“Arwen, kamu mendengarku?” Trinita berdiri sebal di samping Arwen. Ketika itu Arwen sedang duduk di kursi taman memandang senja seperti Oma waktu itu. “Aku lagi bicara sama kamu Awen.” Trinita sebal. “Kamu kenapa sih? Sejak pulang dari Jakarta, kamu kembali mengunci diri dalam kamar. Kamu sudah lupa janjimu waktu itu?”
Arwen mendongak memandang kakaknya kemudian berkata. “Aku masih ingat Trinita, astaga. Aku nggak melupakan janjiku. Aku cema sedang memikirkan sesuatu. Dan jangan pandang aku seperti itu,” ucapnya ketika Trinita melotot ke arahnya.“Arwen, aku juga masih merasa sangat kehilangan, tapi tolonglah tetap tegar,” ujar Trinita. Suaranya melembut. “Berhenti menutup diri seperti itu, kembali lah kuliah biar kamu dapat hiburan.”“Besok. Oke? Aku akan mulai kuliah besok,” jawab Arwen kaku.“Arwen, aku sangat menyayangimu. Aku nggak ingin kamu terus berada dalam keterpurukan dan melupakan segalanya. Aku sudah kehilangan banyak orang, dan aku juga aku nggak mau kehilangan kamu juga.”Arwen hanya diam saja mendengarkan kalimat kakaknya itu.“Sebenarnya aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu,” lanjut Trinita dan Arwen terkejut selama sesaat. “Tapi aku akan pura-pura nggak merasakan hal itu kalau kamu nggak mau aku tahu. Sekarang, aku harus pergi menemui klien. Kamu makan malam dulu. Jangan tunggu aku. Aku bakal pulang telat.” Trinita membungkuk dan mencium puncak kepala Arwen.“Hati-hati kalau begitu,” jawab Arwen kemudian sembari mengamati Trinita yang berjalan menuju rumah.Arwen memutuskan tidak memberitahu Trinita tentang apa yang dia dapatkan saat di Jakarta. Setidaknya bukan saat ini, pikirnya. Dia akan memberitahu Trinita jika dia sudah memiliki gambaran yang jelas dan nyata.Mobil Trinita telah melintasi pagar ketika Arwen bangkit berjalan ke dalam rumah kemudian menguncinya dan menuju dapur. Dia membuka lemari penyimpan makanan dan tak menemukan sesuatu untuk makan malamnya. Kemudian pindah ke lemari es dan dia hanya menemukan setengah porsi piza keras dan dingin sisa kemarin.“Apa maksudnya makan malam? Nggak ada yang sanggup mengenyangkan perutku di sini.” Gerutunya sebal lalu ingin menangis. Karena dia mengingat Oma yang selalu memasak untuknya.Arwen mengeluarkan piza keras, menaruhnya di atas meja dan memandanginya. Aku nggak akan kenyang kalau hanya makan ini, batinnya. Kemudian mengeluarkan segumpal daging giling, keju dan saus sambal dari lemari es, kemudian menambahkan bahan makanan itu ke atas piza dan menaburkan keju banyak-banyak, lalu memasukkannya ke microwave.Coba kalau ada Oma, batinnya perih. Makanan enak selalu terhidang untuknya. “Sudahlah,” gumamnya pada diri sendiri. Dia mulai menyambar piring-piring kotor untuk menyibukkan dirinya.Harumnya keju meleleh menguar dari microwave ketika dia sudah selesai membasuh piring terakhir. Perutnya bertambah melilit menghirup bau gurih itu. Dia mengeluarkan piza, menuang segelas jus lalu membawanya ke kamarnya. Arwen duduk di kursi yang mengapit sebuah meja bundar yang ada di balkon kamarnya. Kemudian meletakkan piring piza dan mulai memakannya sambil memandang jalan raya di depan rumah. Jalanan lengang dan memang selalu lengang. Hanya ada satu dua kendaraan yang melewatinya. Matahari mulai tenggelam dan langit mulai gelap. Lampu tamannya mulai menyala.Seorang pria dan gadis kecil melewati depan rumahnya ketika Arwen mengunyah potongan piza terakhirnya. Mereka berdua bergandengan tangan dan tertawa-tawa. Ketika sampai di ujung jalan mereka menyeberang ke arah penjual nasi goreng yang gerobaknya diparkir di sana. Setelah pria itu memesan, dia duduk di sebuah kursi plastik kemudian memangku putrinya yang bergelayut manja sambil bercanda dan tertawa. Mereka terlihat bahagia.Arwen rela menukar segala yang ia miliki dengan keluarga kecil bahagia di seberang sana itu. Dia merasa iri dengan mereka. Hidup penuh kasih sayang bersama orangtua. Sedangkan dia, sedari