Hampir dua minggu lamanya Diana menganggur, untuk mengurangi rasa bosannya berada di rumah terus. Dia ikut ibunya ke sawah atau ke kebun, walaupun hanya sebagai teman saja bagi ibunya. Setidaknya keikutsertaan anaknya ke kebun menjadi tukang masak dan pembuat kopi atau teh ketika istirahat dari kerja, lumayan menghemat kerjaan karena begitu waktu istirahat tinggal menyeruput kopi dan kue buatan anak gadisnya.
Dari jauh, Diana terpaku pandangannya saat melihat sosok lelaki yang sangat dia kenal sedang menghalau gerombolan burung yang hendak hinggap dan mematuk padi yang mulai menguning. Lelaki yang begitu dekat dihatinya beberapa waktu yang lalu, lelaki yang menemani hidupnya sebelum pisah ranjang. Masih terselip rasa sayang yang begitu dalam kepada sosok tersebut, hanya karena ibunya yang tidak bersahabat saja menjadi batu sandungan bagi keharmonisan rumah tangga yang dibangun dahulu.
Andai saja ibu mertuanya bisa sedikit melunak sifatnya dan tidak selalu memunculkan kemarahan di dalam pernikahan mereka, tentulah saat ini mereka berdua masih bersama menghalau gerombolan pipit yang hendak mencuri bulir padi milik mereka. Bulir padi bernas yang berwarna putih bersih siap dipanen jika sudah waktunya.
“Diana untuk kau memandang pria yang sudah mencampakanmu?” tanya ibunya memecah lamunannya sambil menatap jauh ke tengah sawah di ufuk barat sana.
“Aku tidak memandangnya,Bu,” bantahnya mengalihkan tatapannya.
Ibunya tersenyum,”Kau seperti tak tahu kalau ibu pernah muda seperti dirimu.Jadi jangan bohongi Ibu.”
“Aku memang tidak dapat belum dapat melupakannya, Bu.”
“Tapi dia telah mengusirmu dari rumahnya,”
“Tadi itu semua bukan kemauannya, Bu.”
“Walaupun. Sebagai suami yang baik, dia tidak seharusnya begitu saja mencampakkanmu,”
“Dia ditekan oleh ibunya. Tentu saja pilihan yang sulit baginya, Bu. Seorang yang menyayangi ibumu pasti akan memilih ibunya daripada istrinya, apalagi jika dia belum begitu mapan.”
“Tetap saja , dia lelaki yang kurang bijaksana.” Kata ibunya masih menyalahkan Herman yang kurang mandiri dalam menghadapi permasalahan rumah tangganya.
Diana tak meladeni omongan ibunya, dia pergi menjauh mencari kesibukan agar tak diajak ibunya lagi bersitegang menyalahkan Herman yang menurut ibunya sebagai suami yang kurang bertanggungjawab pada istrinya.
Sepeninggal anaknya, sang ibu pun pergi kembali bekerja menyiangi rumput liar yang berada ditepian pelang sawah miliknya, membantu suaminya menyiangi sawah mereka agar tidak menjadi sarang tikus dan hama lainnya yang senang mendiami rumput liar yang menutupi setiap pelang sawah.
Sesekali dijenggalnya keberadaan Herman, apakah masih berada di tengah sawah atau sudah beristirahat di pondok. Pondok yang penuh kenangan baginya sebab dia sering mengantar makanan dan menyiapkan makanan dan minum untuk sang suami sambil bercengkrama mesra. Ah... indahnya masa itu, pikir Diana dalam hati ingin kembali mengulang kisah bahagia yang telah lama hilang.
Begitu pulang ke kampung, tak dsangkanya, di tengah jalan mereka tak sengaja bertemu dari arah berseberangan hendak menuju arah jalan yang sama. Desir halus bulu kuduk serasa merinding, dada berdegup kencang dan mata tertatap bersamaan. Ternyata masih tersimpan perasaan yang sama, yaitu sebuah rindu yang menggelora di hati masing-masing.
