Tiga gundukan tanah merah basah bertabur bunga dikelilingi orang-orang berpakaian hitam. Semua menunduk sedih dan mengusap air mata, kemudian satu persatu orang-orang itu mulai meninggalkannya.
Mereka meremas bahu Arwen dan Trinita seakan remasan itu mampu menguatkannya. Arwen menahan tangis ketika tangan hangat terakhir sahabatnya meremas bahunya. Trinita masih terisak. Kehilangan tiga orang sekaligus membuat mereka seperti dipukul benda berat yang tak terlihat. Membetot ulu hatinya, membekukan darah dalam pembuluhnya dan membuat hidungnya serasa dibekap hingga sulit bernafas.Arwen mengangkat badan kakaknya yang lemas hampir pingsan kemudian bangkit perlahan-lahan menuju mobil. Dia menyetir tanpa fokus yang anehnya, mobil terasa berjalan tanpa dikendalikan. Terangnya matahari di siang hari tak mampu menerangi hati mereka berdua yang sedang diselimuti mendung.Trinita terisak makin keras dan Arwen hanya meremas kedua tangannya tanpa mampu berkata-kata. Kerongkongannya terasa tersumbat. Perjalanan hening yang pilu dan hanya terdengar sedu sedan Trinita di balik saputangannya. Membuat waktu seakan berhenti berputar.Ketika sampai di rumah yang terasa sangat suram, Trinita keluar mobil dan masuk ke rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Arwen mengikutinya dan menemukannya terduduk di sofa ruang tamu. Trinita melihatnya kemudian bangkit berdiri memeluknya. Mereka berusaha saling memasukkan perasaan hatinya masing-masing tanpa saling berucap. Mereka bersaudara, mereka saling mengerti. Beberapa saat kemudian Trinita melepaskan pelukannya lalu berjalan menuju kamarnya sambil membekap mulutnya. Arwen terdiam sesaat kemudian mengikutinya. Menaiki satu persatu anak tangga yang terasa sangat berat. Kini hanya tinggal dia dan kakaknya. Sebatang kara di dunia ini.Arwen berjalan pelan ke tempat tidurnya, mengenyakkan diri di sana. Terlentang memandang langit-langit kamarnya. Dia merasa rumah ini terlalu besar tanpa Oma. Sapaan pagi Oma, wajahnya yang rupawan, kesabarannya dan suara Papa dan Mama yang sekarang tak akan pernah lagi ia dengar, membuatnya jatuh ke dalam lubang gelap dalam hatinya sendiri. Perasaan itu membuatnya bertambah perih seperti dicabik disembuhkan lalu dicabik lagi.***
Hari demi hari dan bulan berganti bulan, semua kekosongan tetap tak terangkat. Rasa perih dan senyap tak hilang seiring berjalannya waktu. Tragedi itu masih menyisakan lubang dalam dan luka yang menganga di hati mereka. Kendati Trinita yang sebelumnya jauh lebih terpukul mulai menerima kenyataan bahwa dia dan adiknya harus terus hidup tanpa orangtua. Sebaliknya yang terjadi pada Arwen. Dia masih mengurung diri di kamar dan hanya turun pada waktu makan. Kuliah pun tidak.Sore itu seperti biasanya Arwen hanya berbaring di tempat tidurnya. Matanya nyalang dan pikirannya berputar. Semua penjelasan polisi tentang kronologis kematian orangtuanya terngiang di pikirannya. Polisi mengatakan bahwa orangtuanya melakukan perjalanan ke daerah puncak dan tewas masuk jurang setelah menabrak pagar pembatas. Kata mereka, mayat orangtuanya sudah membusuk saat ditemukan. Dan kata mereka lagi, orangtuanya kecelakaan pada hari Minggu dan ditemukan hari Selasa. Ucapan mereka berputar-putar seperti kaset kusut di dalam pikirannya.Arwen menemukan suatu kejanggalan dari semua penjelasan itu. Dia tak percaya mereka kecelakaan. Lagipula orangtuanya tidak ditemukan tewas dalam keadaan mabuk dan mereka bukan pengendara yang ugal-ugalan. Lebih aneh lagi, jalan yang dilaluinya bukan jalan ke bandara. Terakhir mereka mangabari, bahwa mereka akan terbang ke Medan. Mereka tinggal ke bandara, dan kenapa harus melewati arah puncak?Kenapa dan kemana mereka waktu itu? Mobil yang dikendarai mereka dan barang-barang ketika kecelakaan sudah diminta Arwen agar ditaruh di apartemennya setelah selesai diperiksa polisi.Pintu menjeblak terbuka. Trinita rupanya sudah pulang. Arwen tak mendengar mobilnya datang karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.