Keesokan harinya Arwen bangun kesiangan. Semalam dia berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan yang akan diputuskannya. Setelah memikirkannya dia cenderung pindah ke Jakarta . Memulai hidup baru di sana. Memulai penyelidikan lagi dan yang paling berat, adalah mengemban beban perusahaan. Walaupun semalam dia merasa sebal dengan Trinita, karena seenaknya saja mengalihkan tanggung jawabnya kepada dia. Arwen kini sadar betapa beratnya Trinita mengemban tanggung jawabnya sendiri sebagai pemimpin bisnisnya.
Siang itu Arwen bertemu Trinita saat turun dari kamarnya, dia berpapasan dengan Trinita di tangga.“Oh Arwen untunglah kamu sudah bangun!” Kata Trinita agak tergesa.“ Ada apa? Dan kamu mau kemana?” Arwen bertanya heran melihat Trinita memakai baju rapi dan menjijing tasnya.“ Ada urusan serius di kantor. Beberapa customer protes gara-gara pengiriman mobilnya telat, aku harus kesana membereskannya. Maaf Arwen, kamu harus menemani Tante Karin sendirian di rumah.”“Tak masalah.” Jawab Arwen, dia malah senang ditinggal berdua dengan Tante Karin. “Kalau begitu hati-hati.”Trinita berjalan setengah berlari keluar, dia benar-benar repot dengan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya. Arwen merasa sangat kasihan dengannya. Dia akan memasakkan Trinita nanti sore, janjinya pada diri sendiri.Arwen berjalan menuju dapur, mengambil segelas susu dari lemari es dan mencomot sekeping roti tawar dari meja makan. Dia memakannya dan menghabiskan segelas susunya sambil melamun. Kemudia dia ingat Tante Karin, cepat-cepat keluar dapur dan mencarinya. Tante Karin sedang berada di halaman depan rumahnya ketika Arwen menemukannya. Dia sedang duduk di kursi taman memandang kolam ikan di bawah pohon besar yang rindang. Dia tersenyum ketika Arwen menghampirinya.“Maaf Tante Karin, kami membiarkanmu sendirian,” kata Arwen lalu duduk di sebelahnya.“Tidak masalah Arwen. Aku senang berada di sini. Sangat sepi, damai dan menyenangkan. Ini lokasi bagus untuk sebuah rumah.”“Sebenarnya Papa yang ngotot membangun rumah ini di sini ketika aku masih kecil. Pilihan yang aneh menurutku kalau dilihat dari selera Papa.” “Aku juga sempat berpikir begitu Arwen selama dalam perjalanan kemari. Ayahmu tidak memilih lokasi di perumahan tapi lokasi… ya kamu tahu Arwen, lebih masuk kampung.”“Tapi aku sangat menyukai keadaan di sini. Sangat tentram.“ Kata Arwen sekarang memandang Tante Karin.“Aku juga menyukainya.” Kata Tante Karin lalu memegang tangan Arwen. “Aku berjanji akan membantumu dan mengajarimu Arwen, seMampuku. Cobalah… jika kamu tidak menyukainya, kita bisa pikirkan rencana yang lain. Tidak ada yang tahu selama tidak mencoba.”“Terima kasih Tante Karin. Mungkin aku memang harus mencobanya lebih dulu.”Tante Karin tersenyum puas.“Ehm … Tante Karin, sebagai orang yang dekat dengan orangtuaku, Anda pasti tahu bagaimana mereka tiap harinya. Seperti apa mereka sehari-hari?” Arwen memulai. “Aku hanya ingin tahu.” tambahnya.“Tentu saja kamu ingin tahu, kamu adalah putrinya. Mereka kedua orang yang sangat baik, kegiatan mereka berdua hampir tak pernah berjalan sendiri-sendiri. Mereka berdua seperti ini,” Tante Karin mengaitkan kedua telunjuknya, “tak terpisahkan.”“Siapa saja rekan-rekannya di sana?” Arwen kembali bertanya karena jawaban yang ia dapat tidak sesuai dengan keinginannya. Walaupun dia merasa senang orang tuanya disebut-sebut kembali.“Banyak sekali rekannya. Mereka sangat baik sehingga mereka cepat sekali mendapat rekan maupun teman. Walaupun tak semua rekan baik.” Tante Karin menghembuskan napas panjang setelah mengatakannya.“Apa maksudnya?”