Esoknya setelah Arwen sarapan, dia bergegas turun ke lobi karena taksi yang dipesannya sudah menunggu. Taksi mulai meluncur setelah Arwen mengatakan tujuannya. Lalu lintas benar-benar macet dan perlu waktu yang lama untuk sampai ditujuan.
Matahari mulai terasa panas ketika taksi berada dalam jalanan sempit ke arah kampung di pinggiran kota. Lama kemudian taksi mulai melambat dan berhenti di depan sebuah gang. Karena mobil tak bisa memasukinya, Arwen turun dan masuk ke dalam gang sendirian.Perkampungan itu kumuh, tak terawat dan di bawah garis kemiskinan. Seorang ibu-ibu duduk santai di depan rumah kecil yang tak kalah kumuhnya. Arwen menanyakan alamatnya ke ibu itu, dia menunjukkan arah di belakang punggungnya yang berarti alamat itu masih jauh masuk ke dalam. Setelah bolak-balik bertanya ke orang-orang, Arwen sampai juga ke sebuah rumah bobrok dari kayu yang tampak habis terbakar, gentengnya sudah melorot, kaca-kacanya pecah dan hancur. Lantai tanahnya penuh ditumbuhi rumput setinggi dagu. Kentara sekali rumah itu sudah lama tak dihuni. Arwen bingung dan mengira dia salah alamat.Seorang pria setengah baya melewati Arwen dan memandangnya heran. Seorang gadis yang berkulit bersih dan menawan berdiri menatap rumah yang sudah bobrok membuatnya merasa aneh. Arwen merasakan tatapannya kemudian menoleh ke arahnya.“Permisi, apakah benar ini alamat yang saya cari?” Arwen bertanya serta menyodorkan kertas kusut itu padanya.Dia membacanya dan menjawab. “Iya, memang benar ini alamat rumah itu.”“Apakah rumah ini sudah lama nggak dihuni?” tanya Arwen kembali.“Ya, kira-kira sudah 23 tahun yang lalu,” jawabnya masih tertegun memandang Arwen.Arwen kaget mendengarnya. “Boleh saya tahu di mana penghuninya sekarang?”“Saya nggak tahu, saya baru pindah ke sini sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kata tetangga yang sudah lama tinggal di sini, rumah itu sudah nggak dihuni selama 23 tahun. Dulu ada seorang ibu-ibu dan anak lelaki kecilnya. Terakhir orang-orang melihat ibu dari anak itu gila.”“Gila?”Pria itu mengangguk. “Tapi aku nggak terlalu paham mengenai hal ini.”“Apakah mereka pindah?”Dia memandang rumah itu kemudian menjawab. ”Entahlah, kurasa begitu. Kata orang-orang mereka pergi begitu saja. Mereka nggak terlalu dekat dengan orang-orang yang sekitar.”Arwen memandang rumah itu kemudian berkata. “Baiklah, terima kasih atas bantuannya.”.“Sama-sama,” jawab pria itu pelan dan kembali tertegun menatap Arwen. Selama sesaat Arwen mengamati rumah bobrok itu, kemudian berjalan menuju taksi yang menunggunya. Melewati rumah-rumah yang sangat kecil dan berdempet-dempet. Pakaian-pakaian basah dijemur sembarangan di gang sempit dan becek. Dia mempercepet langkahnya ketika melewati sebuah warung kecil yang penuh preman yang memandangnya sinis. Arwen sudah lupa dan bingung di mana jalan keluarnya.Ketika sampai di ujung gang dan bisa melihat taksinya, dia baru sadar bahwa dia keluar dari gang yang salah. Bukan gang yang tepat di depannya dan yang dia masuki pertama kali. Arwen buru-buru menaiki taksinya. Di perjalanan dia memikirkan apa yang baru saja dilihatnya.Arwen memutar pikirannya sambil melamun. Apa maksud orang itu memberi alamat rumah itu kepada Erik? Toh, Erik tak memintanya. Pria itu sengaja memberi Erik sebuah alamat. Tapi untuk apa? Mungkin kah dia dulu pernah tinggal di rumah kecil itu? Siapa anak laki-laki kecil yang ibunya gila itu? Tapi apa hubungan mereka dengan Papa?Dia terus saja disibukkan dengan pikirannya sendiri sampai sopir taksi mengagetkannya.