“Aku sudah pulang dan kamu masih terbaring di sini sejak aku berangkat tadi pagi. Kamu membolos kuliah lagi hari ini?” Trinita berjalan masuk dan duduk di kaki ranjang.Arwen menggeleng. “Aku hanya malas,” jawabnya sambil menatap wajah lelah kakaknya.“Dan kamu bahkan menonaktifkan ponselmu. Dinar berulang kali menghubungiku menanyakan kabarmu. Kurasa dia sangat cemas Arwen. Apa kamu masih akan begini terus? Membolos kuliah dan nggak mau menemui siapa pun?” Dia memegang tangan Arwen lalu meneruskan. ”Aku tahu kamu masih merasa sedih dan terpukul, tapi kalau kamu tetap seperti ini, kamu nggak akan pernah menemukan penghiburan Arwen.”“Aku masih ingin sendiri Trinita. Nanti kalau aku sudah siap, aku bakal beraktivitas seperti biasa, Trinita.” Arwen sekarang duduk dan melepaskan tangan kakaknya.“Lalu sampai kapan kamu terus begini? Aku nggak sanggup melihatmu mengurung diri terus menerus seperti ini.”“Trinita, aku sedang memikirkan sesuatu. Aku ingin pergi ke Jakarta. Aku ingin ke apartemen Mama dan Papa.” Celetuk Arwen mengalihkan topik pembicaraan.“Apa yang akan kamu lakukan di sana?” Trinita mengernyit heran.“Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku mohon Trinita,”“Apa mungkin hal itu bisa membuatmu lebih baik Arwen?”Arwen hanya menganggukkan kepala tanpa memandangnya. Dia takut kebohongannya terbongkar karena tujuannya ke sana bukan untuk menenangkan diri, melainkan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kapan kamu berangkat?” tanya Trinita.“Aku berangkat besok,” jawab Arwen cepat.***
Matahari Jakarta serasa menyengat kulit. Udara yang tercemar mulai terasa ketika Arwen melangkah keluar bandara dan berjalan sambil menyeret kopernya menuju sebuah taksi. Mesin taksi menderu menyala ketika Arwen mengatakan tujuannya. Kemudian taksi mulai meluncur ke padatnya lalu lintas Jakarta.Udara panas yang memusingkan pikirnya, ketika melirik ke arah luar dari dalam taksi. Gelombang udara panas seakan menggelung-gelung bagai lidah api dan menyebar, membungkus dan merembes ke dalam celah-celah taksi. Walaupun sekarang dia dalam sebuah mobil umum ber-AC tapi ia tetap bisa merasakan panasnya udara di luar. Mobil-mobil yang merayap di sampingnya memantulkan cahaya matahari yang panas dan menyilaukan. Suara-suara klakson yang saling menyahut dan bising membuatnya merasa lelah dan penat.Setelah satu jam berlalu, Arwen sampai di tujuannya. Sebuah gedung apartemen yang tinggi dan mewah berdiri menjulang di tengah kota padat merayap. Setelah membayar argo, Arwen keluar dan cepat-cepat masuk ke dalam lobi. Hembusan angin dingin yang menerpanya begitu berada di dalam, membuatnya merasakan kenyamanan.Sebuah meja setinggi dada terletak di samping pintu masuk. Seorang resepsionis cantik berdiri di belakangnya. Arwen mendekatinya.“ Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.“Saya Arwen Raymon. Saya ingin memakai apartemen Bapak Raymon.”“Putri bapak Raymon?” tanyanya. Arwen mengangguk. Resepsionis itu memberikan pandangan sendu yang tidak disukai Arwen. “Saya ikut berduka cita dengan orangtua Anda.”“Terima kasih,” jawab Arwen cepat-cepat. “Jadi bagaimana?”“Tunggu sebentar kami harus mengecek beberapa identitas anda.”Setelah beberapa lama memenuhi prosedur Arwen diberi kuncinya.“Lantai 17 dan nomor 308.” Kata resepsionis itu sambil menyodorkan kunci pada Arwen.