“Kak, aku mau jualan?” ucap Diana ketika mereka sedang beristirahat di kamar.
“Jualan?”tanya suaminya mengernyitkan alis heran dengan keinginan sang istri.
“Ya, jualan, Kak! Tak ada yang salah kan dengan keinginanku?’ ungkap Diana merasa kesal dengan pertanyaan bodoh suaminya.
“Jualan apa? Memang kamu punya modal?”
“Jualan Beruge!”
“Beruge?”
“Ya, aku mau menjual makanan khas daerah kita?” kata Diana bersemangat.
“Itu makanan yang sulit dibuat, kemudian pangsa pasarnya hanya terbatas pada orang-orang tua saja yang suka makanan mengandung kuah santan,” sahut Herman menjelaskan bahwa Beruge masih jarang disenangi oleh kaum muda milenial karena bersantan.
“Ya, kita coba dulu Kak! Kalau tidak dikenalkan, kita tidak tahu kalau beruge itu nanti akan disukai atau tidak oleh pembeli,” kata Diana ngotot minta persetujuan suaminya.
“Terus kamu mau jualan dimana?”
“Ya, dibawah rumahlah,Kak. Sekalian ku share di media social milikku, siapa tahu ada yang memesan!”
“Terus tugas,kakak apa nih?”
“Kakak membuatkan kotak untuk tempat jualan yang kecil buat ditaruh meja.”
Herman manggut-manggut saja mendengarkan permintaan sang istri. Dalam hatinya berkata bukan hal sulit kalau Cuma membuatkan kotak segi empat untuk tempat menaruh jualannya.
“Deal,kak!” Diana menepuk pundak suaminya sambil tersenyum manis menggoda.
“Siap!” sahut Herman yang terlena dibelai oleh istrinya. Herman mengiyakan sekaligus ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berduaan dengan istrinya malam ini, mumpung gairahnya dan istri nampak tengah bergelora hangat untuk bercinta.
****************************
“Mana akan laku jualanmu,Diana. Orang belum pernah melihatmu berjualan. Apa kamu bisa membuat beruge dan kuah santannya yang lezat,” sindir Bu Eneng, tatkala dilihat Diana tengah meramu kuah santan beruge tersebut di dapur.
“Insya Allah bisa,Bu. Saya pernah diajari Umak membuatnya,” jawab Diana kalem tak mau terpancing dengan ulah mertuanya yang mencari ribut di pagi hari ini.
“Ya, semoga saja ada yang mau beli. Kalau nggak tinggal dibuang aja, Ibu tak sudi memakannya,” ucap mertuanya sinis sambil berlalu mencibir kegiatan Diana yang ingin berjualan.
Diana diam saja mendengar ocehan sang mertua, dia cepat-cepat pergi ke bawa rumah merapihkan meja dan kotak tempat berjualannya lalu mengambil beruge dan kuahnya serta gorengan di letakkannya diatas meja.
Setelah beres tersusun rapih semua jualannya, tak lupa dicekreknya lewat gawai yang dipegang lalu dishare ke beberapa sosial media yang dimiliknya. Saatnya menunggu hasil share tadi, sambil bedoa dalam hati,”Ya Allah semoga Kau datang pembeli untuk jualanku hari ini. Aamiin!”
Beberapa Diana hanya tertegun saja menatap hampa ke jalan raya di depan rumahnya. Belum ada seorangpun yang datang untuk membeli dagangannya. Diana tetap optimis dan masih bersabar serta tawakal untuk ikhtiar yang dilakukannya hari ini.
Diana masih sibuk memainkan ponselnya, tatkala datang dua orang ibu-ibu yang mengerubungi jualan, sambil bertanya,’Jualan apa,Diana?”
“Ini Bu, saya jualan gorengan dengan beruge,” jawab Diana dengan sopan dan ramah.
“Coba ibu lihat beruge-nya!” kata Bu Entis yang langsung terpukau melihat beruge yang dibuatnya.
“Ini bahannya dari tepung terigu, bukan dari beras?”
“Ya, Bu. Saya buat dari tepung terigu. Karena saya lebih senang membuatnya dari tepung terigu, lebih prakktis dan mudah ketimbang tepung beras,” jelas Diana kepada Bu Entis dan temannya.
“Boleh, dicicip kuahnya?”