“Dulu dia punya seorang rekan kerja, namanya Dicky Lang. Dia pengusaha muda yang sukses dan paling berjaya waktu itu. Saat itu perusahaan orang tuamu belum sukses. Tingkat keberhasilannya jauh di bawah perusahaan Dicky. Orang tuamu menjadikannya rekan, mereka berdua ingin belajar dari pemuda itu. Setelah satu tahun menjalin hubungan baik, perusahaan mereka menjadi sukses. Jauh mengalahkan Dicky.”“Jadi Mama dan Papa mendekati Dicky hanya untuk mencuri kejayaannya?” tanya Arwen tak percaya.“Tentu saja tidak Arwen. Orang tuamu tak akan pernah melakukan hal keji seperti itu. Mereka hanya ingin belajar dari pemuda itu, kemudian menerapkannya di perusahaannya sendiri tapi Dicky sama sepertimu. Dia langsung menganggap orangtuamu mengkhianatinya, dia mengira mereka mencuri kejayaannya. Ayahmu berusaha menjelaskannya tapi percuma. Bahkan saat perusahaan Dicky jatuh ayahmu berusaha memberi pinjaman tapi Dicky tak mau. Dia menganggap itu sebagai penghinaan.“Kemudian lama setelah itu perusahaan Dicky mulai bangkit. Tapi kebangkitannya dilakukan dengan curang dan perbuatan kotor. Dia menghasut relasi-relasi yang berhubungan dengan perusahaan orangtuamu. Orangtuamu sangat kalang kabut karenanya. Tapi mereka cerdas, mereka bisa mengendalikan situasi dan membersihkan nama perusahaannya. Mereka kembali bangkit walaupun saat itu suasana bisnis sedang lesu.” Tante Karin sekarang tersenyum.“Tentu saja Dicky marah sekali karena telah gagal mengobrak-abrik perusahaan mereka. Tapi aku sangat kagum terhadap ayah dan ibumu. Mereka tetap tidak mempunyai dendam sekecil pun kepada Dicky. Mereka tetap menghormatinya sebagai guru muda yang membantunya mencapai kesuksesan.”“Lalu bagaimana dengan Dicky sekarang?” Arwen bertanya, tangannya mulai berkeringat. Mungkinkah dia?“Kudengar dia memulai membangkitkan lagi perusahaannya. Tapi terakhir kali aku bertemu dia dan ketika itu berita meninggalnya orangtuamu sudah menyebar ke kota di kalangan para pengusaha, dia berkata kepadaku ‘Kurasa mereka sedang berada di neraka sekarang.’ Lalu tertawa gelak-gelak. Kentara sekali dia bahagia, aku saat itu hanya geleng-geleng kepala dan menganggap Dicky sudah tidak waras.” Tante Karin menggeleng-gelengkan kepalanya menirukannya waktu itu.“Berarti dia memang sangat bahagia melihat orangtuaku meninggal?” Tanya Arwen, tangannya mulai kaku. Tante Karin memperhatikannya kemudia berkata.“Oh sudahlah, Arwen jangan diambil hati. Dicky memang begitu.” Tante Karin menggenggam tangan Arwen, berusaha menenangkan.“Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit emosi, Anda pasti mengerti Tante Karin.” Tante Karin menganggguk sabar ”Beberapa hari yang lalu aku terbang ke Jakarta . Di apartemen Mama dan Papa aku menemukan dua agenda mereka. Aku membacanya, dan kemudian mengetahui mereka berdua ada janji dengan rekannya di Medan. Hari Selasa. Tapi mereka memberitahuku mereka akan berangkat hari Minggu waktu itu. Anda tahu kenapa mereka berangkat hari Minggu? Dan akan ke mana mereka?”Tante Karin berpikir sebentar kemudian menjawab.“Aku tidak tahu Arwen, aku tidak ada di Jakarta hari itu. Apakah itu berarti mereka pergi hari Minggu lalu ditemukan tewas dalam jurang pada hari Selasa?” Tante Karin mengerutkan dahinya, mata sipitnya menerawang kosong ke arah batu-batu kolam.” Mengapa mereka melintas ke arah puncak?”“Aku juga tidak tahu Tante Karin. Ada apa di sana ?”“Mungkin mereka akan memberikan oleh-oleh untuk rekannya, Arwen.” Tante Karin memandang ke arahnya, sama binggungnya.“Anda tahu Tante Karin, kurasa aku ingin segera pindah ke Jakarta.” Arwen menatapnya tajam.***