“Sendiri saja, Dik. Kenapa tidak bersama Ibumu?” tanya Herman malu-malu menatap Diana penuh kerinduan.
“Ibu masih di belakang, Kak. Sebentar lagi katanya!” jawab Diana lirih, tak meninggikan pandangannya karena gugup.
“Bagaimana kabarmu, Dik?” tanya Herman kemudian berusaha tersenyum ramah.
“Baik, Kak!”
“Kamu sudah tidak bekerja lagi di kecamatan?”
“Tidak!”
“Aku dengar kamu difitnah oleh Kirana. Keterlaluan dia sampai membuatmu diberhentikan kerja.” Herman berusaha empati kepada Diana dan menyalahkan Kirana karena telah memfitnahnya dan membuatnya kehilangan pekerjaan.
“Sudahlah, Kak! Semuanya sudah bagian dari takdir hidupku,” kata Diana berusa tegar dan tidak menyesali semua yang telah terjadi pada dirinya.
“Maafkan Kirana, semua yang dia lakukan sepenuhnya juga karena kesalahan Ibunya,” ucap Herman meminta maafkan kesalahan Kirana yang disebabkan terpengaruhi oleh hasutan ibunya.
“Tak apa, Kak! Semua sudah terjadi, biarlah menjadi catatan sejarah hidup saja,” kata Diana tak merasa dendam sedikitpun kepada Kirana atas apa yang sudah dilakukannya.
“Inilah sifat yang dari dulu sangat aku suka darimu, Dik!” puji Herman atas sifat pemaaf dan toleransi yang ditunjukkan Diana selama ini walaupun selalu disakit oleh orang yang tidak suka kepadanya.
“Terima kasih atas pujiannya, Kak,” kata Diana malu.
“Kakak boleh kalau mau main ke rumahmu?”
Diana terkejut mendengar pertanyaan Herman, untuk apa dia minta izin ingin main ke rumahnya. Bukannya status Herman saat ini masih sah sebagai suaminya, karena secara administrasi Herman belum memberikan secarik kertas yang menceraikannya.
“Kenapa kakak bertanya seperti itu. Kakak kan masih suamiku, walau kita sedang tidak bersama saat ini,” ungkap Diana membuka kesempatan yang terbuka bagi Herman untuk bermain ke rumahnya.
“Baiklah, besok atau lusa saya akan main ke rumahmu menemui orangtuamu,” kata Herman berjanji untuk menemui orangtua Diana.
“Terserah kakaklah,” ucap Diana memberi lampu hijau kehadiran Herman di rumahnya.
Tak terasa perjalanan mereka sudah mendekati pemandian di ujung dusun, sehingga Diana merasa malu kalau harus kena fitnah lagi, makanya dia berkata,”Sebaiknya Kakak duluan yang berjalan pulang melewati pemandian umum, supaya tidak timbul fitnah lainnya lagi.”
“Baik, Dik. Kakak duluan ya,” pamitnya kepada Diana meninggalkannya sendiri di ujung jalan menuju pemandian dusun.
**********************************
“Ibu aku ingin baikan dengan Diana. Kami kan tidak bercerai,Bu. Hanya pisah ranjang,” uap Herman sesampainya di rumah saat bertemu Ibunya di ruang tamu rumah.
Ibunya belum menjawab, perempuan baya tersebut masih sibuk dengan rajutannya. Tangannya dengan licahnya menyatukan bahan rajut berwarna-warni yang akan dibuatnya tas kecil. Kerajinan tangan rajut yang masih digandrungi oleh ibu-ibu di kampung sebagai teman waktu luang daripada bermenung diri memikirkan dunia tak bertiang.
“Ibu, dengarkan aku bicara,” kata Herman mengulanginya lagi lebih dekat ke arah ibunya.
“Ya, bicaralah,” jawab ibunya masih sibuk dengan rajutannya.
“Aku ingin rujuk dengan Diana, Bu!” pintanya memohon kepada ibunya.
“Untuk apa lagi kau ingat perempuan pembawa sial itu, Herman!” bentak ibunya menjadi marah dan melepaskan rajutnya seketika mendengar permintaan anaknya.
