Esok paginya Arwen berbagi taksi dengan Trinita. Setelah menurunkan Trinita di kantor barunya. Arwen langsung melanjutkan perjalanan ke apartemen Tante Karin. Rupanya dia sudah dinanti Tante Karin di apartemennya. Ketika dia mengetuk pintunya, Tante Karin langsung menyuruhnya masuk seperti kemarin. Ketika sudah berada dalam ruang tengah, Arwen melihat tiga kantong warna putih berjejer di atas sofa panjang. Salah satu kantong itu adalah kantong garmen. Perasaannya langsung tak enak ketika melihatnya.
Arwen terus melangkah ke dalam dan menemukan Tante Karin di dalam kamarnya masih memakai mantel tidur. Dia sedang duduk di depan meja riasnya dan melepas rol rambutnya satu persatu. Ketika melihat Arwen dari pantulan cerminnya dia menyapanya.“Pagi Arwen.”“Pagi juga Tante Karin. Rupanya aku ke sini terlalu pagi,” kata Arwen. ”Maaf sekali Tante Karin aku mengganggumu.”“Tak masalah. Apa kamu sudah sarapan?” Tanyanya ceriKira-kira pukul sembilan, acara penggalangan dana sudah berakhir. Para undangan mulai meninggalkan tempat. Hujan deras menerpa kawasan puncak disertai petir yang menyambar-nyambar. Parkiran mobil mulai sepi. Arwen sudah berada dalam mobilnya, dia terus memandang ke arah pintu keluar. Mesin mobilnya sudah menyala.Ketika Dicky Lang muncul dari pintu keluar kemudian berjalan ke arah parkir, Arwen menginjak pedal gas dan mengendarai mobilnya setengah ngebut. Sampai di tingkungan kedua jalan menurun, Arwen menghentikan mobilnya dan keluar. Baru sebentar saja di luar, Arwen langsung basah kuyup. Dia bersandar di belakang mobilnya sambil menanti mobil Dicky Lang lewat.Tak lama kemudian mobil Dicky yang sudah diketahui Arwen melalui Tante Karin melintas. Dia melambaikan tangannya menyuruh berhenti. Mobil Dicky menepi dia membuka kaca jendelanya Arwen mendekatinya.“Maaf, boleh aku menumpang mobilmu? Mobilku mogok,” kata Arwen keras sambil menunjuk ke arah mobiln
Arwen turun dari apartemen tepat pukul tujuh malam. Langit cerah bertabur bintang, dan tak ada kemungkinan akan turun hujan. Angin dingin menerpa, membuat pohon-pohon bergoyang-goyang. Udara malam terasa sejuk ketika Arwen meluncutkan mobilnya di jalan raya. Trinita sudah memberinya mobil baru. Dia menurunkan kaca jendelanya, membuat semilir angin membelai rambut-rambutnya.Dia mengendarai Nissan sport hitam barunya dengan pelan karena masih satu jam lagi bertemu dengan Trinita dan kekasihnya. Cuaca yang cerah dan jalanan yang tidak macet, membuat kota Jakarta terasa tenang. Setengah jam kemudian Arwen sampai di café tempat mereka janji bertemu. Dia mengambil tempat duduk di balkon café. Suasana yang seperti ini membuat Arwen tak ingin melewatkannya dengan berada dalam ruangan yang ber-AC.Pemandangan kota Jakarta begitu indah jika dilihat pada malam hari. Lampu-lampu yang gemerlapan menerangi gedung-gedung yang menjulang tinggi seperti bintang-bintang yang d
Tante Karin sudah berada dalam kamarnya ketika Arwen meninggalkan apartemennya. Setelah pulang dari kantor, Tante Karin masih menyempatkan diri untuk mendandaninya. Agar lebih meyakinkan, dia memakai gaun malam warna merah tanpa lengan dan setinggi lututnya. Kali ini Arwen menyerah dengan rambutnya. Tante Karin mengubahnya menjadi keriting spiral kecil-kecil yang anggun membingkai wajahnya. Matanya yang dalam dan tajam dikelilingi bulu mata yang tebal dan lentik. Eye shadow yang senada dengan tema gaun malamnya kali ini, disapukan ke matanya dengan profesional oleh Tante Karin. Bibirnya yang sudah merah dan berlekuk indah tak perlu lagi diberi banyak pewarna bibir.Dalam perjalanan menuju club malam Arwen tak hentinya berdoa mengharap keberuntungan agar rencananya berhasil kali ini.Arwen melangkah ke dalam klub malam dengan mantap. Sepatu hak tinggi dan warna senada membuatnya anggun. Warnanya seakan menyatu dengan kulitnya yang putih bersih. Dentum-dentum musik mul
Arwen Marine Raymon berbalik menuruni tangga. Tubuhnya dipenuhi gelayar kebahagiaan ketika Trinita, sang kakak memanggilnya untuk berbicara dengan orangtuanya di telepon. Dia turun menghambur seperti angin ribut menghampiri kakaknya yang sedang memegang gagang telepon sambil terus bicara.“Mmm, baiklah. Nggak apa-apa. Aku mengerti kok, Pa. Salam buat Mama. Dan ini Arwen mau bicara.” Trinita memberikan gagang telepon kepada adiknya.“Halo, Papa.” Arwen berbicara sembari nyengir ke arah Trinita.“Arwen sayang, maaf baru bisa menghubungimu. Bagaimana dengan kabarmu?” jawab Papa dengan suara parau dari seberang sana.“Aku baik-baik saja. Tapi kenapa dengan suara Papa? Papa sakit?”“Papa… Papa baik-baik saja Arwen. Nggak usah khawatir.” Suara Papa terdengar makin seperti orang yang terkena flu. “Papa cuma mau bilang kalau Papa sama Mama pulang hari Rabu.”“Rabu? Kenapa nggak