kecil sudah bergelimang harta tapi haus akan kasih sayang. Kini setelah ia dewasa orangtuanya malah meninggalkannya. Hatinya kembali perih dan kerongkongannya terasa tersumbat. Dia cepat-cepat meminum jusnya dan bergegas masuk kamar karena tak mampu lagi memandang pemandangan itu.Arwen menyambar tas kecil yang dia bawa ke Jakarta kemudian duduk bersila di atas ranjangnya. Dia meraih remot tape di atas meja sebelahnya dan menyalakannya. Di dalam tape itu berisi kaset AlterBridge, band asal Inggris favoritnya. Alunan petikan gitar yang terdengar pertama kali dari lagu In Loving Memory membuat kamarnya terasa hangat dan akrab. Lirik pertama yang dinyanyikan Myles Kennedy menjadi backsound yang sangat pas ketika Arwen memandangi foto keluarganya. Foto yang dia ambil dari apartemen orangtuanya.“Thanks for all you’ve done.I’ve miss you for so long, I can’t believe your gone” Nada dan kata yang pas batin Arwen masih memandang foto keluarganya, lalu menaruhnya di meja nakas. Dia mengambil beberapa foto berpigura Oma dan menatap rindu padanya.“But now I come home and it’s not the same, noIt feels empty and alone I can’t believe you‘re gone”Setelah lagu berakhir, Arwen kembali meletakkannya berjajar dengan yang lain di meja nakas, kemudia dia menumpahkan semua isi tasnya di depan kakinya yang bersila. Buku agenda orang tuanya dan amplop merah jatuh di atas lipatan selimutnya yang bermotif perca. Arwen memungut amplop merah, menuang isinya di telapak tangannya dan memandangi lagi sobekan foto Papa. Membaca lagi ancaman di selembar kertas timah pembungkus rokok yang berbau tajam alkohol. Dia memikirkan segalanya.Papa pasti diancam kemudian buru-buru pergi. Di perjalanan dia dibunuh entah bagaimana caranya seakan mereka meninggal seperti kecelakaan biasa.Tapi mereka meninggalkan sebuah pesan, bulan sabit itu. Kenapa dan siapa dalang dari semua ini? Dia akan mencari tahu. Tapi kemana lagi dia mencari bukti? Polisi-polisi bodoh itu jelas-jelas mengira ini hanya kecelakaan lalu lintas biasa. Arwen turun dari ranjangnya, menyimpan dua agenda orangtuanya di laci dan memasukkan kertas ancaman dan foto ke dalam amplopnya kemudian memasukkannya ke dalam tas yang akan dibawanya kuliah esok hari.Arwen mengeyakkan diri di kasur lalu meraih ponselnya, mengaktifkannya dan menyentuh layarnya. Dia menghubungi Dinar.“Arwen akhirnya kamu menghubungiku,” kata sahabatnya itu.“Dinar, besok aku akan kuliah dan aku membutuhkan sedikit pendapatmu. Tunggu aku di tempat biasa, di bawah pohon cemara tua. Oke?” “Oh, oke. Baiklah. Aku akan menunggumu.” Dinar menjawab dengan bingung karena mendengar nada suara Arwen yang serius.***
Esoknya saat akan berangkat kuliah, Arwen membawa piring dan gelas bekas makan malamnya ke dapur. Dia menemukan Trinita sedang memanggang roti. Setelah menaruh piring dan gelasnya di tempat pencucian, Arwen duduk di kursi meja makan.“Maaf soal tadi malam,” ucap Trinita sembari meletakkan sepiring roti panggang di depan Arwen.“Maaf kenapa?” tanya Arwen bingung. Tangannya menuang susu ke gelasnya.“Aku lupa kalau nggak ada makanan di rumah. Dan aku menyuruhmu makan duluan,” jawabnya nyengir. “Kamu makan apa semalam?”“Oh, masalah itu, nggak apa-apa. Aku makan piza sisa yang ada di lemari es.”“Pulang kerja nanti aku akan memasak sesuatu untukmu. Ajak Dinar kalau bisa. Tapi mungkin aku pulang sedikit telat, aku akan mampir ke supermarket untuk belanja.”