“Stop Ibu selalu menyalah Diana. Bukannya Ibu sendiri yang jahat selama ini,” kata Herman menyela ucapan ibunya yang merasa tidak senang, Ibunya selalu menyalahkan orang yang disayanginya.
“Pokoknya Ibu tidak setuju. Sekali tidak, ya tidak!” teriak Ibunya menentang keinginan anaknya untuk rujuk kembali dengan perempuan yang sangat dibencinya.
“Kalau begitu, saya akan tinggalkan Ibu!” ancam Herman merasa marah dengan sikap ibunya.
“Kamu tega tinggalkan Ibu demi wanita murahan itu?” tanya Ibunya mendelik tajam menatap Herman.
“Ya, kalau Ibu tidak mau menerima Diana lagi di rumah ini,” kata Herman tegas.
Ibunya terlihat berpikir, bagaimanapun dia belum siap kehilangan anak semata wayangnya. Dia tak bisa membayangkan hari-harinya tanpa Herman,putra satu-satunya, setelah suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu dia merasa sangat kehilangan sehingga dia tidak sanggup jika harus kehilangan Herman pula.
“Maafkn Ibu, Nak. Selama ini Ibu masih terbawa dendam atas kematian ayahmu, sehingga Ibu selalu menganggap wanita yang berada di dekat Ibu sebagai wanita pembawa sial,” sesal ibunya yang masih terbawa dendam lamanya.
“Jadi Ibu setuju Diana aku bawa kembali ke rumah ini?” tanya Herman pelan meminta persetujuan Ibunya.
Sang Ibu hanya mengangguk pelan, seraya menyeka air matanya. DIa menyetujui keinginan anaknya untuk bersama kembali demi kebahagiaannya, walau dirinya masih terasa belum bisa menerima kehadiran Diana kembali di rumahnya. Tapi demi kebahagiaan anaknya dan mencegah kepergiannya, maka dia harus menyetujuinya.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Herman mengucapkan syukur atas disetujuinya keinginannya rujuk kembali. Berarti esok waktunya dia akan menemui Diana dan memintanya kembali untuk menjadi istrinya, dan bersama-sama merenda hari-hari penuh cerita ke depannya.
Begitu tiba di rumah Diana, langsung diutarakannya keinginan untuk membawa istrinya pulang sekaligus meminta maaf karena telah salah paham membiarkan istrinya pulang ke rumah orangtuanya.
“Jadikan ini sebagai pembelajaran, Herman,” kata Pak Lindi menasehati Herman,”Sebagai suami jangan mudah terpancing fitnah termasuk ibumu sendiri. Kau harus bisa menjaga dan melindungi istrimu dari niat jahat Ibumu.”
“Ya, Pak. Saya berjanji akan menjaga dan melindungi Diana dan tidak akan mudah terfitnah lagi oleh hasutan Ibu saya. Sekali lagi saya minta maaf, Pak,” ucap Herman mengakui kesalahannya dan berjanji akan menjaga istrinya kedepannya.
“Ibu titip Diana, Nak. Tolong Kau jaga baik-baik istrimu!” pinta Ibunya Diana kepada Herman dengan tulus.
“Insya Allah, Bu. Saya juga mohon doa-nya semoga rumah tangga kami selanjutnya aman dan tentram,” pinta Herman akan doa mertuanya agar kehidupan pernikahannya berjalan baik.
“Jika Ibumu masih saja menyakiti Diana, ada baiknya kalian memikirkan untuk menyewa rumah saja,” ucap Ibunya kembali mengingatkan Herman untuk mandiri dengan menyewa rumah jika Ibunya masih saja ribut menantunya.
“Ya, Bu. Saya janji jika Ibu tidak bisa berdamai dengan Diana. Saya akan menyewa rumah untuk kami tinggali bersama,” janji Herman kepada mertuanya sambil pamit membawa istrinya kepada pulang ke rumah Ibunya.