Tiga gundukan tanah merah basah bertabur bunga dikelilingi orang-orang berpakaian hitam. Semua menunduk sedih dan mengusap air mata, kemudian satu persatu orang-orang itu mulai meninggalkannya.Mereka meremas bahu Arwen dan Trinita seakan remasan itu mampu menguatkannya. Arwen menahan tangis ketika tangan hangat terakhir sahabatnya meremas bahunya. Trinita masih terisak. Kehilangan tiga orang sekaligus membuat mereka seperti dipukul benda berat yang tak terlihat. Membetot ulu hatinya, membekukan darah dalam pembuluhnya dan membuat hidungnya serasa dibekap hingga sulit bernafas.Arwen mengangkat badan kakaknya yang lemas hampir pingsan kemudian bangkit perlahan-lahan menuju mobil. Dia menyetir tanpa fokus yang anehnya, mobil terasa berjalan tanpa dikendalikan. Terangnya matahari di siang hari tak mampu menerangi hati mereka berdua yang sedang diselimuti mendung.Trinita terisak makin keras dan Arwen hanya meremas kedua tangannya tanpa mampu berkata-kata. Kerongkonganny
Ketika Arwen terbangun, kamar terlihat gelap gulita. Dia bangkit dan berjalan menyusuri tembok mencari saklar lampu. Setelah menemukannya, dia menekannya, seketika ruangan menjadi terang benderang dalam sekejap.Arwen menuju ke lemari pakaian untuk mencari gaun rumah ibunya. Dia membukanya dan memandang gantungan-gantungan baju milik orang tuanya. Hatinya berdesir perih ketika mengingat semua pakaian itu tak mungkin dipakai mereka lagi.Dia memilih gaun rumah bermotif bunga-bunga cantik. Ketika menariknya dia melihat laci dalam lemari yang tak bisa menutup sepenuhnya karena tersangkut buku warna hitam.Arwen mendekatinya dan mengambilnya. Rupanya itu adalah buku agenda Papa. Dia membuka laci itu penuh-penuh dan menemukan satu lagi buku agenda milik ibunya. Dia membukanya dan mulai membacanya. Rupanya semua isinya sama, hanya beda satu dua kegiatan ke salon dan main golf. Selain itu tampaknya semua kegiatan bisnis mereka dilakukan bersama-sama. Tampak catatan akhir di
Esoknya setelah Arwen sarapan, dia bergegas turun ke lobi karena taksi yang dipesannya sudah menunggu. Taksi mulai meluncur setelah Arwen mengatakan tujuannya. Lalu lintas benar-benar macet dan perlu waktu yang lama untuk sampai ditujuan.Matahari mulai terasa panas ketika taksi berada dalam jalanan sempit ke arah kampung di pinggiran kota. Lama kemudian taksi mulai melambat dan berhenti di depan sebuah gang. Karena mobil tak bisa memasukinya, Arwen turun dan masuk ke dalam gang sendirian.Perkampungan itu kumuh, tak terawat dan di bawah garis kemiskinan. Seorang ibu-ibu duduk santai di depan rumah kecil yang tak kalah kumuhnya. Arwen menanyakan alamatnya ke ibu itu, dia menunjukkan arah di belakang punggungnya yang berarti alamat itu masih jauh masuk ke dalam. Setelah bolak-balik bertanya ke orang-orang, Arwen sampai juga ke sebuah rumah bobrok dari kayu yang tampak habis terbakar, gentengnya sudah melorot, kaca-kacanya pecah dan hancur. Lantai tanahnya penuh ditumbuhi ru
“Arwen, kamu mendengarku?” Trinita berdiri sebal di samping Arwen. Ketika itu Arwen sedang duduk di kursi taman memandang senja seperti Oma waktu itu. “Aku lagi bicara sama kamu Awen.” Trinita sebal. “Kamu kenapa sih? Sejak pulang dari Jakarta, kamu kembali mengunci diri dalam kamar. Kamu sudah lupa janjimu waktu itu?”Arwen mendongak memandang kakaknya kemudian berkata. “Aku masih ingat Trinita, astaga. Aku nggak melupakan janjiku. Aku cema sedang memikirkan sesuatu. Dan jangan pandang aku seperti itu,” ucapnya ketika Trinita melotot ke arahnya.“Arwen, aku juga masih merasa sangat kehilangan, tapi tolonglah tetap tegar,” ujar Trinita. Suaranya melembut. “Berhenti menutup diri seperti itu, kembali lah kuliah biar kamu dapat hiburan.”“Besok. Oke? Aku akan mulai kuliah besok,” jawab Arwen kaku.“Arwen, aku sangat menyayangimu. Aku nggak ingin kamu terus berada dalam keterpurukan dan melupakan segalanya. Aku sudah kehilangan banyak orang, dan aku juga aku nggak mau