“Maaf, Nona. Nona,” kata sopir sambil menengok ke belakang.“Ap-apa?” Arwen kaget. “Kita sudah sampai di depan apartemen Anda.”Arwen menoleh ke arah kirinya. Pintu taksi sudah dibukakan oleh seorang penjaga pintu berwajah ramah. Dia tersenyum ke arah Arwen. Buru-buru Arwen mengambil uang dari dompetnya dan membayar taksi. Kemudian turun sambil mengucapkan terima kasih kepada penjaga pintu itu.Setelah sampai di apartemen, dia berjalan ke ruang tengah dan mendudukkan dirinya di sofa. Melepaskan sepatu dan menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Dia memandang langit-langit apartemen sambil berpikir lagi.Lama kemudian dia bangkit ke kamar untuk berganti pakaian yang lebih nyaman. Dia mengganti celana panjangnya dengan celana pendek dan sweter kremnya dengan kaus tanpa lengan favoritnya. Setelah itu dia berjalan ke dapur. Ketika melewati meja ruang tengah yang di atasnya ada miniatur mobil kuno dari kristal, dia mengingat sesuatu. Mobil orang tuanya yang dipakai ketika kecelakaan belum dia lihat.Arwen kembali turun ke lobi dan menemui resepsionis cantik.“Apakah kepolisian sudah mengirim mobil Papa ke sini?” tanya Arwen cepat.“Mobil yang dipakai ibu dan pak Raymon waktu kecelakaan?’ Arwen mengangguk. Hatinya berdesir perih ketika resepsionis mengatakan kecelakaan orangtuanya dengan sambil lalu. “Saya kira sudah. Apakah Anda mau melihatnya?” kata resepsionis heran.“Ya,” jawab Arwen.“Kalau begitu tunggu sebentar. Saya akan memanggil seseorang untuk menemani Anda ke bawah,” kata resepsionis sambil mengangkat gagang telepon.Arwen menunggunya dengan tak sabar sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Tak lama kemudian penjaga pintu berwajah ramah yang dikenali Arwen sebagai orang yang membukakan pintu taksinya tadi menghampirinya.“Saya yang akan mengantar Anda ke bawah, silakan lewat sini,” katanya.Arwen mengikutinya, sebelumnya dia melirik papan nama penjaga pintu itu. Arman Maulana tersemat di dadanya. Arman membawa Arwen ke sebuah ruangan yang khusus untuk karyawan. Di pintu belakang ada tangga menurun yang sangat panjang.“Anda mirip sekali dengan, Pak Raymon” celetuk Arman memecahkan keheningan ketika menuruni tangga.“Benarkah?” Sahut Arwen dengan hati berdesir perih.“Saya sangat menyukai orangtua anda. Mereka sangat baik terhadap karyawan-karyawan kecil seperti kami. Mereka sangat sopan, nggak seperti yang lain. Biasanya orang-orang kaya selalu memandang kami dengan sebelah mata. Tapi orangtua Anda yang selalu ramah dan menghormati kami. Apalagi ibu Krista. Saya nggak percaya mereka meninggal karena kecelakaan.”“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” Arwen merasa sependapat dengannya dan ingin tahu alasannya. “Entahlah, mereka biasanya selalu tenang tapi waktu terakhir kali saya melihat meraka berangkat dengan tergesa-gesa. Pak Raymon menyeret istrinya yang bingung ke dalam mobil.”“Benarkah?”