Diana memeluk erat Ibunya, masih tersisa tangis yang mengelayut di pipinya. Terasa berat baginya meninggalkan orangtuanya, tapi sebagai seorang istri jika suami memintanya pulang maka dia harus ikut pulang. Diana sekaligus memohon doa restu kepada kedua orangtuanya agar sekembalinya dia bersama Herman untuk kedua kalinya akan memdatangkan suatu berkah menuju kebahagiaan.
=== BERSAMBUNG BAB 10 ====
Bu Eneng tidak mempedulikan lagi apa yang ingin dilakukan oleh menantunya. Jika suasana hatinya sedang tidak baik, sesekali masih terlihat gaya lamanya yang suka menyinggung perasaan Diana baik dengan perkataan atau tingkah laku yang sinis, tidak diobral seperti dulu yang setiap saat selalu memarahinya. Semua yang dilakukan oleh Bu Eneng semata agar Herman tidak meninggalkannya seorang diri, dia tak ingin kehilangan anaknya setelah suaminya meninggalkannya sejak Herman masih remaja. Betapa sulitnya move on ketika kehilangan, oleh sebab itu dia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Biarlah dia saja yang meninggalkan anaknya menghadap Ilahi jika ajal telah menjemput daripada Herman yang meninggalkannya menyewa rumah lain. Diana juga lebih berhati-hati lagi menghadapi gelagat mertuanya, jika dilihatnya sang mertua dalam suas
Baru saja Diana menikmati indahnya kebahagiaan menjalani bahtera pernikahan, tiba-tiba hadirlah seorang perempuan lain yang menumpang di rumahnya. Wanita geulis berdarah Sunda, yang berambut ikal berwajah tirus dengan face wajah yang manis. Bertingkah sedikit genit dan nakal, paling suka menggoda Herman dengan kerlngan mata yang manja.Bu Eneng sangat senang dengan kehadiran Dita, apalagi wanita yang masih kerabat ibunya Herman ini memiliki perasaan tersendiri kepada Herman. Ibunya Herman sangat mendukung keinginan Dita agar dapat merebutnya dari Diana untuk dijadikan suaminya. Dita minta dukungan dari Bu Eneng untuk melunakkan hati Herman agar mau menerimanya sebagai istri dan mencampakkan Diana.“Ibu harus membuat rencana yang jitu untuk memisahkan mereka,” kata Dita membujuk Bu Eneng untuk menyusun siasat memisahkan Herman dan Diana.“Iya, tapi kamu juga harus mencari ide juga, jangan Ibu saya yang kamu suruh mencari jalan memutuskan h
Dita semakin sering mencuri waktu mendekati Herman di sela-sela waktu yang ada, apalagi secara diam-diam ibu mertuanya mendukung rencana Dita bermain api asmara terlarang. “Ibu harus mendukung aku, pokoknya,” kata Dita kepada Bu Eneng meminta dukungan dengan penuh semangat. “Ibu mendukungmu dari belakang, bahaya kalau ketahuan Herman,” ucap Bu Eneng “Iya, Bu. Jangan sampai ketahuan. Ibu mesti bermain cantik,” ucap Dita menekankan agar Bu Eneng berhati-hati dalam menjalankan siasat mereka. “Sip,” kata Bu Eneng menimbali. Dita begitu bersemangat untuk memisahkan Diana dari H
