All Chapters of Air Mata dan Doa Seorang istri: Chapter 1 - Chapter 10

69 Chapters

BAB 1 : Prahara Rumah Tangga

Terik sinar matahari siang ini begitu menyengat, terasa panas saat membakar kulit yang tanpa pelindung. Herman belum juga berteduh ke dangau di tengah sawah, dengan sigapnya dia masih membajak sawah miliknya dengan traktor. Tak peduli dengan keringat yang bercucuran membasahi baju, semangat sekali dia bekerja untuk menuntaskan pekerjaan membajak sebelum petang datang membayang. Sementara di dangau, duduk dengan risau seorang perempuan muda yang memandang dan memanggil-manggil suaminya untuk beristirahat.                 “Kak, istirahatlah dulu! Hari sudah siang,” ucapnya memanggil sang suami, pria muda yang masih sibuk dengan traktor bajak di tengah sawah.                 “Ya, sebentar lagi. Tanggung, Dik,” terdengar jawaban mengalun pelan searah angin bertiup ke   arah danggau tempat sang istri menunggu.
Read more

BAB 2 : Membuka Usaha online kuliner “BERUGE”

“Kak, aku mau jualan?” ucap Diana ketika mereka sedang beristirahat di kamar.                 “Jualan?”tanya suaminya mengernyitkan alis heran dengan keinginan sang istri.                 “Ya, jualan, Kak! Tak ada yang salah kan dengan keinginanku?’ ungkap Diana merasa kesal dengan pertanyaan bodoh suaminya.                 “Jualan apa? Memang kamu punya modal?”                 “Jualan Beruge!”                 “Beruge?”                 “Ya, aku mau menjual makanan khas daerah kita?” kata Diana
Read more

BAB 3 : Pisah Ranjang

Diana termenung sendiri di sudut kamarnya, perkataan kasar Herman masih begitu membekas di relung hatinya yang paling dalam. Tidak disangka begitu tega suaminya memojokkan dirinya dengan mengatakan telah berselingkuh. Dia tak bisa menerima perkataan kasar suaminya yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang bagi dirinya dianggapnya sebagai fitnah belaka. Terpikir dalam dirinya untuk menghadirkan Pak Wongso kehadapan suaminya agar dapat menerangkan  bahwa diantara mereka tidak ada hubungan sama sekali. Tapi apakah itu usul yang baik, batin dalam hati, atau malah akan membuat salah paham semakin menjadi. Pusing juga Diana memikirkan masalah yang membuatnya tidak dapat memejamkan mata sementara malam telah larut.  Suaminya sejak tadi sore setelah cekcok dengannya sudah selarut ini belum juga ada tanda-tanda kembali ke kamar mereka. Mungkin Herman sudah tidur di kamar tamu menenangkan emosi dirinya yang tak tertahankan meluapkan segala amarahnya tadi sore. Ta
Read more

BAB 4 : Menjablai!

                Predikat janda yang disandangnya oleh Diana, membuat orangtuanya tidak nyaman dan merasa was-was, sebab begitu banyak janda yang dilabrak oleh ibu-ibu yang merasa suaminya digoda olehnya. Padahal jika ingin jujur lebih banyak pria hidung belang beristri yang suka menggoda janda, baik untuk dijadikan istri siri atau hanya pemuas saja.             Image buruk yang melekat pada diri seorang janda,membuat Diana merasa tidak nyaman dengan posisinya sebagai janda muda nan cantik dan aduhai. Banyak pasang mata lelaki hidung belang yang sudah beristri atau belum menggodanya hampir setiap hari, ada saja ulah mereka ketika ingin menmuinya yang disebut mereka sebagai janda kembang.             Banyaknya kumbang yang menghampiri dirinya, membuat Diana gerah dan tidak aman. Apalagi
Read more

BAB 5 : Honor di Kecamatan.

Sepulang dari perjalanan refreshing ke Curup, Diana berpapasan dengan Pak Wongso di rute jalan yang dilewati menuju rumahnya. Pak Wongso membunyikan klaksonnya begitu berpapasan dengan Aksan yang memboncengnya, dibalas klakson juga oleh Aksan sebagai penghormatan sesame pengguna jalan.            Begitu tiba di rumah, Diana bertanya dalam hatinya, jangan-jangan Pak Wongso tadi habis bertamu ke rumahnya.            “Ibu, tadi di jalan tanjakan tebing kuburan aku ketemu Pak Wongso,” ucap Diana ketika bertemu Ibunya di teras rumahnya ingin tahu,            “Ya, tadi dia dari sini, mengobrol dengan Ibu tentang Kau!” kata Ibunya memberitahu dirinya jika Pak Wongso habis bertamu ke rumahnya dan menanyakan perihal dirinya.        &nb
Read more

