Ketika Arwen terbangun, kamar terlihat gelap gulita. Dia bangkit dan berjalan menyusuri tembok mencari saklar lampu. Setelah menemukannya, dia menekannya, seketika ruangan menjadi terang benderang dalam sekejap.
Arwen menuju ke lemari pakaian untuk mencari gaun rumah ibunya. Dia membukanya dan memandang gantungan-gantungan baju milik orang tuanya. Hatinya berdesir perih ketika mengingat semua pakaian itu tak mungkin dipakai mereka lagi. Dia memilih gaun rumah bermotif bunga-bunga cantik. Ketika menariknya dia melihat laci dalam lemari yang tak bisa menutup sepenuhnya karena tersangkut buku warna hitam.Arwen mendekatinya dan mengambilnya. Rupanya itu adalah buku agenda Papa. Dia membuka laci itu penuh-penuh dan menemukan satu lagi buku agenda milik ibunya. Dia membukanya dan mulai membacanya. Rupanya semua isinya sama, hanya beda satu dua kegiatan ke salon dan main golf. Selain itu tampaknya semua kegiatan bisnis mereka dilakukan bersama-sama. Tampak catatan akhir di dua agenda itu bertuliskan menemui relasi di Medan hari Selasa pukul 10 pagi tanggal 23 Maret 2020. Rupanya memang benar mereka akan ke Medan. Tapi di sini tercantum hari Selasa mereka baru ada acara. Kenapa mereka harus berangkat pada hari Minggu? Apakah mereka akan bersantai dulu di sana? Tapi tak mungkin, jadwal hari Senin mereka adalah rapat, mereka tak akan meninggalkannya hanya karena ingin bersenang-senang. Lalu kenapa mereka terburu-buru pergi ke Medan? Arwen memikirkan semua itu dalam benaknya.Dia kembali merebahkan dirinya ke atas ranjang sambil memikirkannya. Di depan ranjang ada laci buku kecil yang susunan buku-bukunya berantakan. Arwen memandangnya dan tampak penasaran. Dia turun menghampirinya dan mulai menurunkannya satu persatu. Rupanya semua buku-buku itu tentang bisnis dan ekonomi. Arwen menumpuknya di satu tangan dan tangan lainnya menurunkan buku yang masih berantakan, karena dia bermaksud membenahinya kembali.“Braaakk….”Buku-buku tebal itu jatuh hampir menimpa kakinya karena tangannya sudah tak kuat lagi menahannya.“Sial,” ucapnya. Dia kembali memungutnya satu persatu. Ketika dia mengangkat sebuah buku bersampul mata uang dolar dan menara-menara tinggi, sesuatu jatuh dari dalamnya. Selembar amplop berwarna merah dan bertuliskan huruf Mandarin tanpa alamat pengirim.Arwen penasaran dan membukanya. Sebuah foto seorang pria setengah baya yang sepertinya dirobek jadi dua. Dia mencermatinya, tiba-tiba hatinya mencolos setelah tahu siapa pria yang ada dalam foto itu. Pria itu adalah Papa ketika masih muda. Kemudian dia melanjutkan mengambil selembar kertas timah rokok yang tepi-tepinya terbakar dan berbau alkohol yang sangat menyengat seolah buku itu habis di rendam cairan itu. Arwen membaliknya dan menemukan tulisan, “AKAN KU ANTAR KAU KE NERAKA,” dengan tinta merah menyala.Bulu kuduk Arwen meremang ketika membacanya. Ini tidak mungkin, batinnya. Kemudian dia menyelipkan dengan cepat amplop itu kembali ke dalam buku dengan jantung berdetak keras. Dia ingin tahu surat itu milik siapa. Di sampul bagian dalam buku itu tertulis nama Raymon. Suatu kepastian muncul dalam benaknya bahwa orantuanya tidak benar-benar tewas karena kecelakaan.Arwen membereskan buku-buku itu kembali dengan tergesa-gesa kemudian turun ke lobi. Di sana dia kembali menemui si resepsionis cantik.“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ketika Arwen mendekatinya.“Ya, aku ingin tahu, kapan terakhir kali Papa menerima surat.”“Maksud Anda Pak Raymon?”Arwen mengangguk.“Mohon tunggu sebentar.” Resepsionis itu berbalik dan mengambil sebuah buku besar. Dia meneliti buku itu kemudian berkata “Pak Raymon terakhir mendapat surat pada tanggal 21 Maret 2020 hari Minggu pukul delapan lewat dua puluh.”