Sejak saat itu Dita tak canggung lagi berduaan dengan Herman sekalipun ada Diana diantara mereka. Suasana terwujudnya cinta segitiga ini hanya menunggu waktu saja terjadi, sebab kepandaian Dita dalam mengambil hati Herman yang selalu disupport oleh Ibunya membuat dirinya tak bisa menolak jika Ibunya ingin dirinya mengantarkan atau menemani dan ditemani oleh Dita jika pergi ke suatu tempat termasuk ke sawah. Keakraban antara suaminya dan Dita memjadi buah bibir orang di kampungnya. Banyak orang yang mencibir, banyak pula yang merasa kasihan dengan Diana yang harus termakan oleh isu poligami. Tak sedikit orang yang berusaha menunjukkan empatinya dengan terus memberikan dukungan kepada Diana agar bersabar dan tetap mempertahankan rumah tangganya yang saat ini berada di ujung tanduk. “Sabar, Diana. Ini ujian dari Yang Kuasa, insy
Ketika Herman sedang ke sawah, sementara Diana tidak ikut karena dia merasa kurang enak badan. Badannya terasa lemah dan menimbulkan rasa mual yang luar biasa menyerang dirinya, sehingga dia seperti ingin muntah tapi tidak ada yang dimuntahkan hanya air liur saja yang keluar dari dalam perut. Diana mengingat-ingat jika dirinya sudah terlambat beberapa bulan, terlintas di benaknya bayangan sedang berbadan dua. Segera dibelinya testpack untuk memastikan benar tidaknya dirinya yang terlambat bulan sedang mengandung benih yang selama ini sangat mereka nantikan. Diana berharap dirinya memang benar sedang hamil, sehingga dia mempunyai kekuatan untuk menjauhkan hubungan suaminya dengan Dita yang semakin mesra saja saat ini. ‘Walaupun ka
Mata Diana sembab, semalaman dia tak berhenti menangis, meratapi nasibnya yang kini sudah dimadu oleh suaminya. Menyesali keputusannya kembali rujuk setelah berpisah sewaktu Ibu mertua mengusirnya dulu, serta menyumpahi dirinya yang tak mendengar nasehat ibunya sendiri saat tidak menyetujui rencananya kembali lagi hidup rukun bersama Herman, lelaki yang dicap Ibunya sebagai bunglon. “Ibu!” panggilnya dalam hati ingin mencurahkan segala kisah pilunya kepada Ibunya, meminta maaf karena tak menuruti nasehat Ibunya. Perasaan penyesalan itu baru datang sekarang saat semua sudah terlanjur terjadi, jika saat waktu bisa ditarik mundur dan dia setuju dulu untuk kembali rujuk bersama Herman tentulah saat ini luka yang menyanyat kalbunya tak akan terjadi. Tak pamit! Diam-diam Diana menyelinap pergi menuju rumah oran
Kehamilan Diana yang bertepatan dengan pernikahan siri Herman dan Dita,membuatnya semakin menderita saja sebab Herman sedikitpun tak memperhatikan dirinya. Semua perhatian dan kasih sayang hanya tercurahkan untuk Dita seorang yang dianggapnya lebih menggairahkan dan memabukkan jika dibanding dengan Diana yang sekarang sedang berbadan dua dan sakit-sakitan. Nikmat membawa sengsara, seolah kiasan yang pas untuk menggambarkan keadaan Diana saat ini, nikmat didapatkan tengah mengandung seorang jabang bayi yang sekaligus membawanya sengsara karena ditelantarkan oleh suaminya calon ayah dari janin yang dikandungnya. Seharusnya seorang wanita hamil itu dimanja-manja dan disayang-sayang dengan sepenuh hati sehingga gembira dan sehat serta lincah bayi yang berada di dalam perutnya. Sayang sekali dirinya saat ini menjalani situasi kebalikan dari wanita hamil umumnya, jika seharusnya dimanja dan disayang dengan dip