“Terima kasih.” Jawab Arwen kemudian berjalan ke arah lift.Lift mulai naik setelah Arwen menekan tombol 17. Dia hanya sendirian sampai lift berhenti dan membuka di lantai 17. Dia keluar dan mulai mencari apartemen nomor 308. Segera saja ia menemukannya. Pintu paling sudut dan berpapan angka 308 warna emas yang mengkilap. Dia memasukkan kunci dan membukanya.Ruangan apartemen itu luas dan bergaya minimalis. Dua kamar tidur utama dan satu lagi kamar tidur tamu kecil. Arwen berjalan ke ruang tamu dan menyingkap gorden. Terlihat pemandangan ibukota waktu siang hari. Dia menikmatinya sejenak kemudian berjalan ke arah kamar utama, menjatuhkan kopernya lalu membaringkan diri di atas tempat tidur. Tak lama kemudian dia terlelap karena lelah, tanpa mengetahui hal mengejutkan serta bahaya yang menantinya.Ketika Arwen terbangun, kamar terlihat gelap gulita. Dia bangkit dan berjalan menyusuri tembok mencari saklar lampu. Setelah menemukannya, dia menekannya, seketika ruangan menjadi terang benderang dalam sekejap.Arwen menuju ke lemari pakaian untuk mencari gaun rumah ibunya. Dia membukanya dan memandang gantungan-gantungan baju milik orang tuanya. Hatinya berdesir perih ketika mengingat semua pakaian itu tak mungkin dipakai mereka lagi.Dia memilih gaun rumah bermotif bunga-bunga cantik. Ketika menariknya dia melihat laci dalam lemari yang tak bisa menutup sepenuhnya karena tersangkut buku warna hitam.Arwen mendekatinya dan mengambilnya. Rupanya itu adalah buku agenda Papa. Dia membuka laci itu penuh-penuh dan menemukan satu lagi buku agenda milik ibunya. Dia membukanya dan mulai membacanya. Rupanya semua isinya sama, hanya beda satu dua kegiatan ke salon dan main golf. Selain itu tampaknya semua kegiatan bisnis mereka dilakukan bersama-sama. Tampak catatan akhir di
Esoknya setelah Arwen sarapan, dia bergegas turun ke lobi karena taksi yang dipesannya sudah menunggu. Taksi mulai meluncur setelah Arwen mengatakan tujuannya. Lalu lintas benar-benar macet dan perlu waktu yang lama untuk sampai ditujuan.Matahari mulai terasa panas ketika taksi berada dalam jalanan sempit ke arah kampung di pinggiran kota. Lama kemudian taksi mulai melambat dan berhenti di depan sebuah gang. Karena mobil tak bisa memasukinya, Arwen turun dan masuk ke dalam gang sendirian.Perkampungan itu kumuh, tak terawat dan di bawah garis kemiskinan. Seorang ibu-ibu duduk santai di depan rumah kecil yang tak kalah kumuhnya. Arwen menanyakan alamatnya ke ibu itu, dia menunjukkan arah di belakang punggungnya yang berarti alamat itu masih jauh masuk ke dalam. Setelah bolak-balik bertanya ke orang-orang, Arwen sampai juga ke sebuah rumah bobrok dari kayu yang tampak habis terbakar, gentengnya sudah melorot, kaca-kacanya pecah dan hancur. Lantai tanahnya penuh ditumbuhi ru
“Arwen, kamu mendengarku?” Trinita berdiri sebal di samping Arwen. Ketika itu Arwen sedang duduk di kursi taman memandang senja seperti Oma waktu itu. “Aku lagi bicara sama kamu Awen.” Trinita sebal. “Kamu kenapa sih? Sejak pulang dari Jakarta, kamu kembali mengunci diri dalam kamar. Kamu sudah lupa janjimu waktu itu?”Arwen mendongak memandang kakaknya kemudian berkata. “Aku masih ingat Trinita, astaga. Aku nggak melupakan janjiku. Aku cema sedang memikirkan sesuatu. Dan jangan pandang aku seperti itu,” ucapnya ketika Trinita melotot ke arahnya.“Arwen, aku juga masih merasa sangat kehilangan, tapi tolonglah tetap tegar,” ujar Trinita. Suaranya melembut. “Berhenti menutup diri seperti itu, kembali lah kuliah biar kamu dapat hiburan.”“Besok. Oke? Aku akan mulai kuliah besok,” jawab Arwen kaku.“Arwen, aku sangat menyayangimu. Aku nggak ingin kamu terus berada dalam keterpurukan dan melupakan segalanya. Aku sudah kehilangan banyak orang, dan aku juga aku nggak mau
Arwen berjalan cepat ke garasi dan mengeluarkan mobilnya. Dia sangat merasa bersalah menyembunyikan sesuatu dari Trinita. Tapi dia masih belum ingin mengatakan semuanya. Trinita akan syok jika mendengarnya. Arwen mencoba menenangkan perasaan bersalahnya sambil membawa mobilnya meluncur kejalanan. Ketika sampai di perempatan dia membanting setirnya ke kanan menuju kampusnya.Setelah memarkir mobilnya, dia keluar dan berjalan ke tempat Dinar menunggunya. Kampus masih sepi. Memang terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Dia menemukan sahabatnya di kursi panjang taman, di bawah pohon cemara besar. Berkacamata dan memakai kemeja krem bergaris-garis. Dinar tersenyum kepadanya.“Hei,” sapanya kepada Arwen. Arwen bergegas menghampirinya. ”Kamu selalu saja terlambat. Aku sudah 10 menit menunggumu di sini.” Dinar menunjuk ke arlojinya.“Hei, tukang gerutu,” balas Arwen.” Terima kasih sudah menungguku.”“Bagaimana kabarmu? Kukira kamu sudah lupa di mana tempat ini karena t