“Boleh,Bu. Ini,” ucap Diana sambil menyodorkan mangkuk kecil berisi kuah santan beruge.
“Enaak,ya. Lezat! Kamu belajar dari mana?” tanya teman Bu Entis merasa cocok selera lidahnya dengan kuah buatan Diana.
“Dari Umak,Bu!”
“Saya beli 5 potong berugenya,” ucap Bu Entis kepada Diana yang langsung dibungkuskan ke dalam kresek warna putih.
“Saya juga 5 potong beruge dan gorengan lima ribu rupiah!” Teman bu Entis ikut membeli juga, malah sekalian dengan gorengannya.
“Berapa semuanya?” tanya bu Entin.
“Punya Ibu beruge saja Rp10.000,00, terus Ibu ini beruge tambah gorengan Rp15.000,00,” jawab Diana memberitahu berapa yang harus mereka bayar untuk 5 potong beruge yang ternyata sepotongnya dijual dua ribu rupiah.
Sepulangnya Bu Entis dan temannya tadi, Diana mengucapkan syukur atas penglaris jualannya pagi ini. Alhamdulilah! batinnya dalam hati merasa senang.
Tiba-tiba layar monitor ponsel berbunyi, dengan cepat dibukanya. Alhamdulilah! Kembali Diana harus bersyukur ternyata share beruge-nya tadi mendapatkan pesanan yang lumayan, yaitu 10 potong beruge dan gorengan 10 ribu.
Untung saja motor maticnya sudah dikeluarkan dan dipanas, jadi siap meluncur untuk mengantarkan pesanan. Rupanya sang pemesan berasal dari kampung sebelah yang tidak terlalu jauh tempat sehingga dengan santai Diana mengantarkannya.
*****************************
Hari-hari Diana berikut mulai disibukkan dengan membuat beruge, kuliner khas daerahnya yang di pasarkan online dan offline dengan stand tunggu di bawah rumahnya. Kesibukannya membuat beruge dan mengantar pesanan, mendapat apresiasi dari masyarakat yang mulai menyenangi beruge buatannya, sehingga sudah banyak pelanggan sekarang dan mulai minta bantu kepada Mak Etek menunggui jualannya ketika dia pergi mengantar orderan.
Kesuksesannya sebagai pedagang beruge, semakin membuat ibu mertuanya menjadi marah besar. Dia disebut sudah tidak memperhatikan dan melayaninya sebagai mertua lagi, karena sibuk dengan jualannya.
Kebenciannya bertambah manakala dia mengetahui bahwa ada seorang pegawai kecamatan yang menjadi pelanggan setianya. Pria berumur yang sangat suka dengan beruge buatan Diana, disebut-sebut sebagai orang ketiga yang menambah keruhnya suasana hati ibu mertuanya.
Usaha Diana untuk menjelaskan kalau pak Wongso itu hanya pelanggan setia beruge buatannya tak digubri oleh ibu mertuanya, malah sang ibu ikut mengompori anaknya Herman dan memprovokasi agar Herman mau menceraikan Diana karena dianggap sudah selingkuh.
“Dik, aku minta kau berhenti saja jualan?” Herman meminta agar Diana tak berjualan lagi sebab dia sudah mendengar kabar miring tentang istrinya dari ibunya.
“Kenapa,Kak?” tanya Diana keheranan merasa ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.
“Tak enak saja mendengarnya dari ibu kalau setiap hari kau menemui selingkuhanmu itu!” tuding Herman menohok dirinya telah berselingkuh.
“Apa Kak, kamu sebut aku selingkuh?” hardik Diana tak suka dengan perkataan suaminya.
“Ya! Kamu selingkuh dengan pegawai kecamatan itu,kan,” bentak Herman tanpa memikirkan ucapannya itu akan menyakitkan istrinya.
“Astagfirullah al-azim!” kata Diana menggelengkan kepala,”Kamu sudah termakan isu kotor Ibu, Kak!”
“Kotor katamu?” sahut Herman galak melototi Diana dengan tatapan sinisnya, “Ibu saksinya, Kau sering mengantarkan beruge pesanan pak Wongso dan sering lama di kantornya!”
Diana tercekat. Dia maklum jika suaminya begitu marah, rupanya tanpa disadarinya ibunya telah mengirim mata-mata untuk melihat kepergiannya mengantarkan pesanan.