Informasi baru tentang rekan orangtuanya yang bisa dicurigai sebagai pelaku memenuhi pikiran Arwen sore itu. Dia sedang berada di dapur untuk memenuhi janjinya kepada diri sendiri, yaitu memasak untuk makan malam. Dia mencoba mereka-mereka dan menghubungkan petunjuk-petunjuk yang berhasil ia dapatkan. Dia berhenti berpikir dan memutuskan mendiskusikannya dengan Dinar ketika jarinya teriris pisau karena memotong bawang bombay dengan melamun.Ketika Arwen memulai menata meja makan, Trinita datang menghambur ke lemari es lalu menyambar segelas air. Wajahnya terlihat sangat lelah. Setelah meminum segelas air dalam sekali teguk Trinita mengempaskan tubuhnya di kursi meja makan. Tas jinjingnya dilemparkan begitu saja di atas kursi sebelumnya.“Bagaimana masalahnya? Sudah beres?” tanya Arwen, tangannya membawa sepiring tongseng daging kambing kesukaan Trinita dan meletakkannya di atas meja.“Untunglah semuanya sudah bisa diberi pengertian. Sejuta permintaan maaf rasanya keluar dari mulutku hari ini.” Jawab Trinita. Nafasnya berhembus lelah. Kepalanya disandarkan ke sandaran kursi meja makan. Wajah dan rambutnya yang panjang kelihatan sangat berminyak.“Kamu sudah tahu mengapa pesanan-pesanan itu sampai telat?” Tanya Arwen, sekarang tangannya membawa sepiring kentang panggang dan sebakul nasi kemudian ia meletakkannya di samping ceret air.“Hampir semua pengiriman keluar pulau telat gara-gara cuaca tak menentu. Gelombang air laut naik dengan dahsyat. Mobil-mobil pengiriman tidak bisa naik kapal. Kapal-kapal feri juga tak boleh beroperasi.” Jelasnya sambil mengetuk-ketukan gelas kosong di tangannya ke atas meja.“Pantas saja, untung saja mereka mengerti.”Trinita mangiyakan. Matanya menatap kembali makanan yang sudah tertata di atas meja. “Ini semua masakanmu?”Arwen memutar bola matanya. “Menurutmu?” Trinita terkikik. “Eh di mana Tante Karin?”“Dia sedang mandi, mungkin sebentar lagi turun.”Lima menit kemudian Tante Karin turun membawa tas-tasnya.“Tante Karin, Anda mau pulang sekarang?” Tanya Arwen heran ketika Tante Karin duduk di kursi meja makan. Arwen mengikuti duduk di sebelahnya.“Tentu saja manis, besok aku harus menyiapkan surat-surat yang lain. Tapi tenang saja aku tak akan melewatkan makan malam di sini.” Ujarnya, tersenyum lembut.“Ehm… tapi Anda tergesa-gesa sekali? Lagipula sudah malam, kenapa tidak besok pagi saja kembali ke Jakarta?” Sahut Trinita.“Harus menyelesaikan tugas dengan cepat. Beberapa hal terbengkalai di kantor.” Makan malam selesai, Arwen bersemu merah karena banyak pujian karena masakannya. Ini aneh, batinnya. Aneh karena Trinita bilang dia bisa memasak. Bahkan Tante Karin menyukai tongseng kambingnya.“Anda benar-benar tidak mau diantar ke bandara, Tante Karin?” Tanya Arwen. Mereka bertiga sudah berada di teras depan. Arwen membantu membawakan tas Tante Karin.“Jangan cemaskan aku. Aku bisa sendiri. Aku akan merasa terlalu tua jika kalian mencemaskan aku.” Tante Karin tersenyum. “Jangan bicara begitu! Tentu saja tidak merepotkan. ” Sahut Trinita sambil memeluknya.“Cepat kabari aku bagaimana keputusan kalian. Aku menantikan kalian di Jakarta .” Ujar Tante Karin ketika Arwen membantunya memasuki taksi.“Aku pasti ke Jakarta, aku hanya tinggal membujuk Trinita.” Arwen berkata pelan sehingga hanya Tante Karin yang bisa mendengarnya, sembari menyodorkan tasnya.Taksi mulai bergerak, Tante Karin menurunkan kaca jendela lalu melambaikan tangan kepada Arwen dan Trinita sambil berteriak “Cepatlah pindah, aku menanti kalian!”Arwen dan Trinita tersenyum sambil melambaikan tangannya, kemudian Trinita berteriak membalas.” Hati-hati di jalan Tante Karin!”Arwen melesat ke kamarnya seletah membersihkan meja makan dan mencuci piring. Trinita sudah berada dalam kamarnya, mungkin sedang istirahat. Arwen menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya nyalang. Badannya terasa pegal-pegal setelah memasak dan membersihkan rumah. Pikirannya terbang kemana-mana, lama setelah itu dia terlelapKeesokan paginya Arwen terbangun dengan kaget ketika Trinita membuka gorden kamarnya. Membuat cahaya matahari jatuh tepat mengenai wajahnya.