“Bagaimana ciri-ciri suratnya?" tanya Arwen tak sabar.“Tidak ada catatan bagaimana suratnya. Tapi tidak ada alamat pengirimnya.”Tidak ada alamat pengirimnya? Pasti amplop merah itu, batinnya. “Siapa pengantarnya?”“Seorang kurir bernama Erik dan ini nama jasa pengirimnya serta alamatnya.” Dia menyodorkan buku besar itu agar dibaca Arwen.Arwen membacanya kemudian menyalinnya di secarik kertas kecil. Setelah mengucapkan terima kasih yang terburu-buru dia melesat kembali ke apartemennya. Dia menyambar tas kecil dan menjejalkan amplop merah dan dompet ke dalamnya. Ketika sampai di bawah, dia sudah ditunggu taksi yang di pesannya. Dia masuk dan memberikan alamat itu kepada sopirnya. Taksi pun mulai melaju. Perasaannya tidak nyaman dan jantungnya berdegup sangat kencang.Setelah menyusuri kota Jakarta di malam hari selama satu jam, taksi mulai memasuki gang sempit di daerah pinggiran Jakarta. Gedung-gedung yang berderet di dalam gang itu rusak dan rupanya sudah lama tidak ditempati. Taksi melambat dan berhenti di sebuah bangunan tua berlantai dua dan bobrok. Kalau saja tidak ada papan nama jasa pengiriman yang menempel pada gedung itu, Arwen pasti mengira salah alamat.Dia turun dari taksi. Sebelumnya dia sudah berpesan agar taksi itu tetap menunggunya. Dia membuka pintu kaca berdebu dan mendapati meja kecil, mungkin meja resepsionis karena ada papan bertuliskan informasi di atasnya dan seorang perempuan bertampang tak cukup pintar duduk di belakangnya. Walaupun tempat itu bobrok, rupanya banyak juga pelanggan yang memakai jasa pengiriman itu. Tapi yang membuat Arwen sedikit mengerut, pelanggan-pelanggan itu bertampang aneh-aneh. Ada yang memakai jubah panjang semata kaki dan bersorban, pria besar ala preman pasar, berotot dan bertato besar-besar di lengannya. Tempat yang aneh menurutnya. Atau dia yang aneh berada di dalam situ.“Bisa saya bantu? Apakah Anda mau mengirimkan barang?” tanyanya ramah tapi matanya memandang heran Arwen dari atas ke bawah.“Nggak. Saya ke sini ingin bertemu dengan Erik,” katanya hati-hati. “Erik?” ulangnya heran. “Dan Anda?”“Saya Marine,” jawabnya berbohong. Masih memandang pelanggan-pelanggan aneh itu.“Marine? Kalau begitu tunggu sebentar,” kata perempuan itu dan berjalan memasuki sebuah pintu khusus untuk karyawan.Arwen duduk di sebuah kursi tunggu dekat pintu masuk yang sudah bergoyang dan berkeriut saat dia mendudukinya. Ruangan itu suram, hanya terdengar bunyi klak klik komputer di meja penerimaan barang yang terletak di seberangnya. Serta suara-suara petugas yang sedang menanyakan alamat yang dituju. Paket-paket berbentuk aneh dan mencurigakan terjajar rapi di belakang meja penerimaan.Tak lama kemudian resepsionis kembali diikuti seorang pria pendek berambut keriting dan berkulit hitam. Resepsionis itu menunjukkan Arwen kepada pria itu, kemudian dia mengangguk dan menghampiri Arwen dengan wajah bingung.“Siapa ya?” dia bertanya dengan kening berkerut.“Erik?” Tanya Arwen memastikan. Pria itu mengangguk. “Saya Marine.”“Ada apa Anda mencari saya? ” ujar Erik sambil mengamati Arwen yang terlihat janggal di tempat tidak normal itu.“Anda memang nggak mengenal saya. Saya juga begitu. Tapi saya perlu menanyakan sesuatu pada Anda,” jawab Arwen ramah. “Apa nggak ada tempat yang lebih pribadi di sini” Arwen memandang berkeliling.Erik berpikir sesaat kemudian mengajak Arwen keluar ruangan. Mata resepsionis memandang mereka ingin tahu. Erik mempersilahkannya Arwen duduk di sebuah bangku kayu panjang tanpa sandaran di samping gedung. Di situ agak gelap karena hanya diterangi seleret lampu jalan.Arwen duduk di ujung bangku dan Erik duduk di ujung lainnya. Arwen membuka tasnya dan menarik amplop merah yang membuatnya jijik.