“Aku sering lama di tempat Pak Wongso, menunggu dia memberikan uang pembelian beruge, sebab begitu aku mengantarkan pesanannya. Di dalam ruangannya sedang banyak orang atau dia sedang meeting dengan bawahannya. Aku harus menunggu sesaat!”
“Tapi Ibu ada fotonya Kau sedang duduk berduaan dengan Pak Wongso. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan perselingkuhan kalian,” bentak Herman masih dengan emosi tinggi merendahkan martabat istrinya.
Diana hanya menangis sedih dibentak oleh suaminya, biasanya tak pernah sekalipun Herman membentaknya keras seperti sekarang. Rupanya dirinya sudah bena-benar dikuasai oleh prangsangka yang tidak baik tentang dirinya dan Pak Wongso sehingga begitu marahnya Herman kepadanya.
Perasaan sayang Diana kepada suami yang membuatnya turut berjuang membantu perekonomian keluarga agar membantu Herman mencukupi kebutuhan hidup mereka. Toh mereka tidak akan selamanya menadahkan tangan kepada ibunya untuk mendanai keuangan keluarga mereka.
Tak ada yang peduli dengan niat baik Diana membantu suaminya mencari nafkah dengan berjualan tapi malah difitnah selingkuh dengan pelanggannya yang sudah memberinya rejeki setiap memesan jualannya.
==BERSAMBUNG BAB 3==
Diana termenung sendiri di sudut kamarnya, perkataan kasar Herman masih begitu membekas di relung hatinya yang paling dalam. Tidak disangka begitu tega suaminya memojokkan dirinya dengan mengatakan telah berselingkuh. Dia tak bisa menerima perkataan kasar suaminya yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang bagi dirinya dianggapnya sebagai fitnah belaka. Terpikir dalam dirinya untuk menghadirkan Pak Wongso kehadapan suaminya agar dapat menerangkan bahwa diantara mereka tidak ada hubungan sama sekali. Tapi apakah itu usul yang baik, batin dalam hati, atau malah akan membuat salah paham semakin menjadi. Pusing juga Diana memikirkan masalah yang membuatnya tidak dapat memejamkan mata sementara malam telah larut. Suaminya sejak tadi sore setelah cekcok dengannya sudah selarut ini belum juga ada tanda-tanda kembali ke kamar mereka. Mungkin Herman sudah tidur di kamar tamu menenangkan emosi dirinya yang tak tertahankan meluapkan segala amarahnya tadi sore. Ta
Predikat janda yang disandangnya oleh Diana, membuat orangtuanya tidak nyaman dan merasa was-was, sebab begitu banyak janda yang dilabrak oleh ibu-ibu yang merasa suaminya digoda olehnya. Padahal jika ingin jujur lebih banyak pria hidung belang beristri yang suka menggoda janda, baik untuk dijadikan istri siri atau hanya pemuas saja. Image buruk yang melekat pada diri seorang janda,membuat Diana merasa tidak nyaman dengan posisinya sebagai janda muda nan cantik dan aduhai. Banyak pasang mata lelaki hidung belang yang sudah beristri atau belum menggodanya hampir setiap hari, ada saja ulah mereka ketika ingin menmuinya yang disebut mereka sebagai janda kembang. Banyaknya kumbang yang menghampiri dirinya, membuat Diana gerah dan tidak aman. Apalagi
Sepulang dari perjalanan refreshing ke Curup, Diana berpapasan dengan Pak Wongso di rute jalan yang dilewati menuju rumahnya. Pak Wongso membunyikan klaksonnya begitu berpapasan dengan Aksan yang memboncengnya, dibalas klakson juga oleh Aksan sebagai penghormatan sesame pengguna jalan. Begitu tiba di rumah, Diana bertanya dalam hatinya, jangan-jangan Pak Wongso tadi habis bertamu ke rumahnya. “Ibu, tadi di jalan tanjakan tebing kuburan aku ketemu Pak Wongso,” ucap Diana ketika bertemu Ibunya di teras rumahnya ingin tahu, “Ya, tadi dia dari sini, mengobrol dengan Ibu tentang Kau!” kata Ibunya memberitahu dirinya jika Pak Wongso habis bertamu ke rumahnya dan menanyakan perihal dirinya.&nb