“Nggak masalah,” jawab Arwen sambil mengunyah rotinya.Sebenarnya tidak ada yang membahas siapa yang bertanggung jawab akan urusan dapur di antara mereka berdua. Tapi Trinita seakan mengerti. Dia sebagai saudara tertua, langsung mengambil alih persoalan ini sejak Oma meninggal.Melihat Arwen yang mulai rileks, Trinita menyambar kesempatan ini. Dia duduk di sebelah adiknya. “Kamu belum cerita padaku, apa saja yang kamu lakukan di Jakarta.”Arwen mengerutkan kening lalu mengamati kakaknya. Trinita seolah tahu kalau dia sedang melakukan sesuatu. “Nggak ada. Cuma jalan-jalan saja sebentar. Aku lebih sering berada di apertemen. Di luar sangat panas, membuatku malas.” Balas Arwen sembari buru-buru bangkit. “Aku harus berangkat sekarang Trinita. Ada janji dengan Dinar.” “Oke, hati-hati!”Arwen berjalan cepat ke garasi dan mengeluarkan mobilnya. Dia sangat merasa bersalah menyembunyikan sesuatu dari Trinita. Tapi dia masih belum ingin mengatakan semuanya. Trinita akan syok jika mendengarnya. Arwen mencoba menenangkan perasaan bersalahnya sambil membawa mobilnya meluncur kejalanan. Ketika sampai di perempatan dia membanting setirnya ke kanan menuju kampusnya.Setelah memarkir mobilnya, dia keluar dan berjalan ke tempat Dinar menunggunya. Kampus masih sepi. Memang terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Dia menemukan sahabatnya di kursi panjang taman, di bawah pohon cemara besar. Berkacamata dan memakai kemeja krem bergaris-garis. Dinar tersenyum kepadanya.“Hei,” sapanya kepada Arwen. Arwen bergegas menghampirinya. ”Kamu selalu saja terlambat. Aku sudah 10 menit menunggumu di sini.” Dinar menunjuk ke arlojinya.“Hei, tukang gerutu,” balas Arwen.” Terima kasih sudah menungguku.”“Bagaimana kabarmu? Kukira kamu sudah lupa di mana tempat ini karena t
Sekitar pukul tiga sore Arwen kembali ke rumah diikuti Dinar. Mereka memarkir mobil di garasi yang terletak lima meter dari rumah utama. Setelah turun dari mobil Arwen melirik ke tempat biasa Trinita memarkir mobilnya, tempat itu kosong. Trinita belum pulang.Mereka berjalan di koridor yang menghubungkan garasi ke rumah. Setelah memasuki rumah, Arwen menuju dapur dan mengambil jus untuk Dinar.“Sebaiknya kita saja mandi sebelum Trinita pulang. Aku akan membantunya memasak nanti,” kata Arwen sambil menyodorkan segelas jus ke Dinar.“Baiklah. Aku harus memakai kamar mandi yang mana?“ tanya Dinar bingung. Memandang ke sekelilingnya. Rumah Arwen memang sangat besar dan banyak kamar mandi yang tersedia.“Kayak kamu nggak pernah mandi di rumahku saja,” Arwen memutar bola matanya. “Pokoknya, jangan pakai yang dekat guci besar itu. Kran di sana sedang rusak.”“Aku memakai kamar mandi yang ada di kamarmu saja,&rdq
Keesokan harinya Arwen bangun kesiangan. Semalam dia berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan yang akan diputuskannya. Setelah memikirkannya dia cenderung pindah ke Jakarta . Memulai hidup baru di sana. Memulai penyelidikan lagi dan yang paling berat, adalah mengemban beban perusahaan. Walaupun semalam dia merasa sebal dengan Trinita, karena seenaknya saja mengalihkan tanggung jawabnya kepada dia. Arwen kini sadar betapa beratnya Trinita mengemban tanggung jawabnya sendiri sebagai pemimpin bisnisnya.Siang itu Arwen bertemu Trinita saat turun dari kamarnya, dia berpapasan dengan Trinita di tangga.“Oh Arwen untunglah kamu sudah bangun!” Kata Trinita agak tergesa.“ Ada apa? Dan kamu mau kemana?” Arwen bertanya heran melihat Trinita memakai baju rapi dan menjijing tasnya.“ Ada urusan serius di kantor. Beberapa customer protes gara-gara pengiriman mobilnya telat, aku harus kesana membereskannya. Maaf Arwen, kamu harus menemani Tante
Keesokan paginya Arwen terbangun dengan kaget ketika Trinita membuka gorden kamarnya. Membuat cahaya matahari jatuh tepat mengenai wajahnya.“Arwen, cepatlah bangun!” seru Trinita. Dia sedang membuka jendela-jendela kamar.Arwen menggeliat kemudian bertanya, “memang sekarang jam berapa?”“Jam sepuluh. Cepatlah bangun dan turun! Bantu aku memasak!” cetusnya kemudian keluar kamar.Ketika pintu sudah menutup di belakang Trinita, Arwen memejamkan mata lagi. Dia mengingat-ingat mimpinya semalam. Dia melihat ayah dan ibunya menangis di depannya, ketika dia memeluk mereka, Papa memberikan amplop merah kemudian menghilang. Arwen membuka matanya dan merasakan kerinduan yang sangat kepada mereka berdua. Seketika itu Arwen langsung turun dari ranjangnya, dia tak ingin merasakannya berlarut-larut. Dia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mandi dia mencari setelan kesukaannya. Celana pendek dan kamus tanpa lengan. Arwen