“Apa kamu masih ingat amplop ini, Erik?” tanya Arwen, menyodorkan amplop itu padanya,Wajah Erik berubah menegang, kentara sekali dia kaget.“A-aku n-nggak tahu apa-apa tentang itu.” Dia menjawab dengan tergagap.“Siapa yang mengirimnya?” lanjut Arwen tak mempedulikan reaksi Erik.“Sudah kubilang, aku nggak tahu.” Dia menjawab kasar dan bangkit, bersiap kabur. Arwen menangkap dan menahan tangannya.“Tenanglah Erik, aku nggak akan berbuat apa pun kepadamu meski kamu nggak tahu tentang amplop ini. Lagi pula apa yang akan aku lakukan padamu, aku hanya seorang wanita.”Erik memandangnya, tampak berpikir, kemudian duduk kembali dengan raut muka gelisah dan peluh mulai bercucuran di wajahnya. Arwen mengambil dompet dan menarik beberapa lembar uang dari dalamnya. Uang itu dia genggamkan ke tangan Erik. Dan rupanya Erik mengerti. Uang selalu bisa menyelesaikan masalah pikir Arwen. Ironis.“Baiklah, aku memang disuruh seseorang untuk mengirimkan amplop aneh itu.” Dia bicara sambil melirik sebal ke arah amplop yang dipegang Arwen. “Setelah dia membuntutiku dan menyergapku di ujung jalan gelap sebelah sana.” Erik menunjuk ke arah jalan gelap di sebelah gedung kosong.“Mungkin dia tahu aku bekerja di sini. Dia memaksaku mengirimkannya tapi aku nggak mau, tapi dia malah meninju wajahku ketika aku mencoba meminta tolong. Kuberi tahu dia agar menitipkannya di kantor saja tapi dia kembali marah dan mengancam membunuhku. Aku sudah merasa amplop itu nggak beres, walaupun aku sudah sering melihat benda nggak beres di kantor ini.” Dia mengedikkan kepalanya ke belakang, ke arah tempatnya bekerja. “Apa amplop itu menyusahkanmu?”Arwen menggeleng. “Terus kan saja Erik.”“Ya, kamu tahu sendiri bagaimana aku menyerah dan mau mengantarkannya. Tapi tunggu.” Dia mengerutkan dahinya yang bersimbah keringat, merogoh saku belakangnya dan menarik dompet kumal dari dalamnya. Dia membukanya lalu mengambil secarik kertas yang sangat kusut.“Waktu aku bilang setuju, dia menyuruhku menghafal sebuah alamat kemudian menyuruhku menuliskannya di secarik kertas ketika aku sampai di kantor dan menyimpannya. Orang itu aneh sekali!’ Serunya. “Setelah menyelesaikan urusannya denganku dia pergi begitu saja di kegelapan.” Erik memberikan secarik kertas itu pada Arwen.“Erik seperti apa orang itu? Mungkin kamu masih ingat. Dia pria atau wanita?”“Aku nggak tahu. Aku kan sudah bilang ujung jalan itu gelap sekali. Kamu bisa lihat sendiri dari sini. Aku sering lewat sana karena hanya jalan itu yang paling dekat dengan kosku. Tapi yang jelas, dia seorang pria, suaranya begitu berat waktu itu.” Tambahnya setelah mengingat-ingat.Arwen memandang kembali alamat yang tertera di secarik kertas itu, kemudian merasa cukup. Dia tak ingin berlama-lama lagi bersama Erik.“Baiklah Erik, terima kasih atas bantuannya,” Arwen bangkit dan berjalan menuju taksi yang sedang menunggunya. Kemudian Erik berteriak.“Marine, apakah kamu akan melaporkanku ke polisi?” Raut mukanya cemas, dan dia meremas jari-jarinya sendiri.“Tergantung Erik, tapi mungkin kamu hanya dipakai sebagai saksi.” Arwen tersenyum geli. Melihat tampang Erik yang sepertinya menyesal telah memberitahu Arwen.Ketika taksi meluncur keluar gang Arwen menanyakan alamat itu kepada sopir. Arwen ingin bersiap-siap apa yang akan dilihatnya nanti. Sopir itu menjawab bahwa alamat itu adalah sebuah kampung yang jauh di pinggiran kota. Kalau ingin pergi sekarang mereka akan sampai larut malam. Arwen memutuskan saja untuk kembali ke apartemen tanpa mengetahui bahwa dia sedang diikuti sejak tadi.Esoknya setelah Arwen sarapan, dia bergegas turun ke lobi karena taksi yang dipesannya sudah menunggu. Taksi mulai meluncur setelah Arwen mengatakan tujuannya. Lalu lintas benar-benar