Hari baru yang penuh makna dengan berpakaian seragam khas honorer, Diana tampak keren dan sangat cantik terlihat. Tak pernah dibayangkannya jika dia memulai hari-harinya ke depan sebagai staf honorer di salah satu kecamatan baru di kabupaten tempat tinggalnya. Kecamatan baru yang memang membutuhkan banyak tenaga untuk melayani kepentingan masyarakat yang memerlukannya. “Selamat pagi, saudara-saudari sekalian. Alhamdulilah kita panjatkan puji dan syukur atas nikmat dan rahmat sehat jasmani dan rohani sehingga kita semua masih dapat melaksanakan pelayanan kepada amsyarakat dengan baik. Untuk itu marilah kita memberikan pelayanan yang ramah, cepat dan rapih serta tertib sehingga masyarakat senang dan sesuai dengan standard operasi prosedur yang ditentukan oleh pemerintah. Mari bersama kita wujudkan SOP pelayanan public yang baik menuju good government,” kata Pak Camat dalam sambutan apel pagi. &nbs
Pak Camat keluar dari ruangan sementara istri Pak Sekcam masih terlihat sangat marah kepada suaminya, dengan gemetar bibirnya menahan emosi yang meluap sampai ke ubun-ubun kepala. Bujuk rayu Pak Sekcam dalam melunakkan hati istrinya yang sedang full emosi tak mempan, malah suaminya dibentaknya dengan suara yang keras,”Ini kehendak Papa!” ujarnya sambil menghujam belati kecil yang terselip di dalam tas membeset kulit tangan yang mulus. Seketika darah keluar dari jari tangan Bu Sekcam yang tanpa disadari telah melukai dirinya sendiri dengan menorehkan belati kecil yang selalu dibawa kemana-mana untuk memperingatkan Pak sekcam agar tidak main-main dengan perempuan di belakangnya. “Mama, ini sudah gila!” bentak Pak Sekcam mengambil belati kecil dan melemparkannya ke lantai, sambil menotok jalan darah yan
Kirana semakin marah, benci dan tidak suka dengan Diana yang sudah dipercaya oleh atasan untuk mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya mereka kerjakan. Sekarang malah mereka yang dikucilkan oleh teman-teman sehingga mereka dijauhi dan tidak dipercaya lagi mengerjakan job pelayanan administrasi kependudukan.Mereka juga sering ditinggalkan menunggu kantor jika ada acara kunjungan kegiatan di kampung tertentu. Biasanya mereka yang dulu menjadi ujung tombak protokolernya acara yang akan dilangsungkan tetapi sekarang malah Diana yang diserahi menggantikan tugas Kirana. Otomatis dia hanya datang ke kantor hanya untuk mengabsen, duduk santai sambil mengobrol saja, setelah itu makan siang lalu pulang jika jam kerja sudah berakhir.“Semenjak Diana bekerja, kita tidak pernah lagi diberi tugas protokoler,” ucap KIrana kepada temannya gusar.“Ya, kita sekarang jadi kayak pengangguran. Datang hanya untuk absen, ngobrol,makan siang lalu pulang,&
Hampir dua minggu lamanya Diana menganggur, untuk mengurangi rasa bosannya berada di rumah terus. Dia ikut ibunya ke sawah atau ke kebun, walaupun hanya sebagai teman saja bagi ibunya. Setidaknya keikutsertaan anaknya ke kebun menjadi tukang masak dan pembuat kopi atau teh ketika istirahat dari kerja, lumayan menghemat kerjaan karena begitu waktu istirahat tinggal menyeruput kopi dan kue buatan anak gadisnya. Dari jauh, Diana terpaku pandangannya saat melihat sosok lelaki yang sangat dia kenal sedang menghalau gerombolan burung yang hendak hinggap dan mematuk padi yang mulai menguning. Lelaki yang begitu dekat dihatinya beberapa waktu yang lalu, lelaki yang menemani hidupnya sebelum pisah ranjang. Masih terselip rasa sayang yang begitu dalam kepada sosok tersebut, hanya karena ibunya yang tidak bersahabat saja menjadi batu sandungan bagi keharmonisan rumah tangga yang dibangun dahulu.