BAB 6 : FITNAH KEJAM

Hari baru yang penuh makna dengan berpakaian seragam khas honorer, Diana tampak keren dan sangat cantik terlihat. Tak pernah dibayangkannya jika dia memulai hari-harinya ke depan sebagai staf honorer di salah satu kecamatan baru di kabupaten tempat tinggalnya. Kecamatan baru yang memang membutuhkan banyak tenaga untuk melayani kepentingan masyarakat yang memerlukannya.             “Selamat pagi, saudara-saudari sekalian. Alhamdulilah kita panjatkan puji dan syukur atas nikmat dan rahmat sehat jasmani dan rohani sehingga kita semua masih dapat melaksanakan pelayanan kepada amsyarakat dengan baik. Untuk itu marilah kita memberikan pelayanan yang ramah, cepat dan rapih serta tertib sehingga masyarakat senang dan sesuai dengan standard operasi prosedur yang ditentukan oleh pemerintah. Mari bersama kita wujudkan SOP pelayanan public  yang baik menuju good government,” kata Pak Camat dalam sambutan apel pagi. &nbs
Read more

BAB 7 : Prahara di kantor kecamatan

Pak Camat keluar dari ruangan sementara istri Pak Sekcam masih terlihat sangat marah kepada suaminya, dengan gemetar bibirnya menahan emosi yang meluap sampai ke ubun-ubun kepala. Bujuk  rayu Pak Sekcam dalam melunakkan hati istrinya yang sedang full emosi tak mempan, malah suaminya dibentaknya dengan suara yang keras,”Ini kehendak Papa!” ujarnya sambil menghujam belati kecil yang terselip di dalam tas membeset kulit tangan yang mulus.            Seketika darah keluar dari jari tangan Bu Sekcam yang tanpa disadari telah melukai dirinya sendiri dengan menorehkan belati kecil yang selalu dibawa kemana-mana untuk memperingatkan Pak sekcam agar tidak main-main dengan perempuan di belakangnya.            “Mama, ini sudah gila!” bentak Pak Sekcam mengambil belati kecil dan melemparkannya ke lantai, sambil menotok jalan darah yan
Read more

BAB 8 : Tipu daya muslihat Kirana

Kirana semakin marah, benci dan tidak suka dengan Diana yang sudah dipercaya oleh atasan untuk mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya mereka kerjakan. Sekarang malah mereka yang dikucilkan oleh teman-teman sehingga mereka dijauhi dan tidak  dipercaya lagi mengerjakan job pelayanan administrasi kependudukan.Mereka juga sering ditinggalkan menunggu kantor jika ada acara kunjungan kegiatan di kampung tertentu. Biasanya mereka yang dulu menjadi ujung tombak protokolernya acara yang akan dilangsungkan tetapi sekarang malah Diana yang diserahi menggantikan tugas Kirana. Otomatis dia hanya datang ke kantor hanya  untuk mengabsen, duduk santai sambil mengobrol saja, setelah itu makan siang lalu pulang jika jam kerja sudah berakhir.“Semenjak Diana bekerja, kita tidak pernah lagi diberi tugas protokoler,” ucap KIrana kepada temannya gusar.“Ya, kita sekarang jadi kayak pengangguran. Datang hanya untuk absen, ngobrol,makan siang lalu pulang,&
Read more

BAB 9 : Rujuk

Hampir dua minggu lamanya Diana menganggur, untuk mengurangi rasa bosannya berada di rumah terus. Dia ikut ibunya ke sawah atau ke kebun, walaupun hanya sebagai teman saja bagi ibunya. Setidaknya keikutsertaan anaknya ke kebun menjadi tukang masak dan pembuat kopi atau teh ketika istirahat dari kerja, lumayan menghemat kerjaan karena begitu waktu istirahat tinggal menyeruput kopi dan kue buatan anak gadisnya.            Dari jauh, Diana terpaku pandangannya saat melihat sosok lelaki yang sangat dia kenal sedang menghalau gerombolan burung yang hendak hinggap dan mematuk padi yang mulai menguning. Lelaki yang begitu dekat dihatinya beberapa waktu yang lalu, lelaki yang menemani hidupnya sebelum pisah ranjang. Masih terselip rasa sayang yang begitu dalam kepada sosok tersebut, hanya karena ibunya yang tidak bersahabat saja menjadi batu sandungan bagi keharmonisan rumah tangga yang dibangun dahulu.   
Read more

BAB 10 : Indahnya kebersamaan di sawah!

Bu Eneng tidak  mempedulikan lagi apa yang ingin dilakukan oleh menantunya. Jika suasana hatinya sedang tidak baik, sesekali masih terlihat gaya lamanya yang suka menyinggung perasaan Diana baik dengan perkataan atau tingkah laku yang sinis, tidak  diobral seperti dulu yang setiap saat selalu memarahinya.            Semua yang dilakukan oleh Bu Eneng semata agar Herman tidak meninggalkannya seorang diri, dia tak ingin kehilangan anaknya setelah suaminya meninggalkannya sejak Herman masih remaja. Betapa sulitnya move on ketika kehilangan, oleh sebab itu dia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Biarlah dia saja yang meninggalkan anaknya menghadap Ilahi jika ajal telah menjemput daripada Herman yang meninggalkannya menyewa rumah lain.            Diana juga lebih berhati-hati lagi menghadapi gelagat mertuanya, jika dilihatnya sang mertua dalam suas
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status