Sekitar pukul tiga sore Arwen kembali ke rumah diikuti Dinar. Mereka memarkir mobil di garasi yang terletak lima meter dari rumah utama. Setelah turun dari mobil Arwen melirik ke tempat biasa Trinita memarkir mobilnya, tempat itu kosong. Trinita belum pulang.Mereka berjalan di koridor yang menghubungkan garasi ke rumah. Setelah memasuki rumah, Arwen menuju dapur dan mengambil jus untuk Dinar.“Sebaiknya kita saja mandi sebelum Trinita pulang. Aku akan membantunya memasak nanti,” kata Arwen sambil menyodorkan segelas jus ke Dinar.“Baiklah. Aku harus memakai kamar mandi yang mana?“ tanya Dinar bingung. Memandang ke sekelilingnya. Rumah Arwen memang sangat besar dan banyak kamar mandi yang tersedia.“Kayak kamu nggak pernah mandi di rumahku saja,” Arwen memutar bola matanya. “Pokoknya, jangan pakai yang dekat guci besar itu. Kran di sana sedang rusak.”“Aku memakai kamar mandi yang ada di kamarmu saja,&rdq
Keesokan harinya Arwen bangun kesiangan. Semalam dia berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan yang akan diputuskannya. Setelah memikirkannya dia cenderung pindah ke Jakarta . Memulai hidup baru di sana. Memulai penyelidikan lagi dan yang paling berat, adalah mengemban beban perusahaan. Walaupun semalam dia merasa sebal dengan Trinita, karena seenaknya saja mengalihkan tanggung jawabnya kepada dia. Arwen kini sadar betapa beratnya Trinita mengemban tanggung jawabnya sendiri sebagai pemimpin bisnisnya.Siang itu Arwen bertemu Trinita saat turun dari kamarnya, dia berpapasan dengan Trinita di tangga.“Oh Arwen untunglah kamu sudah bangun!” Kata Trinita agak tergesa.“ Ada apa? Dan kamu mau kemana?” Arwen bertanya heran melihat Trinita memakai baju rapi dan menjijing tasnya.“ Ada urusan serius di kantor. Beberapa customer protes gara-gara pengiriman mobilnya telat, aku harus kesana membereskannya. Maaf Arwen, kamu harus menemani Tante
Keesokan paginya Arwen terbangun dengan kaget ketika Trinita membuka gorden kamarnya. Membuat cahaya matahari jatuh tepat mengenai wajahnya.“Arwen, cepatlah bangun!” seru Trinita. Dia sedang membuka jendela-jendela kamar.Arwen menggeliat kemudian bertanya, “memang sekarang jam berapa?”“Jam sepuluh. Cepatlah bangun dan turun! Bantu aku memasak!” cetusnya kemudian keluar kamar.Ketika pintu sudah menutup di belakang Trinita, Arwen memejamkan mata lagi. Dia mengingat-ingat mimpinya semalam. Dia melihat ayah dan ibunya menangis di depannya, ketika dia memeluk mereka, Papa memberikan amplop merah kemudian menghilang. Arwen membuka matanya dan merasakan kerinduan yang sangat kepada mereka berdua. Seketika itu Arwen langsung turun dari ranjangnya, dia tak ingin merasakannya berlarut-larut. Dia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mandi dia mencari setelan kesukaannya. Celana pendek dan kamus tanpa lengan. Arwen
“Kamu benar-benar akan pindah Arwen?” kata Dinar merana setelah Arwen bercerita kepadanya. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman di bawah pohon cemara tua favorit mereka di kampus.“Oh sudahlah … jangan begitu, kamu kan bisa mengunjungiku ketika liburan. Aku janji akan mengirimi tiket penerbangan ke Jakarta.” Hibur Arwen.“Aku sudah berpikir kamu akan pindah ke Jakarta tapi aku berusaha melupakan pikiran itu.” Tambah Dinar masih merana.Arwen merubah posisi duduknya lebih menyerong ke Dinar lalu berkata.“Maafkan aku, tapi aku memang harus ke sana Dinar! Trinita memberiku tanggung jawa atas perusahaan. Dia tak mau ambil alih, dia lebih suka dengan pekerjaannya sendiri.”“Arwen, aku akan benar-benar sendirian di sini,” kata Dinar, dia sama sekali tak memandang Arwen.“Cobalah mencari pacar!” jawab Arwen enteng sambil nyengir.Dinar menoleh memandang sahabatnya, tampan