Setibanya di rumah Ibunya, Diana mengambil ponsel miliknya lalu mengirimkan pesan lewat WhatApps kepada suaminya,”Kak, maaf aku pamit tinggal di rumah Ibuku sementara waktu setelah tadi terjatuh di dapur akibat ulah Dita ketika kamu dan Ibu tidak berada di rumah,” Hanya sebuah pesan singkat saja yang diketiknya sebagai permintaan maaf karena telah meninggalkan rumah suaminya tanpa izin. Sebagai seorang istri yang patuh kepada suaminya berat rasanya meninggalkan rumah tanpa seizing suaminya sekalipun keadaan yang memaksanya harus melakukannya. “Nanti, Ibu yang akan mengizinkanmu kepada Herman dan mertuamu,” ucap Ibunya menenangkan dirinya agar tidak terlalu memikirkan kesalahannya. “Iya, Bu. Pamitkan dengan mereka dengan sopan, jangan s
Dua tahun kemudian! Hujan badai tengah melanda negeri padang pasir ini, suasana rumah begitu senyap karena ditinggal oleh tuan rumahnya menunaikan ibadah haji. Hanya dirinya dan Tuan Muda yang tinggal, sebenarnya Nyonya Aminah hendak mengajak Diana juga menunaikan ibadahhaji mumpung sedang berada di kota suci ini, sayangnya dia merasa belum tepat waktunya untuk menghadap ke baitul maqdis karena disadarinya bahwa dia sedang terbalut oleh dosa. Bukankah jika ingin menunaikan ibadah haji sebaiknya diri dalam keadaan suci sedangkan dia dalam keadaan sebagai pendosa yang selama ini dilakukannya. Dia tidak mau mengotori tempat suci itu dengan segala dosa yang telah diperbuatnya selama menjadi pembantu di rumah majikannya. Kalau ingin, siapa sih yang tidak ingin da
Untuk membuktikan kebenaran cerita Bu Jumin tentang kelakuan Bik Ros dan keluarganya, Diana sengaja menunda pengiriman uang ke rekening Risa untuk mengetahui reaksi yang akan diberikan oleh Bik Ros jika dia terlambat mengirimkan uang. Diana membiarkan saja tanggal muda berlalu di bulan ini dengan harapan akan mendapatkan pesan dari Bik Ros atau Risa mengapa dia belum berkirim uang ke kampung. Sudah hampir tanggal tujuh di awal bulan, Diana belum juga berkirim uang kepada Bik Ros dan anehnya dia belum juga mendapat pertanyaan dari kampung tentang belum dikirimnya uang ke rekening miliknya Risa. Sebenarnya di kampung, Risa sudah sangat gelisah sekali sebab di rekeningnya tidak ada saldo lagi, terakhir saldonya dia belikan sebuah HP Vivo terbaru yang lumayan ke
Diana mendapat pesan baru dari nomor yang tidak dikenalnya, itu yang membuatnya agak enggan cepat-cepat membawa pesan tersebut. Dibiarkannya dulu pesan itu mengendap di layar monitor ponsel sampai selesai pekerjaannya hari ini, barulah dia membukanya sebab rasa penasaran aka nisi pesan dan siapa pengirim pesan tersebut. Dalam hati Diana bertanya-tanya, siapakah lagi orang yang tahu nomornya kecuali Bik Ros dan keluarganya serta beberapa orang TKW yang bekerja di kota ini, yang diizinkan oleh majikannya untuk menyimpan HP di kamarnya. Kebanyak Tenaga Kerja Wanita dikota ini tidak dibolehkan menyimpan HP sebab ditakutkan melakukan suatu hal yang akan merugikan majikan, alasan itulah yang membuat banyaklah majikan di kota ini tidak mengizinkan para pembantunya memegang HP.
