berhenti menutup diri seperti itu, kembali lah kuliah biar kamu dapat hiburan.”“Besok. Oke? Aku akan mulai kuliah besok,” jawab Arwen kaku.“Arwen, aku sangat menyayangimu. Aku nggak ingin kamu terus  berada dalam keterpurukan dan melupakan segalanya. Aku sudah kehilangan banyak orang, dan aku juga aku nggak mau
Baca selengkapnya

Perkiraan (part 2)

Arwen berjalan cepat ke garasi dan mengeluarkan mobilnya. Dia sangat merasa bersalah menyembunyikan sesuatu dari Trinita. Tapi dia masih belum ingin mengatakan semuanya. Trinita akan syok jika mendengarnya. Arwen mencoba menenangkan perasaan bersalahnya sambil membawa mobilnya meluncur kejalanan. Ketika sampai di perempatan dia membanting setirnya ke kanan menuju kampusnya.Setelah memarkir mobilnya, dia keluar dan berjalan ke tempat Dinar menunggunya. Kampus masih sepi. Memang terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Dia menemukan sahabatnya di kursi panjang taman, di bawah pohon cemara besar. Berkacamata dan memakai kemeja krem bergaris-garis. Dinar tersenyum kepadanya. “Hei,” sapanya kepada Arwen. Arwen bergegas menghampirinya. ”Kamu selalu saja terlambat. Aku sudah 10 menit menunggumu di sini.” Dinar menunjuk ke arlojinya. “Hei, tukang gerutu,” balas Arwen.” Terima kasih sudah menungguku.”“Bagaimana kabarmu? Kukira kamu sudah lupa di mana tempat ini karena t
Baca selengkapnya

Sumber yang terlupakan

Sekitar pukul tiga sore Arwen kembali ke rumah diikuti Dinar. Mereka memarkir mobil di garasi yang terletak lima meter dari rumah utama. Setelah turun dari mobil Arwen melirik ke tempat biasa Trinita memarkir mobilnya, tempat itu kosong. Trinita belum pulang.Mereka berjalan di koridor yang menghubungkan garasi ke rumah. Setelah memasuki rumah, Arwen menuju dapur dan mengambil jus untuk Dinar.“Sebaiknya kita saja mandi sebelum Trinita pulang. Aku akan membantunya memasak nanti,” kata Arwen sambil menyodorkan segelas jus ke Dinar.“Baiklah. Aku harus memakai kamar mandi yang mana?“ tanya Dinar bingung. Memandang ke sekelilingnya. Rumah Arwen memang sangat besar dan banyak kamar mandi yang tersedia.“Kayak kamu nggak pernah mandi di rumahku saja,” Arwen memutar bola matanya. “Pokoknya, jangan pakai yang dekat guci besar itu. Kran di sana sedang rusak.”“Aku memakai kamar mandi yang ada di kamarmu saja,&rdq
Baca selengkapnya

Sumber yang terlupakan (part 2)

Keesokan harinya Arwen bangun kesiangan. Semalam dia berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan yang akan diputuskannya. Setelah memikirkannya dia cenderung pindah ke Jakarta . Memulai hidup baru di sana. Memulai penyelidikan lagi dan yang paling berat, adalah mengemban beban perusahaan. Walaupun semalam dia merasa sebal dengan Trinita, karena seenaknya saja mengalihkan tanggung jawabnya kepada dia. Arwen kini sadar betapa beratnya Trinita mengemban tanggung jawabnya sendiri sebagai pemimpin bisnisnya.Siang itu Arwen bertemu Trinita saat turun dari kamarnya, dia berpapasan dengan Trinita di tangga.“Oh Arwen untunglah kamu sudah bangun!” Kata Trinita agak tergesa.“ Ada apa? Dan kamu mau kemana?” Arwen bertanya heran melihat Trinita memakai baju rapi dan menjijing tasnya.“ Ada urusan serius di kantor. Beberapa customer protes gara-gara pengiriman mobilnya telat, aku harus kesana membereskannya. Maaf Arwen, kamu harus menemani Tante
Baca selengkapnya

Keputusan

Keesokan paginya Arwen terbangun dengan kaget ketika Trinita membuka gorden kamarnya. Membuat cahaya matahari jatuh tepat mengenai wajahnya.“Arwen, cepatlah bangun!” seru Trinita. Dia sedang membuka jendela-jendela kamar.Arwen menggeliat kemudian bertanya, “memang sekarang jam berapa?”“Jam sepuluh. Cepatlah bangun dan turun! Bantu aku memasak!” cetusnya kemudian keluar kamar.Ketika pintu sudah menutup di belakang Trinita, Arwen memejamkan mata lagi. Dia mengingat-ingat mimpinya semalam. Dia melihat ayah dan ibunya menangis di depannya, ketika dia memeluk mereka, Papa memberikan amplop merah kemudian menghilang. Arwen membuka matanya dan merasakan kerinduan yang sangat kepada mereka berdua. Seketika itu Arwen langsung turun dari ranjangnya, dia tak ingin merasakannya berlarut-larut. Dia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mandi dia mencari setelan kesukaannya. Celana pendek dan kamus tanpa lengan. Arwen
Baca selengkapnya

Pindah (part 1)

“Kamu benar-benar akan pindah Arwen?” kata Dinar merana setelah Arwen bercerita kepadanya. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman di bawah pohon cemara tua favorit mereka di kampus.“Oh sudahlah … jangan begitu, kamu kan bisa mengunjungiku ketika liburan. Aku janji akan mengirimi tiket penerbangan ke Jakarta.” Hibur Arwen.“Aku sudah berpikir kamu akan pindah ke Jakarta tapi aku berusaha melupakan pikiran itu.” Tambah Dinar masih merana.Arwen merubah posisi duduknya lebih menyerong ke Dinar lalu berkata.“Maafkan aku, tapi aku memang harus ke sana Dinar! Trinita memberiku tanggung jawa atas perusahaan. Dia tak mau ambil alih, dia lebih suka dengan pekerjaannya sendiri.”“Arwen, aku akan benar-benar sendirian di sini,” kata Dinar, dia sama sekali tak memandang Arwen.“Cobalah mencari pacar!” jawab Arwen enteng sambil nyengir.Dinar menoleh memandang sahabatnya, tampan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12
DMCA.com Protection Status