macet dan perlu waktu yang lama untuk sampai ditujuan.Matahari mulai terasa panas ketika taksi berada dalam jalanan sempit ke arah kampung di pinggiran kota. Lama kemudian taksi mulai melambat dan berhenti di depan sebuah gang. Karena mobil tak bisa memasukinya, Arwen turun dan masuk ke dalam gang sendirian.Perkampungan itu kumuh, tak terawat dan di bawah garis kemiskinan. Seorang ibu-ibu duduk santai di depan rumah kecil yang tak kalah kumuhnya. Arwen menanyakan alamatnya ke ibu itu, dia menunjukkan arah di belakang punggungnya yang berarti alamat itu masih jauh masuk ke dalam. Setelah bolak-balik bertanya ke orang-orang, Arwen sampai juga ke sebuah rumah bobrok dari kayu yang tampak habis terbakar, gentengnya sudah melorot, kaca-kacanya pecah dan hancur. Lantai tanahnya penuh ditumbuhi ru
“Arwen, kamu mendengarku?” Trinita berdiri sebal di samping Arwen. Ketika itu Arwen sedang duduk di kursi taman memandang senja seperti Oma waktu itu. “Aku lagi bicara sama kamu Awen.” Trinita sebal. “Kamu kenapa sih? Sejak pulang dari Jakarta, kamu kembali mengunci diri dalam kamar. Kamu sudah lupa janjimu waktu itu?”Arwen mendongak memandang kakaknya kemudian berkata. “Aku masih ingat Trinita, astaga. Aku nggak melupakan janjiku. Aku cema sedang memikirkan sesuatu. Dan jangan pandang aku seperti itu,” ucapnya ketika Trinita melotot ke arahnya.“Arwen, aku juga masih merasa sangat kehilangan, tapi tolonglah tetap tegar,” ujar Trinita. Suaranya melembut. “Berhenti menutup diri seperti itu, kembali lah kuliah biar kamu dapat hiburan.”“Besok. Oke? Aku akan mulai kuliah besok,” jawab Arwen kaku.“Arwen, aku sangat menyayangimu. Aku nggak ingin kamu terus berada dalam keterpurukan dan melupakan segalanya. Aku sudah kehilangan banyak orang, dan aku juga aku nggak mau
Arwen berjalan cepat ke garasi dan mengeluarkan mobilnya. Dia sangat merasa bersalah menyembunyikan sesuatu dari Trinita. Tapi dia masih belum ingin mengatakan semuanya. Trinita akan syok jika mendengarnya. Arwen mencoba menenangkan perasaan bersalahnya sambil membawa mobilnya meluncur kejalanan. Ketika sampai di perempatan dia membanting setirnya ke kanan menuju kampusnya.Setelah memarkir mobilnya, dia keluar dan berjalan ke tempat Dinar menunggunya. Kampus masih sepi. Memang terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Dia menemukan sahabatnya di kursi panjang taman, di bawah pohon cemara besar. Berkacamata dan memakai kemeja krem bergaris-garis. Dinar tersenyum kepadanya.“Hei,” sapanya kepada Arwen. Arwen bergegas menghampirinya. ”Kamu selalu saja terlambat. Aku sudah 10 menit menunggumu di sini.” Dinar menunjuk ke arlojinya.“Hei, tukang gerutu,” balas Arwen.” Terima kasih sudah menungguku.”“Bagaimana kabarmu? Kukira kamu sudah lupa di mana tempat ini karena t
Sekitar pukul tiga sore Arwen kembali ke rumah diikuti Dinar. Mereka memarkir mobil di garasi yang terletak lima meter dari rumah utama. Setelah turun dari mobil Arwen melirik ke tempat biasa Trinita memarkir mobilnya, tempat itu kosong. Trinita belum pulang.Mereka berjalan di koridor yang menghubungkan garasi ke rumah. Setelah memasuki rumah, Arwen menuju dapur dan mengambil jus untuk Dinar.“Sebaiknya kita saja mandi sebelum Trinita pulang. Aku akan membantunya memasak nanti,” kata Arwen sambil menyodorkan segelas jus ke Dinar.“Baiklah. Aku harus memakai kamar mandi yang mana?“ tanya Dinar bingung. Memandang ke sekelilingnya. Rumah Arwen memang sangat besar dan banyak kamar mandi yang tersedia.“Kayak kamu nggak pernah mandi di rumahku saja,” Arwen memutar bola matanya. “Pokoknya, jangan pakai yang dekat guci besar itu. Kran di sana sedang rusak.”“Aku memakai kamar mandi yang ada di kamarmu saja,&rdq