“Arwen, cepatlah bangun!” seru Trinita. Dia sedang membuka jendela-jendela kamar.Arwen menggeliat kemudian bertanya, “memang sekarang jam berapa?”“Jam sepuluh. Cepatlah bangun dan turun! Bantu aku memasak!” cetusnya kemudian keluar kamar.Ketika pintu sudah menutup di belakang Trinita, Arwen memejamkan mata lagi. Dia mengingat-ingat mimpinya semalam. Dia melihat ayah dan ibunya menangis di depannya, ketika dia memeluk mereka, Papa memberikan amplop merah kemudian menghilang. Arwen membuka matanya dan merasakan kerinduan yang sangat kepada mereka berdua. Seketika itu Arwen langsung turun dari ranjangnya, dia tak ingin merasakannya berlarut-larut. Dia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mandi dia mencari setelan kesukaannya. Celana pendek dan kamus tanpa lengan. Arwen
“Kamu benar-benar akan pindah Arwen?” kata Dinar merana setelah Arwen bercerita kepadanya. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman di bawah pohon cemara tua favorit mereka di kampus.“Oh sudahlah … jangan begitu, kamu kan bisa mengunjungiku ketika liburan. Aku janji akan mengirimi tiket penerbangan ke Jakarta.” Hibur Arwen.“Aku sudah berpikir kamu akan pindah ke Jakarta tapi aku berusaha melupakan pikiran itu.” Tambah Dinar masih merana.Arwen merubah posisi duduknya lebih menyerong ke Dinar lalu berkata.“Maafkan aku, tapi aku memang harus ke sana Dinar! Trinita memberiku tanggung jawa atas perusahaan. Dia tak mau ambil alih, dia lebih suka dengan pekerjaannya sendiri.”“Arwen, aku akan benar-benar sendirian di sini,” kata Dinar, dia sama sekali tak memandang Arwen.“Cobalah mencari pacar!” jawab Arwen enteng sambil nyengir.Dinar menoleh memandang sahabatnya, tampan
Siang itu Jakarta diguyur hujan deras. Arwen sampai di apartemen Tante Karin dengan baju setengah basah. Dia mengetuk pintunya kemudian terdengar suara Tante Karin menyahut dari dalam.“Buka saja Arwen. Aku tidak mengunci pintunya,” kata Tante Karin, rupanya dia sudah tahu siapa yang datang.Arwen membuka pintunya kemudian masuk. Apartemen Tante Karin nuansanya sangat ceria. Sofa-sofa ruang tamu berbesa-beda warnya tapi serasi sekali dengan warna cat dindingnya yang menyegarkan mata. Arwen berpendapat apartemen Tante Karin lebih mirip ruang bermain anak-anak daripada apartemen orang dewasa. Tampak cocok sekali dengan pembawaan Tante Karin.Saat ini wanita itu sedang berada di dapur. Dia sedang sibuk membuah teh dan kue. Melalui pintu pemanggang yang transaparan, tampak kue dalam loyang sedang mengembang.“Baunya enak sekali Tante Karin.” Komentar Arwen ketika dia sampai di dapur.Tante Karin tersenyum kemudian mengeluarkan kuenya dari
Esok paginya Arwen berbagi taksi dengan Trinita. Setelah menurunkan Trinita di kantor barunya. Arwen langsung melanjutkan perjalanan ke apartemen Tante Karin. Rupanya dia sudah dinanti Tante Karin di apartemennya. Ketika dia mengetuk pintunya, Tante Karin langsung menyuruhnya masuk seperti kemarin. Ketika sudah berada dalam ruang tengah, Arwen melihat tiga kantong warna putih berjejer di atas sofa panjang. Salah satu kantong itu adalah kantong garmen. Perasaannya langsung tak enak ketika melihatnya.Arwen terus melangkah ke dalam dan menemukan Tante Karin di dalam kamarnya masih memakai mantel tidur. Dia sedang duduk di depan meja riasnya dan melepas rol rambutnya satu persatu. Ketika melihat Arwen dari pantulan cerminnya dia menyapanya.“Pagi Arwen.”“Pagi juga Tante Karin. Rupanya aku ke sini terlalu pagi,” kata Arwen. ”Maaf sekali Tante Karin aku mengganggumu.”“Tak masalah. Apa kamu sudah sarapan?” Tanyanya ceri