“Ya, padahal mereka nggak pernah begitu sebelumnya.”Mereka sampai di sebuah ruangan gelap. Arman menyalakan lampu dan Arwen melihat tempat itu dengan jelas. Rupanya itu adalah gudang apartemen yang terletak di parkir basement. Troli-troli makanan yang berkarat dan perabot-perabot rusak bertumpuk dan berjajar di sudut. Arman mendekati meja besar berbentuk aneh yang tertutup sprai biru berlubang-lubang dan menyingkapnya. Rupanya benda yang dikira Arwen meja adalah mobil orangtuanya.Mobil yang dulu kokoh sekarang hancur dan remuk tak berbentuk. Atapnya separuh melesak dan kacanya hancur.. Dia hanya memandanginya pada awalnya. Ulu hatinya terasa diremas sakit. Jadi ini, kendaraan maut orangtuanya? Arwen memejamkan matanya sebentar dan membayangkan orangtuanya terjepit di antara rongsokan besi itu.Arwen mendekatinya dan berputar mengelilinginya mencoba membuka pintu-pintunya yang rupanya sudah mengunci dan tak bisa dibuka. Hanya satu pintu yang bisa dibuka, pintu depan tempat duduk sopir. Arwen menulusurkannya jari-jarinya ke body mobil di sekitar pintu mobil yang bisa dibuka. Ada guratan yang lebih kasar dari debu yang menempel di jarinya. Dia mundur ke bawah lampu dan memeriksanya. Rupanya itu adalah serpihan cat mobil warna biru gelap. Arwen mengerut bingung. kembali dia menguil goresan cat biru itu. Dia yakin itu cat. Goresan yang sama seperti ketika mobilnya diserempet temannya waktu itu. Tapi dari mana cat itu berasal? Toh, warna mobil orangtuanya berwarna silver.Arwen menyimpan kejanggalan itu dalam benaknya, kemudian melanjutkan pemeriksaan lagi. Dia membuka pintu mobil dan melihat-lihat. Dalamnya sama rusaknya seperti luarnya. Kaca depan pecah dan tinggal separuh yang masih utuh. Arwen memandangnya. Di kaca atas dasbor roda kemudi ada percikan darah. Dia mendekatinya ingin tahu. Bentuk percikan darah itu aneh. Bentuknya tidak bulat tapi melengkung dan ujung-ujungnya melancip seperti bulan sabit. Lagipula tak ada tetesan darah lain di sekitarnya.Dia menelitinya lagi. Bentuknya sempurna, seperti digoreskan dengan sengaja. Kemudian kesadaran menghantamnya.Orangtuanya telah meninggalkan sebuah pesan.“Arwen, kamu mendengarku?” Trinita berdiri sebal di samping Arwen. Ketika itu Arwen sedang duduk di kursi taman memandang senja seperti Oma waktu itu. “Aku lagi bicara sama kamu Awen.” Trinita sebal. “Kamu kenapa sih? Sejak pulang dari Jakarta, kamu kembali mengunci diri dalam kamar. Kamu sudah lupa janjimu waktu itu?”Arwen mendongak memandang kakaknya kemudian berkata. “Aku masih ingat Trinita, astaga. Aku nggak melupakan janjiku. Aku cema sedang memikirkan sesuatu. Dan jangan pandang aku seperti itu,” ucapnya ketika Trinita melotot ke arahnya.“Arwen, aku juga masih merasa sangat kehilangan, tapi tolonglah tetap tegar,” ujar Trinita. Suaranya melembut. “Berhenti menutup diri seperti itu, kembali lah kuliah biar kamu dapat hiburan.”“Besok. Oke? Aku akan mulai kuliah besok,” jawab Arwen kaku.“Arwen, aku sangat menyayangimu. Aku nggak ingin kamu terus berada dalam keterpurukan dan melupakan segalanya. Aku sudah kehilangan banyak orang, dan aku juga aku nggak mau