Keberhasilan Risa membeli motor baru, menjadikan dirinya mendapat julukan baru dari teman-teman sekelasnya yaitu the new rising star girl. Risa sangat senang dijuluki oleh rekan-rekan sekelas sebagai gadis bintang baru di sekolahnya, suatu julukan yang membuat gadis manapun menerimanya akan sangat senang. Entah criteria apa yang menobatkannya sebagai rising star di sekolahnya yang setiap tahun rutin diadakan oleh OSIS sekolah ini. “Selamat, ya Ris! Dapat juluk baru nih, gadis bintang baru di sekolah!” ucap Aisyah dan teman-teman sekelasnya memberikan ucapan selaman kepadanya. “Makasih!” sahut Risa senang, kawan-kawannya mengapresiasi julukan yang sangat ingin dida
Tak terasa hari bergenti hari, siang dan malam berputar sesuai sumbunya, demikian teratur. Itulah hukum jagat raya, berputar pada sumbunya, sehingga ada siang dan malam yang membuat kita bisa merasakan gelap dan terang. Gelap di malam hari kala waktu untuk istirahat total dari seluruh kegiatan sedangkan di siang hari saat terang, waktunya kita beraktifitas mencari nafkah dan kehidupan di muka bumi ini. Kesabaran Risa menunggu pergantian perputaran hari membawanya pada sebuah kebahagiaan sebab ditanggal muda yang sudah dijanjikan, Diana mentransfer uang sebanyak yang diperlukannya untuk membeli motor baru. Amboi, senangnya perasaan Risa ketika mengetahui di dalam rekeningnya sudah masuk uang dua belas juta rupiah.&nbs
Saat senggang, Diana mencoba memikirkan kembali permintaan Risa yang ingin membeli sepda motor dengan meminjam uang darinya. Dalam hati Diana berpikir keras, uang yang dipinjam oleh Risa takkan mungkin dikembalikan oleh Bibiknya sebab dia tahu persis penghasilan sang Paman. Paman hanya seorang penderes karet yang penghasilan setiap minggunya cukup untuk untuk membeli beras dan lauk pauk serta sedikit lebihnya jatah uang jajan dan bensin untuk Risa sekolah. Kok, aku pusing sendiri memikirkan Bibik, biarlah kuanggap dia meminjam uang tersebut dan aku tak akan menagihnya! Diana bergumam dalam hatinya berusaha menyelami keadaan ekonomi Bibiknya saat ini. Menimbang keadaan perekonomian sang Bibik membuat hatinya tambah cemas saja membayangkan kehidupan anaknya ji
Beberapa hari terakhir ini Risa menjadi bahan omongan teman-temannya di sekolah, semua karena motor butut miliknya. Roda dua miliknya dinilai sudah model lama yang ketinggalan jaman, dibandingkan dengan motor keren dan kece milik teman-temannya. Terkadang Risa merasa malu karena sering diejek oleh teman-temannya perihal motor butut yang masih dipakainya sampai sekarang. Beberapa kali Risa menyampaikan kepada orang tuanya bahwa dia ingin dibelikan motor baru yang tidak ketinggalan jaman modelnya sehingga tidak diejek lagi oleh teman-teman se kelasnya. Sayangnya permintaannya selalu ditolak oleh Bik Ros dan suaminya sebab keuangan mereka tidak cukup untuk menukar motor butut dengan yang baru sebab harga motor sekarang mahal. Risa tak kehilangan akal, berkat id
Kehadiran sebuah lemari pendingin dua pintu yang dibeli oleh Bik Ros di Toko Amta mendapatkan gunjingan dari tetangga mereka begitu kulkas tersebut tiba di rumahnya. Banyak yang bertanya dari mana Bik Ros dan keluarganya bisa mendapatkan uang untuk membeli kulkas tersebut, bukankah beban hidup mereka saat ini sedang terpuruk karena ketambahan beban membeli susunya Maya setiap minggu hasil dari menjual deresan karet di kebun milik mereka. Tetangga berusaha menyelidik asal muasal uang yang mereka dapatkan untuk membeli barang tersebut, banyak yang menebak jika Bik Ros mendapatkan kiriman uang dari kerabat atau jangan-jangan dari Pak Wardi dan istri atau Diana yang sekarang menjadi TKW di luar negeri. Tapi yang paling memungkin mengirim uang dalam keadaan seperti ini menurut warga hanya Diana, karena dia bekerja di luar negeri yang g
Melihat wajah istri yang berseri senang memunculkan petanyaan tersendiri bagi suami Bik Ros, apakah gerangan yang membuat istrinya teramat gembira, selama ini jarang sekali baginya dapat melihat senyum manis sang istri. Beban yang besar dipikulnya sejak kepergian Diana dan orang tuanya membawa perubahan sifat pada diri Bik Ros, yang dulu periang menjadii pendiam dan sensitive. “Aduh, gembiranya istriku!” goda suaminya mendekati istrinya yang tersenyum-senyum sendiri kegirangan entah apa sebabnya. “Iya, Pa. Mama sedang senang!” timbalnya kepada sang suami. “Lagi ketiban duren jatuh masak, apa?” tanya sang suami menyelidik.&nb