“Kamu benar-benar akan pindah Arwen?” kata Dinar merana setelah Arwen bercerita kepadanya. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman di bawah pohon cemara tua favorit mereka di kampus.“Oh sudahlah … jangan begitu, kamu kan bisa mengunjungiku ketika liburan. Aku janji akan mengirimi tiket penerbangan ke Jakarta.” Hibur Arwen.“Aku sudah berpikir kamu akan pindah ke Jakarta tapi aku berusaha melupakan pikiran itu.” Tambah Dinar masih merana.Arwen merubah posisi duduknya lebih menyerong ke Dinar lalu berkata.“Maafkan aku, tapi aku memang harus ke sana Dinar! Trinita memberiku tanggung jawa atas perusahaan. Dia tak mau ambil alih, dia lebih suka dengan pekerjaannya sendiri.”“Arwen, aku akan benar-benar sendirian di sini,” kata Dinar, dia sama sekali tak memandang Arwen.“Cobalah mencari pacar!” jawab Arwen enteng sambil nyengir.Dinar menoleh memandang sahabatnya, tampan
Siang itu Jakarta diguyur hujan deras. Arwen sampai di apartemen Tante Karin dengan baju setengah basah. Dia mengetuk pintunya kemudian terdengar suara Tante Karin menyahut dari dalam.“Buka saja Arwen. Aku tidak mengunci pintunya,” kata Tante Karin, rupanya dia sudah tahu siapa yang datang.Arwen membuka pintunya kemudian masuk. Apartemen Tante Karin nuansanya sangat ceria. Sofa-sofa ruang tamu berbesa-beda warnya tapi serasi sekali dengan warna cat dindingnya yang menyegarkan mata. Arwen berpendapat apartemen Tante Karin lebih mirip ruang bermain anak-anak daripada apartemen orang dewasa. Tampak cocok sekali dengan pembawaan Tante Karin.Saat ini wanita itu sedang berada di dapur. Dia sedang sibuk membuah teh dan kue. Melalui pintu pemanggang yang transaparan, tampak kue dalam loyang sedang mengembang.“Baunya enak sekali Tante Karin.” Komentar Arwen ketika dia sampai di dapur.Tante Karin tersenyum kemudian mengeluarkan kuenya dari
Esok paginya Arwen berbagi taksi dengan Trinita. Setelah menurunkan Trinita di kantor barunya. Arwen langsung melanjutkan perjalanan ke apartemen Tante Karin. Rupanya dia sudah dinanti Tante Karin di apartemennya. Ketika dia mengetuk pintunya, Tante Karin langsung menyuruhnya masuk seperti kemarin. Ketika sudah berada dalam ruang tengah, Arwen melihat tiga kantong warna putih berjejer di atas sofa panjang. Salah satu kantong itu adalah kantong garmen. Perasaannya langsung tak enak ketika melihatnya.Arwen terus melangkah ke dalam dan menemukan Tante Karin di dalam kamarnya masih memakai mantel tidur. Dia sedang duduk di depan meja riasnya dan melepas rol rambutnya satu persatu. Ketika melihat Arwen dari pantulan cerminnya dia menyapanya.“Pagi Arwen.”“Pagi juga Tante Karin. Rupanya aku ke sini terlalu pagi,” kata Arwen. ”Maaf sekali Tante Karin aku mengganggumu.”“Tak masalah. Apa kamu sudah sarapan?” Tanyanya ceri
Kira-kira pukul sembilan, acara penggalangan dana sudah berakhir. Para undangan mulai meninggalkan tempat. Hujan deras menerpa kawasan puncak disertai petir yang menyambar-nyambar. Parkiran mobil mulai sepi. Arwen sudah berada dalam mobilnya, dia terus memandang ke arah pintu keluar. Mesin mobilnya sudah menyala.Ketika Dicky Lang muncul dari pintu keluar kemudian berjalan ke arah parkir, Arwen menginjak pedal gas dan mengendarai mobilnya setengah ngebut. Sampai di tingkungan kedua jalan menurun, Arwen menghentikan mobilnya dan keluar. Baru sebentar saja di luar, Arwen langsung basah kuyup. Dia bersandar di belakang mobilnya sambil menanti mobil Dicky Lang lewat.Tak lama kemudian mobil Dicky yang sudah diketahui Arwen melalui Tante Karin melintas. Dia melambaikan tangannya menyuruh berhenti. Mobil Dicky menepi dia membuka kaca jendelanya Arwen mendekatinya.“Maaf, boleh aku menumpang mobilmu? Mobilku mogok,” kata Arwen keras sambil menunjuk ke arah mobiln