Arwen berjalan cepat ke garasi dan mengeluarkan mobilnya. Dia sangat merasa bersalah menyembunyikan sesuatu dari Trinita. Tapi dia masih belum ingin mengatakan semuanya. Trinita akan syok jika mendengarnya. Arwen mencoba menenangkan perasaan bersalahnya sambil membawa mobilnya meluncur kejalanan. Ketika sampai di perempatan dia membanting setirnya ke kanan menuju kampusnya.Setelah memarkir mobilnya, dia keluar dan berjalan ke tempat Dinar menunggunya. Kampus masih sepi. Memang terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Dia menemukan sahabatnya di kursi panjang taman, di bawah pohon cemara besar. Berkacamata dan memakai kemeja krem bergaris-garis. Dinar tersenyum kepadanya.“Hei,” sapanya kepada Arwen. Arwen bergegas menghampirinya. ”Kamu selalu saja terlambat. Aku sudah 10 menit menunggumu di sini.” Dinar menunjuk ke arlojinya.“Hei, tukang gerutu,” balas Arwen.” Terima kasih sudah menungguku.”“Bagaimana kabarmu? Kukira kamu sudah lupa di mana tempat ini karena t
Sekitar pukul tiga sore Arwen kembali ke rumah diikuti Dinar. Mereka memarkir mobil di garasi yang terletak lima meter dari rumah utama. Setelah turun dari mobil Arwen melirik ke tempat biasa Trinita memarkir mobilnya, tempat itu kosong. Trinita belum pulang.Mereka berjalan di koridor yang menghubungkan garasi ke rumah. Setelah memasuki rumah, Arwen menuju dapur dan mengambil jus untuk Dinar.“Sebaiknya kita saja mandi sebelum Trinita pulang. Aku akan membantunya memasak nanti,” kata Arwen sambil menyodorkan segelas jus ke Dinar.“Baiklah. Aku harus memakai kamar mandi yang mana?“ tanya Dinar bingung. Memandang ke sekelilingnya. Rumah Arwen memang sangat besar dan banyak kamar mandi yang tersedia.“Kayak kamu nggak pernah mandi di rumahku saja,” Arwen memutar bola matanya. “Pokoknya, jangan pakai yang dekat guci besar itu. Kran di sana sedang rusak.”“Aku memakai kamar mandi yang ada di kamarmu saja,&rdq
Keesokan harinya Arwen bangun kesiangan. Semalam dia berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan yang akan diputuskannya. Setelah memikirkannya dia cenderung pindah ke Jakarta . Memulai hidup baru di sana. Memulai penyelidikan lagi dan yang paling berat, adalah mengemban beban perusahaan. Walaupun semalam dia merasa sebal dengan Trinita, karena seenaknya saja mengalihkan tanggung jawabnya kepada dia. Arwen kini sadar betapa beratnya Trinita mengemban tanggung jawabnya sendiri sebagai pemimpin bisnisnya.Siang itu Arwen bertemu Trinita saat turun dari kamarnya, dia berpapasan dengan Trinita di tangga.“Oh Arwen untunglah kamu sudah bangun!” Kata Trinita agak tergesa.“ Ada apa? Dan kamu mau kemana?” Arwen bertanya heran melihat Trinita memakai baju rapi dan menjijing tasnya.“ Ada urusan serius di kantor. Beberapa customer protes gara-gara pengiriman mobilnya telat, aku harus kesana membereskannya. Maaf Arwen, kamu harus menemani Tante
Keesokan paginya Arwen terbangun dengan kaget ketika Trinita membuka gorden kamarnya. Membuat cahaya matahari jatuh tepat mengenai wajahnya.“Arwen, cepatlah bangun!” seru Trinita. Dia sedang membuka jendela-jendela kamar.Arwen menggeliat kemudian bertanya, “memang sekarang jam berapa?”“Jam sepuluh. Cepatlah bangun dan turun! Bantu aku memasak!” cetusnya kemudian keluar kamar.Ketika pintu sudah menutup di belakang Trinita, Arwen memejamkan mata lagi. Dia mengingat-ingat mimpinya semalam. Dia melihat ayah dan ibunya menangis di depannya, ketika dia memeluk mereka, Papa memberikan amplop merah kemudian menghilang. Arwen membuka matanya dan merasakan kerinduan yang sangat kepada mereka berdua. Seketika itu Arwen langsung turun dari ranjangnya, dia tak ingin merasakannya berlarut-larut. Dia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mandi dia mencari setelan kesukaannya. Celana pendek dan kamus tanpa lengan. Arwen