Kira-kira pukul sembilan, acara penggalangan dana sudah berakhir. Para undangan mulai meninggalkan tempat. Hujan deras menerpa kawasan puncak disertai petir yang menyambar-nyambar. Parkiran mobil mulai sepi. Arwen sudah berada dalam mobilnya, dia terus memandang ke arah pintu keluar. Mesin mobilnya sudah menyala.Ketika Dicky Lang muncul dari pintu keluar kemudian berjalan ke arah parkir, Arwen menginjak pedal gas dan mengendarai mobilnya setengah ngebut. Sampai di tingkungan kedua jalan menurun, Arwen menghentikan mobilnya dan keluar. Baru sebentar saja di luar, Arwen langsung basah kuyup. Dia bersandar di belakang mobilnya sambil menanti mobil Dicky Lang lewat.Tak lama kemudian mobil Dicky yang sudah diketahui Arwen melalui Tante Karin melintas. Dia melambaikan tangannya menyuruh berhenti. Mobil Dicky menepi dia membuka kaca jendelanya Arwen mendekatinya.“Maaf, boleh aku menumpang mobilmu? Mobilku mogok,” kata Arwen keras sambil menunjuk ke arah mobiln
Arwen turun dari apartemen tepat pukul tujuh malam. Langit cerah bertabur bintang, dan tak ada kemungkinan akan turun hujan. Angin dingin menerpa, membuat pohon-pohon bergoyang-goyang. Udara malam terasa sejuk ketika Arwen meluncutkan mobilnya di jalan raya. Trinita sudah memberinya mobil baru. Dia menurunkan kaca jendelanya, membuat semilir angin membelai rambut-rambutnya.Dia mengendarai Nissan sport hitam barunya dengan pelan karena masih satu jam lagi bertemu dengan Trinita dan kekasihnya. Cuaca yang cerah dan jalanan yang tidak macet, membuat kota Jakarta terasa tenang. Setengah jam kemudian Arwen sampai di café tempat mereka janji bertemu. Dia mengambil tempat duduk di balkon café. Suasana yang seperti ini membuat Arwen tak ingin melewatkannya dengan berada dalam ruangan yang ber-AC.Pemandangan kota Jakarta begitu indah jika dilihat pada malam hari. Lampu-lampu yang gemerlapan menerangi gedung-gedung yang menjulang tinggi seperti bintang-bintang yang d
Tante Karin sudah berada dalam kamarnya ketika Arwen meninggalkan apartemennya. Setelah pulang dari kantor, Tante Karin masih menyempatkan diri untuk mendandaninya. Agar lebih meyakinkan, dia memakai gaun malam warna merah tanpa lengan dan setinggi lututnya. Kali ini Arwen menyerah dengan rambutnya. Tante Karin mengubahnya menjadi keriting spiral kecil-kecil yang anggun membingkai wajahnya. Matanya yang dalam dan tajam dikelilingi bulu mata yang tebal dan lentik. Eye shadow yang senada dengan tema gaun malamnya kali ini, disapukan ke matanya dengan profesional oleh Tante Karin. Bibirnya yang sudah merah dan berlekuk indah tak perlu lagi diberi banyak pewarna bibir.Dalam perjalanan menuju club malam Arwen tak hentinya berdoa mengharap keberuntungan agar rencananya berhasil kali ini.Arwen melangkah ke dalam klub malam dengan mantap. Sepatu hak tinggi dan warna senada membuatnya anggun. Warnanya seakan menyatu dengan kulitnya yang putih bersih. Dentum-dentum musik mul
Arwen Marine Raymon berbalik menuruni tangga. Tubuhnya dipenuhi gelayar kebahagiaan ketika Trinita, sang kakak memanggilnya untuk berbicara dengan orangtuanya di telepon. Dia turun menghambur seperti angin ribut menghampiri kakaknya yang sedang memegang gagang telepon sambil terus bicara.“Mmm, baiklah. Nggak apa-apa. Aku mengerti kok, Pa. Salam buat Mama. Dan ini Arwen mau bicara.” Trinita memberikan gagang telepon kepada adiknya.“Halo, Papa.” Arwen berbicara sembari nyengir ke arah Trinita.“Arwen sayang, maaf baru bisa menghubungimu. Bagaimana dengan kabarmu?” jawab Papa dengan suara parau dari seberang sana.“Aku baik-baik saja. Tapi kenapa dengan suara Papa? Papa sakit?”“Papa… Papa baik-baik saja Arwen. Nggak usah khawatir.” Suara Papa terdengar makin seperti orang yang terkena flu. “Papa cuma mau bilang kalau Papa sama Mama pulang hari Rabu.”“Rabu? Kenapa nggak