Bu Eneng tidak mempedulikan lagi apa yang ingin dilakukan oleh menantunya. Jika suasana hatinya sedang tidak baik, sesekali masih terlihat gaya lamanya yang suka menyinggung perasaan Diana baik dengan perkataan atau tingkah laku yang sinis, tidak diobral seperti dulu yang setiap saat selalu memarahinya. Semua yang dilakukan oleh Bu Eneng semata agar Herman tidak meninggalkannya seorang diri, dia tak ingin kehilangan anaknya setelah suaminya meninggalkannya sejak Herman masih remaja. Betapa sulitnya move on ketika kehilangan, oleh sebab itu dia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Biarlah dia saja yang meninggalkan anaknya menghadap Ilahi jika ajal telah menjemput daripada Herman yang meninggalkannya menyewa rumah lain. Diana juga lebih berhati-hati lagi menghadapi gelagat mertuanya, jika dilihatnya sang mertua dalam suas
Dua tahun kemudian! Hujan badai tengah melanda negeri padang pasir ini, suasana rumah begitu senyap karena ditinggal oleh tuan rumahnya menunaikan ibadah haji. Hanya dirinya dan Tuan Muda yang tinggal, sebenarnya Nyonya Aminah hendak mengajak Diana juga menunaikan ibadahhaji mumpung sedang berada di kota suci ini, sayangnya dia merasa belum tepat waktunya untuk menghadap ke baitul maqdis karena disadarinya bahwa dia sedang terbalut oleh dosa. Bukankah jika ingin menunaikan ibadah haji sebaiknya diri dalam keadaan suci sedangkan dia dalam keadaan sebagai pendosa yang selama ini dilakukannya. Dia tidak mau mengotori tempat suci itu dengan segala dosa yang telah diperbuatnya selama menjadi pembantu di rumah majikannya. Kalau ingin, siapa sih yang tidak ingin da
Untuk membuktikan kebenaran cerita Bu Jumin tentang kelakuan Bik Ros dan keluarganya, Diana sengaja menunda pengiriman uang ke rekening Risa untuk mengetahui reaksi yang akan diberikan oleh Bik Ros jika dia terlambat mengirimkan uang. Diana membiarkan saja tanggal muda berlalu di bulan ini dengan harapan akan mendapatkan pesan dari Bik Ros atau Risa mengapa dia belum berkirim uang ke kampung. Sudah hampir tanggal tujuh di awal bulan, Diana belum juga berkirim uang kepada Bik Ros dan anehnya dia belum juga mendapat pertanyaan dari kampung tentang belum dikirimnya uang ke rekening miliknya Risa. Sebenarnya di kampung, Risa sudah sangat gelisah sekali sebab di rekeningnya tidak ada saldo lagi, terakhir saldonya dia belikan sebuah HP Vivo terbaru yang lumayan ke
Diana mendapat pesan baru dari nomor yang tidak dikenalnya, itu yang membuatnya agak enggan cepat-cepat membawa pesan tersebut. Dibiarkannya dulu pesan itu mengendap di layar monitor ponsel sampai selesai pekerjaannya hari ini, barulah dia membukanya sebab rasa penasaran aka nisi pesan dan siapa pengirim pesan tersebut. Dalam hati Diana bertanya-tanya, siapakah lagi orang yang tahu nomornya kecuali Bik Ros dan keluarganya serta beberapa orang TKW yang bekerja di kota ini, yang diizinkan oleh majikannya untuk menyimpan HP di kamarnya. Kebanyak Tenaga Kerja Wanita dikota ini tidak dibolehkan menyimpan HP sebab ditakutkan melakukan suatu hal yang akan merugikan majikan, alasan itulah yang membuat banyaklah majikan di kota ini tidak mengizinkan para pembantunya memegang HP.