“Kamu benar-benar akan pindah Arwen?” kata Dinar merana setelah Arwen bercerita kepadanya. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman di bawah pohon cemara tua favorit mereka di kampus.“Oh sudahlah … jangan begitu, kamu kan bisa mengunjungiku ketika liburan. Aku janji akan mengirimi tiket penerbangan ke Jakarta.” Hibur Arwen.“Aku sudah berpikir kamu akan pindah ke Jakarta tapi aku berusaha melupakan pikiran itu.” Tambah Dinar masih merana.Arwen merubah posisi duduknya lebih menyerong ke Dinar lalu berkata.“Maafkan aku, tapi aku memang harus ke sana Dinar! Trinita memberiku tanggung jawa atas perusahaan. Dia tak mau ambil alih, dia lebih suka dengan pekerjaannya sendiri.”“Arwen, aku akan benar-benar sendirian di sini,” kata Dinar, dia sama sekali tak memandang Arwen.“Cobalah mencari pacar!” jawab Arwen enteng sambil nyengir.Dinar menoleh memandang sahabatnya, tampan
Siang itu Jakarta diguyur hujan deras. Arwen sampai di apartemen Tante Karin dengan baju setengah basah. Dia mengetuk pintunya kemudian terdengar suara Tante Karin menyahut dari dalam.“Buka saja Arwen. Aku tidak mengunci pintunya,” kata Tante Karin, rupanya dia sudah tahu siapa yang datang.Arwen membuka pintunya kemudian masuk. Apartemen Tante Karin nuansanya sangat ceria. Sofa-sofa ruang tamu berbesa-beda warnya tapi serasi sekali dengan warna cat dindingnya yang menyegarkan mata. Arwen berpendapat apartemen Tante Karin lebih mirip ruang bermain anak-anak daripada apartemen orang dewasa. Tampak cocok sekali dengan pembawaan Tante Karin.Saat ini wanita itu sedang berada di dapur. Dia sedang sibuk membuah teh dan kue. Melalui pintu pemanggang yang transaparan, tampak kue dalam loyang sedang mengembang.“Baunya enak sekali Tante Karin.” Komentar Arwen ketika dia sampai di dapur.Tante Karin tersenyum kemudian mengeluarkan kuenya dari
Esok paginya Arwen berbagi taksi dengan Trinita. Setelah menurunkan Trinita di kantor barunya. Arwen langsung melanjutkan perjalanan ke apartemen Tante Karin. Rupanya dia sudah dinanti Tante Karin di apartemennya. Ketika dia mengetuk pintunya, Tante Karin langsung menyuruhnya masuk seperti kemarin. Ketika sudah berada dalam ruang tengah, Arwen melihat tiga kantong warna putih berjejer di atas sofa panjang. Salah satu kantong itu adalah kantong garmen. Perasaannya langsung tak enak ketika melihatnya.Arwen terus melangkah ke dalam dan menemukan Tante Karin di dalam kamarnya masih memakai mantel tidur. Dia sedang duduk di depan meja riasnya dan melepas rol rambutnya satu persatu. Ketika melihat Arwen dari pantulan cerminnya dia menyapanya.“Pagi Arwen.”“Pagi juga Tante Karin. Rupanya aku ke sini terlalu pagi,” kata Arwen. ”Maaf sekali Tante Karin aku mengganggumu.”“Tak masalah. Apa kamu sudah sarapan?” Tanyanya ceri