Keesokan harinya Arwen bangun kesiangan. Semalam dia berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan yang akan diputuskannya. Setelah memikirkannya dia cenderung pindah ke Jakarta . Memulai hidup baru di sana. Memulai penyelidikan lagi dan yang paling berat, adalah mengemban beban perusahaan. Walaupun semalam dia merasa sebal dengan Trinita, karena seenaknya saja mengalihkan tanggung jawabnya kepada dia. Arwen kini sadar betapa beratnya Trinita mengemban tanggung jawabnya sendiri sebagai pemimpin bisnisnya.Siang itu Arwen bertemu Trinita saat turun dari kamarnya, dia berpapasan dengan Trinita di tangga.“Oh Arwen untunglah kamu sudah bangun!” Kata Trinita agak tergesa.“ Ada apa? Dan kamu mau kemana?” Arwen bertanya heran melihat Trinita memakai baju rapi dan menjijing tasnya.“ Ada urusan serius di kantor. Beberapa customer protes gara-gara pengiriman mobilnya telat, aku harus kesana membereskannya. Maaf Arwen, kamu harus menemani Tante
Keesokan paginya Arwen terbangun dengan kaget ketika Trinita membuka gorden kamarnya. Membuat cahaya matahari jatuh tepat mengenai wajahnya.“Arwen, cepatlah bangun!” seru Trinita. Dia sedang membuka jendela-jendela kamar.Arwen menggeliat kemudian bertanya, “memang sekarang jam berapa?”“Jam sepuluh. Cepatlah bangun dan turun! Bantu aku memasak!” cetusnya kemudian keluar kamar.Ketika pintu sudah menutup di belakang Trinita, Arwen memejamkan mata lagi. Dia mengingat-ingat mimpinya semalam. Dia melihat ayah dan ibunya menangis di depannya, ketika dia memeluk mereka, Papa memberikan amplop merah kemudian menghilang. Arwen membuka matanya dan merasakan kerinduan yang sangat kepada mereka berdua. Seketika itu Arwen langsung turun dari ranjangnya, dia tak ingin merasakannya berlarut-larut. Dia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mandi dia mencari setelan kesukaannya. Celana pendek dan kamus tanpa lengan. Arwen
“Kamu benar-benar akan pindah Arwen?” kata Dinar merana setelah Arwen bercerita kepadanya. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman di bawah pohon cemara tua favorit mereka di kampus.“Oh sudahlah … jangan begitu, kamu kan bisa mengunjungiku ketika liburan. Aku janji akan mengirimi tiket penerbangan ke Jakarta.” Hibur Arwen.“Aku sudah berpikir kamu akan pindah ke Jakarta tapi aku berusaha melupakan pikiran itu.” Tambah Dinar masih merana.Arwen merubah posisi duduknya lebih menyerong ke Dinar lalu berkata.“Maafkan aku, tapi aku memang harus ke sana Dinar! Trinita memberiku tanggung jawa atas perusahaan. Dia tak mau ambil alih, dia lebih suka dengan pekerjaannya sendiri.”“Arwen, aku akan benar-benar sendirian di sini,” kata Dinar, dia sama sekali tak memandang Arwen.“Cobalah mencari pacar!” jawab Arwen enteng sambil nyengir.Dinar menoleh memandang sahabatnya, tampan
Siang itu Jakarta diguyur hujan deras. Arwen sampai di apartemen Tante Karin dengan baju setengah basah. Dia mengetuk pintunya kemudian terdengar suara Tante Karin menyahut dari dalam.“Buka saja Arwen. Aku tidak mengunci pintunya,” kata Tante Karin, rupanya dia sudah tahu siapa yang datang.Arwen membuka pintunya kemudian masuk. Apartemen Tante Karin nuansanya sangat ceria. Sofa-sofa ruang tamu berbesa-beda warnya tapi serasi sekali dengan warna cat dindingnya yang menyegarkan mata. Arwen berpendapat apartemen Tante Karin lebih mirip ruang bermain anak-anak daripada apartemen orang dewasa. Tampak cocok sekali dengan pembawaan Tante Karin.Saat ini wanita itu sedang berada di dapur. Dia sedang sibuk membuah teh dan kue. Melalui pintu pemanggang yang transaparan, tampak kue dalam loyang sedang mengembang.“Baunya enak sekali Tante Karin.” Komentar Arwen ketika dia sampai di dapur.Tante Karin tersenyum kemudian mengeluarkan kuenya dari