Keberhasilan Risa membeli motor baru, menjadikan dirinya mendapat julukan baru dari teman-teman sekelasnya yaitu the new rising star girl. Risa sangat senang dijuluki oleh rekan-rekan sekelas sebagai gadis bintang baru di sekolahnya, suatu julukan yang membuat gadis manapun menerimanya akan sangat senang. Entah criteria apa yang menobatkannya sebagai rising star di sekolahnya yang setiap tahun rutin diadakan oleh OSIS sekolah ini. “Selamat, ya Ris! Dapat juluk baru nih, gadis bintang baru di sekolah!” ucap Aisyah dan teman-teman sekelasnya memberikan ucapan selaman kepadanya. “Makasih!” sahut Risa senang, kawan-kawannya mengapresiasi julukan yang sangat ingin dida
Tak terasa hari bergenti hari, siang dan malam berputar sesuai sumbunya, demikian teratur. Itulah hukum jagat raya, berputar pada sumbunya, sehingga ada siang dan malam yang membuat kita bisa merasakan gelap dan terang. Gelap di malam hari kala waktu untuk istirahat total dari seluruh kegiatan sedangkan di siang hari saat terang, waktunya kita beraktifitas mencari nafkah dan kehidupan di muka bumi ini. Kesabaran Risa menunggu pergantian perputaran hari membawanya pada sebuah kebahagiaan sebab ditanggal muda yang sudah dijanjikan, Diana mentransfer uang sebanyak yang diperlukannya untuk membeli motor baru. Amboi, senangnya perasaan Risa ketika mengetahui di dalam rekeningnya sudah masuk uang dua belas juta rupiah.&nbs
Saat senggang, Diana mencoba memikirkan kembali permintaan Risa yang ingin membeli sepda motor dengan meminjam uang darinya. Dalam hati Diana berpikir keras, uang yang dipinjam oleh Risa takkan mungkin dikembalikan oleh Bibiknya sebab dia tahu persis penghasilan sang Paman. Paman hanya seorang penderes karet yang penghasilan setiap minggunya cukup untuk untuk membeli beras dan lauk pauk serta sedikit lebihnya jatah uang jajan dan bensin untuk Risa sekolah. Kok, aku pusing sendiri memikirkan Bibik, biarlah kuanggap dia meminjam uang tersebut dan aku tak akan menagihnya! Diana bergumam dalam hatinya berusaha menyelami keadaan ekonomi Bibiknya saat ini. Menimbang keadaan perekonomian sang Bibik membuat hatinya tambah cemas saja membayangkan kehidupan anaknya ji
Beberapa hari terakhir ini Risa menjadi bahan omongan teman-temannya di sekolah, semua karena motor butut miliknya. Roda dua miliknya dinilai sudah model lama yang ketinggalan jaman, dibandingkan dengan motor keren dan kece milik teman-temannya. Terkadang Risa merasa malu karena sering diejek oleh teman-temannya perihal motor butut yang masih dipakainya sampai sekarang. Beberapa kali Risa menyampaikan kepada orang tuanya bahwa dia ingin dibelikan motor baru yang tidak ketinggalan jaman modelnya sehingga tidak diejek lagi oleh teman-teman se kelasnya. Sayangnya permintaannya selalu ditolak oleh Bik Ros dan suaminya sebab keuangan mereka tidak cukup untuk menukar motor butut dengan yang baru sebab harga motor sekarang mahal. Risa tak kehilangan akal, berkat id
Kehadiran sebuah lemari pendingin dua pintu yang dibeli oleh Bik Ros di Toko Amta mendapatkan gunjingan dari tetangga mereka begitu kulkas tersebut tiba di rumahnya. Banyak yang bertanya dari mana Bik Ros dan keluarganya bisa mendapatkan uang untuk membeli kulkas tersebut, bukankah beban hidup mereka saat ini sedang terpuruk karena ketambahan beban membeli susunya Maya setiap minggu hasil dari menjual deresan karet di kebun milik mereka. Tetangga berusaha menyelidik asal muasal uang yang mereka dapatkan untuk membeli barang tersebut, banyak yang menebak jika Bik Ros mendapatkan kiriman uang dari kerabat atau jangan-jangan dari Pak Wardi dan istri atau Diana yang sekarang menjadi TKW di luar negeri. Tapi yang paling memungkin mengirim uang dalam keadaan seperti ini menurut warga hanya Diana, karena dia bekerja di luar negeri yang g
Melihat wajah istri yang berseri senang memunculkan petanyaan tersendiri bagi suami Bik Ros, apakah gerangan yang membuat istrinya teramat gembira, selama ini jarang sekali baginya dapat melihat senyum manis sang istri. Beban yang besar dipikulnya sejak kepergian Diana dan orang tuanya membawa perubahan sifat pada diri Bik Ros, yang dulu periang menjadii pendiam dan sensitive. “Aduh, gembiranya istriku!” goda suaminya mendekati istrinya yang tersenyum-senyum sendiri kegirangan entah apa sebabnya. “Iya, Pa. Mama sedang senang!” timbalnya kepada sang suami. “Lagi ketiban duren jatuh masak, apa?” tanya sang suami menyelidik.&nb